Selasa, 16 Desember 2014

Menye-Menye yang Butuh Kaji Ulang

Saya kali ini tidak mendapatkan dana bantuan dari pemerintah berupa Bidikmisi. Pihak kampus membuktikan ancamannya —tidak akan mencairkan dana Bidikmisi— saat mahasiswa penerima bantuan Bidikmisi tidak mengumpulkan persyaratan. Fotokopi buku tabungan disertai legalisir dari pihak bank, laporan pertanggung jawaban dari penerima dana Bidikmisi, menyerahkan kartu hasil studi (KHS).
Ini berawal dari beberapa bulan atau mungkin tahun lalu. Saat pihak kampus yang diwakili pembantu ketua (PK) III, Sukarno dan Munir sebagai pengelola dana Bidikmisi mengumpulkan semua mahasiswa yang menerima dana Bidikmisi. Ada angkatan 2011/2012, 2012/2013, seingat saya. Mungkin saat itu juga ada mahasiswa Bidikmisi angkatan 2013/2014.
Gedung D tarbiyah, ruang 1, tempat berkumpul para mahasiswa Bidikmisi dengan PK III dan pengelola dana Bidikmisi. PK III memberikan selebaran yang harus di isi oleh mahasiswa Bidikmisi yang isinya saya lupa. Yang saya ingat tentang keharusan tanda tangan di atas materai. Terjadi perdebatan. Banyak yang tidak setuju terkait keharusan tanda tangan di atas materai. Namun apalah daya. PK III dan pengelola dana Bidikmisi mengucapkan, sudahlah kami tidak ingin mempersulit. Kami ingin membantu agar segera cair. Itu saja. Dan beberapa hari setelah penandatangan di atas materai oleh mahasiswa Bidikmisi dana cair. Syukurlah. Kejadian yang sama terulang kembali. Namun tidak ada embel-embel harus tanda tangan di atas materai. Setelah persyaratan terpenuhi dana cair lagi.
***
Tanda tangan di atas materai tidak saya lakukan. Begitupun persyaratan yang diajukan oleh pihak kampus setelah nya yang berelang beberapa bulan. Dana masih tetap saja cair. Namun kali ini tidak. Tidak ada dana bantuan Bidikmisi kepada saya. Mungkin mereka lelah gaes. Iya. Mungkin mereka lelah.
Tidak menjadi masalah besar bagi saya ketika dana bantuan Bidikmisi tidak sampai kepada saya. Palingan beberapa bulan tidak bisa ngopi, rokok, berkumpul dengan teman-teman untuk berdiskusi, atau tidak bisa paketan internetan untuk sekadar mencari info, atau saya tidak mampu membeli pulsa untuk interaksi, konsultasi tentang “bagaimana proposalmu? Bagaimana PPL/KKL mu (untuk jurusan syariah)? Bagaimana tugasmu?”.
Sungguh saya masih dapat pinjam telepon seluler kepada teman, atau nebeng kopi, rokok, kendaraan untuk berdiskusi, atau minta sms ke beberapa teman untuk menanyakan tetek bengek seputar kuliah. Sungguh saya kuat. Tidak rapuh. Sungguh gaes.
Saya hanya janggal dengan PK III dan pengelola dana Bidikmisi. Mengapa saat memberikan selebaran yang bertanda tangan di atas materai sambil bilang, “ini dari pusat. Semua (universitas) sama”. Tapi saya yang tidak mengumpulkan tanda tangan di atas materai sebagai penguat dari poin-poin yang tercantum di kertas dan harus dipahami meski mekso masih mendapat dana bantuan Bidikmisi.
Sekarang peringatan yang menyerupai ancaman terjadi. Dulu tidak. sekarang iya. Iya tidak mendapatkan dana Bidikmisi yang ada embel-embel dari pusat. Kata teman sih jika tidak mengumpulkan persyaratan tidak cair dananya. Kalau kata ku sih persyaratan yang harus dipenuhi dengan embel-embel yang sama (dari pusat) masih berlaku. Tidak mengumpulkan persyaratan (seperti yang saya lakukan dulu) masih mendapat bantuan dana. Eh ternyata tidak. Lagi-lagi, “mungkin mereka lelah gaes”.
Harapan saya sih dana bantuan untuk kaum tidak mampu namun berprestasi (Bidikmisi) masih ada. Maksudnya hak saya itu. Hak bantuan kepada saya namun saya tidak mendapat. Aturan main yang saya ingat sih pusat ngasih hak otonom ke kampus. Nah, duit bantuan itu pikirku ada di tangan pengelola dana Bidikmisi Stain Jember yang sekarang hampir berubah jadi IAIN Jember.
Mereka memberikan alasan tentang, proses pencairan dana bantuan Bidikmisi dikirim oleh pihak pusat melalui rekening dari masing-masing mahasiswa Bidikmisi. Tapi dulu saat saya tidak ikut tanda tangan di atas materai mengapa masih cair? Mungkin teknisnya saat sudah penandatanganan oleh mahasiswa Bidikmisi dikumpulkan lalu di scan, dikirim melalui email atau fax, atau lewat kantor pos. Lalu bagaimana dengan saya yang tidak mengumpulkan? Tentunya nama saya tidak ada. Namun saya masih mendapat dana bantuan Bidikmisi itu.
Saya berharap dana itu disalurkan kepada mahasiswa yang membutuhkan dengan benar. Masih banyak kenalan saya di kampus ini dan membutuhkan biaya yang cukup. Namun jika harapan saya tidak dipenuhi ya itu hak kampus. Juga hak kampus untuk memberhentikan dana bantuan kepada saya. Tidak sebatas dana kehidupan sehari-hari, tapi dana spp ya monggo. Saya legowo. Atau jika mau me DO saya ya tidak apa-apa. Itu hak otonom kampus.
Ingat betul aturan main bagi penerima dana bantuan Bidikmisi. Salah satunya kampus berhak memberhentikan atau mengambil keputusan untuk mahasiswa Bidikmisi yang bandel. Kayak saya inih. Jujur saya bandel. Mohon jangan berteman dengan saya. Takut bandel saya nantinya menular. Plis gaes. Okeh. Fine.
Namun saya sedikit harapan ini kiranya menjadi pertimbangan bagi pengelola dana bantuan Bidikmisi. Harapan untuk disalurkan ke orang lain daripada memutus bantuan ke saya dan behenti begitu saja. Masih banyak kenalan saya yang butuh bantuan dana. Dan menurutku mereka layak selayak layaknya. Dijamin tidak ada rekayasa terkait ketidak mampuan, penghasilan yang tidak layak, atau lain-lainnya.

