Pintu gerbang terbuat dari kayu. Yang
disebelah kanan dan kiri terdapat patung semacam singa duduk. Saya lupa nama
patung itu. Meski sudah di beritahu oleh pemilik rumahnya. Setelah masuk
halaman dipenuhi dengan tumbuh-tumbuhan. Beberapa macam bunga tersedia. Ada
yang dibiarkan merambat. Ada yang ditanam di pot bunga. Bunga yang merambat
banyak dihuni oleh ular. “Jika tanaman yang itu mas (sambil menunjuk tanaman
merambat), sering ular jalan-jalan di jalanan ini,” kata orang yang tinggal di daerah
dekat DIY ini. Jalan yang dimaksud adalah jalan setapak menuju ruang kerjanya.
Tepat utara garasi mobil.
Sangkar burung menggantung di bawah pohon
kenanga. Beberapa sangkar digantung di depan rumahnya. Tepat di atas tempat
duduk santai di waktu siangnya. Dia adalah seorang pelukis, karikaturis, dan
orang tua dari dua buah anaknya.
Di sebelah selatan berdiri bangunan rumah
Jepang. Tidak tahu seberapa besar ukuran rumah itu. Siang itu, pintunya
terbuka. Saya melihat lukisan perempuan di dalamnya. Mungkin mengandung arti
lebih bagi dia. Karena sampai di taruh di dalam tempat yang sering digunakan
untuk merenung, dan santai. Lebih enaknya, saat galau atau menyendiri. Hahaha.
“Bapak sering ke sana ketika merenung dan melukis. Biasanya waktu santai bapak
di lakukan di sana,” ujar salah seorang pembantu rumah tangga.
Bapak itu ramah dan terbuka sekali. Cerita
keluarga, karir, masa muda, dan beberapa masalah yang dia sedang hadapi.
Ancaman, misalnya. Tak jarang mendapat ancaman dari pihak pemerintah tatkala
menggambar sesuatu yang sangat mendalam. “Sering mas saya mendapat ancaman. Ya,
gambar ini tidak boleh terbit, terlalu kritiknya, macam-macamlah,” ujar lelaki
yang duduk di kursi kayu di depan ruangan kerjanya ini. Dia juga bercerita,
kasihan teman-teman media. Memaksa gambarnya terbit dan mendapat tekanan dari
pemerintah. Takutnya seperti pada masa Soeharto dulu, banyak media yang stok
kertas di batasi. Sehingga beberapa media tak bisa terbit. Beberapa urusan lain
dipersulit. “Kan kasihan,” kata lelaki yang rambutnya mulai memutih ini.
Dia mengatakan, sukses seperti ini. Bekerja di
media nasional, beberapa tahun hidup di luar negeri, Jepang. Tidak serta merta.
Butuh waktu puluhan tahun untuk mencapai posisi seperti sekarang ini. “Kalau
menjadi pelukis karbitan mudah sekali untuk zaman sekarang ini mas. Seperti ada teman saya. Dia dalam
beberapa bulan mendapatkan uang dari lukisan yang laku sangat. Tapi setelah
itu, dia tidak mendapat masukan dari lukisannya karena tidak ada yang membeli
lukisannya itu,” katanya. Dia menambahkan, butuh waktu lama dan telaten untuk
mencapai sukses. Tidak cepat. Semua itu butuh proses lama. Dalam pencapaian
karirnya membutuhkan waktu puluhan tahun. “Tapi ya lumayan mas. Pada waktu tua
ini, tinggal menikmati hasil jerih payahnya mas,” ujarnya sambil tersenyum
lepas.
Matahari mulai meninggi. Sekitar pukul 10.00.
Ada laki-laki yang usianya sekitar tiga puluhan berjalan ke arah kami ngobrol.
Perawakanya pendek. Perutnya agak buncit. Mereka berbicara layaknya juragan
dengan majikan. Ada yang mendapat instruksi dan pemberi instruksi. Namun,
mereka tampak akrab. Jika saya melihat, seperti saudara sendiri. Begitu halus
instruksi yang dikeluarkan. Saya tidak menghiraukan pembicaraan jelasnya mereka.
Tetapi, mereka membicarakan persiapan melukis untuk lomba yang akan di
selenggarakan di DIY.
Kami melanjutkan obrolan. Dia bercerita,
mempunyai dua istri. Istri yang pertama beragama Kristiani. Dan yang kedua
Islam. Pada awalnya dia beragama Kristen. Beragama Islam masih beberapa tahun
ini. “Saya dulu umat Kristiani,” ujarnya. Dia sudah melaksanakan ibadah haji.