Catatan:
1.       Saya tidak bersedia dipanggil pihak pengelola dana Bidikmisi Stain Jember jika meminta saya agar memenuhi persyaratan pencairan dana. Dengan tujuan biar saya dapat dana bantuan juga. Saya sudah menye-menye. Tidak ingin lebih menye-menye lagi.
2.       Saya bersedia dipanggil pihak pengelola dana Bidikmisi jika kaitannya tulisan saya ini salah. Ada bau penghinaan. Tapi jangan laporkan saya ke polisi. Sungguh. Saya takut. Saya tidak mau masuk jeruji besi. Tapi jika itu pantas dan sudah dipikir matang ya tidak apa-apa.
3.       Jika tidak terima dengan tulisan saya sila balas (sebagai pengelola dana bantuan Bidikmisi). Karena anda (pengelola) adalah orang yang menurut saya kaum intelektual. Yang tidak melakukan tindakan-tindakan anarki. Cukup dengan mikir, kasih tanggapan, atau menjawab tulisan saya melalui tulisan juga.
4.       Beri saya SK jika pihak pengelola sudah lelah mengurusi saya dan mencabut hak menerima dana bantuan Bidikmisi.
5.       Jika sudah memberi saya SK mohon dengan tertulis melimpahkan hak saya yang dicabut dialihkan ke orang yang layak. Untuk itu saya bisa mengusulkan orang yang benar-benar layak. (itupun masih hak otonom pengelola dana Bidikmisi).
6.       Jika ingin memanggil saya, beri surat resmi.

7.       Tulisan ini dibuat semata-mata sebagai ruang dialogis antara saya dengan pihak-pihak terkait  tanpa ada maksud atau tujuan provokatif.

Selasa, 25 November 2014

Mari Berjejaring dan Saling Menguatkan

Berbagai definisi muncul tentang mantan. Tentang bayang-bayang ilusi, penyakit flu, sampai penyomotan hadits —entah sohih atau maudu’. Meski sebenarnya tak perlu didenisikan seorang mantan. Saya tidak paham dengan teori atau apapun. Saya hanya mencoba menulis dengan hati nurani yang dalam sedalam-dalamnya.
Bagaimana mendefinisikan sesuatu yang tidak dapat ditentukan perbedaannya. Semisal antara langit dan bumi masih dapat didefinisikan dengan perbedaannya. Mantan? Apakah lawannya calon mantan? Pacar? Bagaimana dengan mereka yang belum pacaran. Mereka butuh calon pacar, lalu pacar, baru klimaks menjadi mantan. Kan kasihan hidupnya. Sia-sia sekali habis waktu untuk menyabet predikat mantan.
Saya percaya dengan saling keterkaitan antara satu dengan lainnya mutlak ada. Semisal saya dengan ibu. Tak mungkin ada sosok saya yang keren tanpa ibu susah payah membuka lebar ke dua kakinya sambil bilang, “nak, kamu dulu yang lewat”. Atau lebih lanjut,ulah mantan yang sebabkan perih yang sering kalian eluhkan —para lelaki rapuh. Apa hubungannya? Pernahkah kalian —para lelaki rapuh— bertanya kondisi mereka? Jangan-jangan mereka sedang bercanda gurau dengan pacarnya yang baru (bukan maksud menyinggung yang (mungkin) merasa ditipu karena LDR).
Kalian —para lelaki rapuh— sudah gagal paham dengan hal ini. Hubungan anak dengan ibu wajar. Mantanmu dengan kamu? Tidak ada hubungan. Anggap saja saling tukar kado —tentunya dengan jarak yang puluhan kilometer, adalah tahap awal sebagai pegawai kantor pos. karena kalian dituntut untuk paham atas penulisan alamat tujuan, pengirim, berikut nomor telpon yang dapat dihubungi.
Coba saja kalian pahami. Mantan tidak berdiri sendiri sebagai orang yang pernah ngisi perasaan kalian. Dia ngisi hati kalian itu atas perasaan. Sekadar memindah tulisan yang ada di dinding sekret, “tidak ada sesuatu di luar teks. Segalanya adalah teks,” Nietszche.
Bayangkan teks adalah mantan kalian. Betapa hidupmu penuh dengan mantan? Seharusnya tak perlu menyesal karena itu adalah bagian dari kehidupan. Bahkan di satu sisi menjadi sesuatu yang dapat dibanggakan. “Dulu bapak pernah pacaran dengan anak Banjarmasin, kota Seribu Sungai itu lo,” cerita pada anak-anak.
Penyebab kalian rapuh mungkin kerena mantan mencintai kalian karena terpengaruh beberapa sebab. Kegantengan (jika ada), sekadar penambah track record untuk cv mantan, atau hanya ingin nulis buku yang bisa best seller dengan kisahnya sendiri. berpacaran selama empat tahun berakhir di kantor pos dengan air mata yang kalian tumpahkan untuk mantan.
Mantan adalah mantan. “Mari berjejaring dan saling menguatkan”* dari barisan para mantan.