Tetapi, dalam hajinya mengalami kejadian yang dianggapnya merupakan balasan.
“Waktu muda, saya pekonsumsi MIRAS, narkotika,
dan semacamnya,” katanya. Pada waktu haji, dia menambahkan, mengalami
masalah-masalah yang ruwet. Mulai dari paspor yang hilang tiba-tiba. Tertinggal
kendaraan di padang pasir pada jalan yang menanjak, dan beberapa masalah lain
yang berkaitan dengan kesehatan. “Pernah saya mengalami batuk yang tidak
seperti biasa. Namun saya meminta pada tuhan jika memang saya sakit di rumah
saja. Jangan di sini,” ungkapnya.
Ibadah haji selesai. Beberapa hari di rumah
dia jatuh sakit parah. Dia muntah sesuatu yang kotor yang menurutnya disebabkan
oleh debu padang pasir sewaktu di Arab. Beberapa bulan terbaring di atas
ranjang rumah sakit menghasilkan sebuah lukisan. Dalam lukisan itu, dia sedang
membawa boneka di tangan kananya sedangkan tangan kirinya tidak memegang suatu
apapun. Baju hitam membalut tubuhnya yang keriput, pucat.
Pada 08 Agustus 2012 saya dan salah satu teman
berangkat menuju DIY dengan kereta dari stasiun Pasuruan. Adalah Udin teman
akrab mulai kami duduk di bangku sekolah dasar sampai SMA. Akan tetapi, SMP
kami tidak sama. Dia sekolah di SMP Negeri 1 Wuluhan. Saya di SMP Ma’arif 08
Ampel. Dan kami menjadi satu sekolahan kembali waktu SMA. Ini membuat saya
semakin akrab denganya, maupun keluarganya. Hari libur sekarang, saya memilih
untuk jalan-jalan bersama Udin di DIY. Tak ada tujuan pasti antara kami. Yang
penting, adalah mampir di rumah seorang pelukis hebat di daerah dekat DIY.
Kami berangkat pagi dari Pasuruan dan tiba di
stasiun Klaten pada waktu Duhur hampir Asar. Berteduh di mushola dekat stasiun
menjadi pilihan. Tempatnya sejuk. Ada dua kamar mandi yang lengkap dengan
sabunnya. Bekal sabun dari rumah yang kami pakai lengkap dengan sampo yang
terbungkus dengan plastik. Selesai mandi dan istirahat kami melanjutkan
perjalan mencari rumah seorang pelukis yang terkenal itu.
Kembali ke daerah stasiun mencari angkutan
umum sekaligus menanyakan alamat yang kami dapat dari pelukis itu. Buntung kami
tidak mendapatkan angkutan umum. Beruntungnya informasi yang kami butuhkan
muncul dari tukang becak yang berjejer di utara stasiun. “Kalau alamat ini saya
tahu mas,” kata salah seorang tukang becak.
Akhirnya kami memutuskan untuk naik becak.
Perjalanan cukup nyaman. Meski terkadang suara nafas yang terengah-engah muncul
dari belakang kami, sopir becak. Membuat saya tidak tega dengan sopirnya. Karena
jalanan yang kami tempuh naik turun.
Tiba di depan rumah dekat masjid, kami
diturunkan. “Sudah sampai mas,” kata tukang becak. Kami turun dan membayar
ongkos becak dua puluh ribu rupiah. sebelum tukang becak itu kembali, dia
memanggil seorang tukang kebun yang ada di dalam rumah tepat kami diturunkan.
“Pak, ini ada dua anak dari Jember mau ketemu bapak. Sampean ajak masuk saja,”
tuturnya. Tukang kebun itu tidak mengijinkan kami masuk. Dengan alasan yang
punya rumah belum datang. “Bapak masih ke Yogya, berobat mas. Besok saja mas ke
sini lagi,” ujar tukang kebun yang berbicara lewat lubang kecil, di dinding
pagar rumah bagian depan.
Mendengat itu, kami memutuskan beristirahat di
Masjid selatan rumah yang kami tuju. Sembari menunggu bapak pelukis itu datang
dari Yogya. Komunikasi lewat telepon seluler saya lakukan. Nomor pelukis itu
sewaktu saya hubungi tidak ada jawaban. Sering rasa, pasrah dan lelah
menghinggapi saya.