*tulisan di dinding sekret

Tragedi Cipok Basah

Mulut terasa pahit lama tidak makan asinan, manisan, atau istilah kerennya “jajan”. Minggu, 9 November 2014 malam, aku dan Lia—salah satu teman di sekret—berencana mencari bakso bakar di depan kampus Stain Jember—biarpun orang lain menyebutnya IAIN Jember, aku masih suka nama itu.
Proses membakar pentol lama. Aku memutuskan untuk mencarri minuman segar di toko-toko sekitar perusahaan kerupuk. Kurang lebih waktu yang aku buang 10 menit. Dan bakso bakar pun belum siap santap. “y owes, aku neng bunderan—tempat yang berada di belakang akademik—disek. Wi-fi-an,” ucapku pada Lia sedang menunggu bakso bakar.
Tiba di bunderan, ada dua pasangan yang asik pelukan. Aku tidak habis pikir. Di tempat yang terbuka, masih ada penerangan, cukup banyak orang, dekat masjid—meski tidak ada hubungannya, mahasiswa yang katanya IAIN Jember.  #moralmu #lho.
Lia membawa bakso bakar dengan bungkus plastik. Ada lima tusuk pentol yang dipatok harga lima ribu. Aku asik youy tube an. Lia entah browsing apa. Sekitar menit ke lima belas. Mereka tambah menjadi. Posisi bunderan terdiri dari dua tempat duduk paten yang melingkar dengan atap yang berbentuk payung. Ada yang menyebut bunderan sebagai payungan.
Aku dan Lia duduk di samping masing-masing satu pasangan. Pasangan di samping Lia sedang asik pelukan sambil ciuman. Sedangkan pasangan di sampingku sedang asik pelukan dengan kondisi si cewek sambil menangis—mungkin kesakitan. Aku sih #rapopo. Tapi Lia mulai risih yang sejak duduk sudah pelukan di tempat umum begitu.
Akhirnya Lia mengajak balik ke sekret saja.
Dugaan: mungkin kedua pasangan itu sedang gandrung dengan lirik lagu “aku pingin pentol sing enek endoke, aku pingin pentol sing dobel endoke, aku pingin pentol pentol pentol pentol pentol, sing akeh emine (saya ingin pentol yang ada telurnya, saya pingin pentol yang dobel telurnya, saya ingin pentol pentol pentol pentol pentol, yang banyak mi-nya).

Catatan: tulisan ini tidak bermaksud untuk melecehkan seseorang, atau melakukan tindakan yang melanggar SARA. Tulisan ini murni kenyataan dan tidak dibuat-buat. Diperbolehkan meng-copy sebagian atau seluruh tulisan untuk keperluan pendidikan. Terima kasih.

Minggu, 03 Agustus 2014

Perjalanan Suci

beberapa bulan lalu saya bertemu dengan kehidupan yang tidak pernah berbeda pada satu sisi, dua, bahkan beberapa sisi. saya bertanya pada salah satu teman tentang agamanya. dia menceritakan segalanya. teman lain, juga menjawab sepengetahuan dia. begitupun dengan teman satunya lagi. mereka menjawab keresahan saya dengan jawaban yang beda redaksi, penamaan, tingkah, atau semacam perbedaan pada entitas, bukan esensi.
teringat Freud yang menjelaskan tentang batas-batas manusia pada titik tertentu. saya teringat ungkapan teman yang mengatakan tidak ada batasan atas kita. kita bebas. kita bisa memilih sesuai apa yang kita mau. namun menurut saya itu masih sekelebat. bukankah tingkah alami kita sudah mewakilinya? saat kenyang tak mampu terisi lagi. kita mempunyai kuasa untuk meneruskan makan. tapi apa nantinya yang terjadi jika kita melanjutkannya? muntah. iya, kita sebagai manusia masih mempunyai batas-batas tertentu.

hal di atas telah bertemu saya selama satu bulan lebih. dan itu sedikir membuka mata. betapa tidak ada yang sempurna. karena manusia ada batasnya. saya berdoa, semoga saya tidak menjadi orang yang selalu menuntut atas sesuatu. Amin.

*tulisan di atas hanya saripati bangkai Syarif. tafsir luas dan bertanggungjawab membantu sesama manusia

Minggu, 08 Juni 2014

Ayat-Ayat 'tuhan'