Speaker masjid
sudah mulai ramai. Pertanda buka sudah di putar. Kami berjalan menyusuri kota
ini dengan jalan kaki. Mencari sesuatu untuk buka kali ini. Berbuka dengan satu
mangkuk mi ayam dengan minum es cendol mengganjal perut kami. Setelah magrib
kami kembali melihat rumah pelukis itu. Sepi. Rumah yang cukup besar ini tak
ada suara ramai orang. Lampu yang remang-remang membuat kesan angker. Kami
memutar menjelajahi jalanan yang ada di komplek perumahan.
Anjing melonglong dengan kerasnya. Kami takut
hewan itu mengejar. Karena tak ada rantai atau kendali di lehernya. Lari
secepat mungkin kami lakukan menghindari kejaran anjing itu. Pagar yang ada di
depan rumah menghalangi anjing untuk mengejar dan kami selamat dari kejarannya.
Berlarian malam-malam membuat perut kami
merasa lapar. Jalan kami putar menuju tempat buka puasa tadi. Sekitar satu
setengah kilo jalan yang harus kami tempuh. Sepanjang jalan yang kami lalui
tidak ada warung buka. Hanya pedagang mi ayam dan sate. Dengan perut lapar, mondar-mandir
kami lakukan. Sampai di depan bengkel, ada warung kecil penjual jajanan goreng
seperti pisang goreng, tahu, dan ote-ote.
“Pak, ada nasi bungkus?” tanya Udin.
“Ada, seribuan dik,” jawab pedagang itu.
“Ini pak uangnya,” kata Udin dengan memberikan
uang enam ribu rupiah kepada pedagang itu.
Bungkusan yang berukuran satu kepal anak SD
ini kami bawa ke Masjid yang tadi. Di tengah jalan, kami membeli air mineral
600 ml di dekat jalan raya. Duduk santai di depan toko tutup yang tidak
terjamah cahaya lampu membuat setiap orang yang lewat melihat kami.
Masalah hampir mampir pada kami. ada anak yang
kehilangan sepeda sewaktu kami berjalan menuju Masjid. Beruntung kami tidak di
curigai. Mungkin wajah yang terlalu polos membuat orang berpikiran baik pada saya.
Hahaha
Sampai di Masjid kami langsung makan. “Ini
merangkap dengan sahurnya,” kata teman saya sambil tertawa pelan karena waktu
sudah larut malam. Malam ini kami tidur nyenyak di atas karpet Masjid yang tak
ada dindingnya ini. Hanya pagar dengan tinggi setengah meter mengelilingi
masjid. Setelah Subuh saya mendapat telpon dari pelukis itu.
“Ada dimana sekarang mas?” tanya dia.
“Saya ada di Masjid selatan rumah bapak,”
jawab saya.
“Langsung ke sini saja mas. Saya sudah ada di
rumah”
“Iya pak”
Jarak Masjid dengan rumahnya hanya sekitar
lima meter. Masuk rumah dia sudah berdiri di depan rumah mengenakan sarung dan
baju hitam. Waktu jabat tangan dia bergumam, wah para facebooker ini. Mungkin
karena kami kenal lewat akun facebook kali ya. Ngobrol santai di depan rumah
terbentuk. Tidak berapa lama kami di ajak pindah di rumah sebelah utara.
Tepatnya di utara garasi mobil. Ada tiga kursi duduk dan satu lagi yang
bentuknya memanjang.
Obrolan seputar kabar, dan kisah kami sewaktu
datang dan dia tidak ada di rumah. Yang intinya dia meminta maaf karena oleh
penjaga kebunnya tidak diperkenankan masuk rumah. Dikarenakan baru kemarin ini
burung peliharaan kesayangannya hilang. “Kemarin itu halaman saya ini penuh
dengan burung (yang saya tidak hafal nama burung yang dia sebutkan).
Burung-burung ini saja (sambil menunjuk beberapa burung yang menggantung di
pohon dan teras rumah) baru beli lagi kok mas,” katanya.
Dia juga menceritakan seputar keluarganya,
pengalamannya, penyakitnya, dan beberapa masa lalu yang suram pada masa
mudannya. Singkatnya, dia adalah pemuda yang suka minum-minuman keras, pengguna
narkotika. Namun tidak untuk bermain dengan wanita. Banyak kata-kata motivasi
yang dia ucapkan. Juga bimbingan pada saya jika ingin sukses. Betapa pentingnya
sebuah bahasa. “Bahasa itu penting lo mas. Bener ini,” tegasnya.
Pukul 11.00 dia bicara pada saya jika ada
tugas yang belum selesai, karikatur. Dia meminta menyiapkan tempat untuk saya
istirahat di dalam ruangan kerjanya yang penuh dengan lukisan hasil tangannya
sendiri. Meski ada beberapa lukisan orang lain, Rendra, misalnya. Dia juga
mengajak saya keliling melihat hasil lukisan tanganya di dalam ruang itu.
Termasuk lukisan beberapa orang yang diam di bawah sutet dengan mulut yang
terjahit. Dia nampak sedih ketika menunjukkan lukisan itu. Namun, disela-sela
mukanya yang sedih, dia tertawa kecil dengan apa yang terjadi pada bangsa ini,
pemerintah.
Selesai keliling melihat gambar, dia pamit
pada saya dan Udin untuk menggarap tugasnya yang belum selesai. Tampak serius
di bawah lampu kuno lurus dengan jendela rumahnya yang menhadapap ke depan.
Tampak jelas saat saya berjalan menuju kamar mandi. Karena kamar mandi yang ada
di luar tepat di samping depan rumahnya. Sering saya mendengar dia memainkan
musik gitar yang katanya asli dari spanyol. Indah sekali alunan musik itu.
Dalam ceritanya, dia dulu pernah menjadi musisi pada masa mudanya.
Mulai pukul 12.00 sampai 02.00 saya jarang
melihat dia tidak sedang duduk di tempatnya menggambar. Sungguh membuat saya
iri. Orang yang tidak bisa apa-apa saja, dalam menggambar hanya beberapa menit.
Tanpa memerhatikan makna dan tujuan gambar tersebut. Beda dengannya, yang waktu
sepanjang itu digunakan untuk memikirkan satu gambar saja. Karena, saya melihat
beberapa kertas di tumpuk disampingnya. Mungkin beberapa gambar yang salah.
Tampak tidak digunakan lagi.
Saya bermalam di rumah ini hanya satu malam.
Pada siangnya saya melanjutkan perjalanan liburan saya bersama Udin. Dengan
pertimbangan keluarganya yang cemas akan kabar Udin. Takut terjadi apa-apa.
Selama saya di sini, beberapa buku tentang teori melukis di sediakan untuk saya
baca. Macam-macam cat, kanvas yang bagus saya pelajari. Tapi, mungkin kurangnya
minat akan seni lukis tidak membuat saya mudeng dengan buku yang saya baca.
Banyak ilmu dan motivasi yang saya dapat. Juga
beberapa kenalan dari banyak kalangan. Meski hanya satu profesi, pekerja rumah.
Sopirnya adalah orang yang pintar. “Dia akan menjadi seorang pendeta,” kata
pelukis itu. Lelaki yang buncit dengan anaknya yang sukses bekerja di sebuah
perusahaan elektronik. Dan orang yang ada tatonya dalam tubuh sebagai penjaga
rumah waktu malam. Dia mempunyai satu anak perempuan yang duduk di bangku TK.
Dan anak dari pelukis yang kuliah di DIY. Saya lupa nama Universitasnya. Dia
perempuan, tinggi sedang, kulit putih, dan rambutnya ikal. Tak tahu namanya.
Semua orang yang aku kenal di sini adalah bentuk muka dan tubuhnya. Masalah
nama sebagian saya lupa dan tidak tahu. Kecuali denga pelukis itu, saya hafal
nama dan gaya bicaranya.
Ilmu penting yang saya dapat darinya adalah
toleransi. Banyak unsur agama yang ada di lingkunganya. Umat Kristiani, Islam,
Hindu, dan Budha. Dia menjadi penyatu beberapa agama yang ada di situ. Hidup
berdampingan dengan agama yang berbeda bukanlah suatu masalah. “Meski dulu pada
awalnya saya banyak dibenci oleh golongan saya sendiri, Islam. Tapi saya
mencoba memahamkan dan menyatukan mereka,” kata pelukis itu.
Saya berharap dapat ketemu lagi dengannya. Modelnya
yang ngangenin, terkadang membuat saya kangen. “Jika saya sudah tidak ada.
Rumah ini saya kasihkan kepada negara. Supaya digunakan tempat budaya. Karena
anak-anak saya sudah punya rumah sendiri. Tapi, jika mau meneruskan atau
menempati rumah ini ya tidak apa-apa,” katanya.
(20/02/13)