Kau terlahir di dunia lebih dulu daripada aku. Tuhan menciptakanmu sebagai kumpulan dari lembaran-lembaran ayat-ayatnya. “kau adalah ciptaanku yang suci. Bebas dari debu jalanan yang tersentuh kotoran-kotoran sapi,” kata tuhan.
Tercipta lebih dulu bukan berarti tahu tentangku, bangkai yang direndam minyak zaitun oleh Tuhanku. Aku ingat betul saat mata kita beradu di bawah atap Musola Ampel. Aku yang tak cukup dewasa waktu itu malu meramu tatapan kita yang lugu. Seperti hari sebelumnya, hari ini kau ada janji bersama kawanku, Derojat untuk mengkaji ayat-ayat Tuhan yang ada padamu. Tiap lembaranmu yang dibuka Derojat tercium zaitun dari tubuhmu. Kau tenangkan setiap orang yang membaca dirimu.
Aku gagap membacamu, mengertimu, menafsirmu, lebih menerapkannya. Aku bisa di bilang gagal atas itu. Kau, membawa aku yang hina ini ke pantai. Lari dari orang-orang yang mengejekku atas ketidakbecusanku memahamimu. Pasir, debur ombak yang menampar bebatuan mengoyak isi kepalaku. Terasa di cuci, diganti isinya, dan dijahit ulang tempurung kepalaku.
Kita saling berpegangan erat. Aku memahamimu semampuku. Aku menjagamu agar lembaran-lembaranmu tidak basah oleh ombak yang berpacu dengan merdu. Aku tutp sampulmu yang terciprat ombak. Kau sedikit lusu.
Hari aku jalani dengan rajin dan tekun untuk memahamimu. Takut tafsir yang aku lakukan menyeleweng dari jalannya.
Itu dulu, saat aku belum menjadi atheis. Menyendiri atas diri sendiri.
Menyentuhmu tak pernah aku punya wudu. Memahamimu tak pernah aku punya bekal yang cukup. Hingga tafsir yang aku lakukan sekadar pengetahuanku yang terbatas atasmu. Sampai kita mengangkat bendera jaga jarak. Kau marah karena sikapku yang ‘sembrono’. Kalimat umpatan yang biasa aku rapalkan lebur dengan sendirinya. Tapi, jahitan tempurung kepalaku robek. Dengan luka yang menganga.
Pernah aku berjanji atasmu untuk selalu menjaga ayat-ayat yang terkandung atas lembaran-lembaranmu. Kini, setelah aku menjadi atheis, janji itu berubah menjadi belatung yang menggerogoti lukaku. Otakku membusuk. Bau anyir menusuk. Otakku terkatung-katung termakan belatung.
Tiap kali aku mengingat janji itu, belatung bertambah jumlahnya. Aku mencoba memahamimu tak lagi bau anyir. Nanah dan darah meleleh dari kepalaku. Aku tidak ingin menjadi atheis. Tapi aku juga tidak mau terbatas untuk memahamimu sebagai ayat-ayat Tuhan yang tertulis di lembaran-lembaran suci. Aku hanya tidak ingin memahamimu seperti yang dilakukan bajingan-bajingan busuk itu. Mereka atas nama agama, bersurban, kopyah, rajin wudu, dan berdakwah sana-sini tanpa bukti. Hanya itu.
“AKU TIDAK INGIN MEMAHAMIMU SEPERTI YANG DILAKUKAN BAJINGAN BUSUK ITU”.
Mungkinkah bendera jarak yang telah kita angkat akan turun? Menjalani hari dengan saling memahami? Atau sekadar beradu mata saat kau di rak Musola Ampel ? Kini, kau memilih duduk rapi di dalam rak berteman debu musola dan penjaganya.
Jember, 2014

Kamis, 05 Juni 2014

(Katanya) Orang Tua Mahasiswa



Aku mendapat kabar rombongan dari STAIN Jember di undur Minggu malam. Kabarnya PK tiga bilang supir bus tidak bisa mengantarkan besok. Bisanya Minggu malam dan mungkin tiba di rumahmu pada Senin pagi. Ya, padahal aku sudah rindu UDIN.
Berita itu memukul telinga dan batinku keras-keras. Entahlah, rencana tuhan paling keren. Mungkin nanti jika Khamsun sudah tiba di STAIN Jember dari rumahmu akan aku tanya kabarmu. Paling membuat aku terpukul ketika pihak birokrat tidak bisa mendampingi rombongan ke rumahmu.
Fandi, ketua Menwa sekarang, mengatakan, dari pihak kampus tidak ada perwakilan. Dia menceritakan bahwa pihak kampus tidak mau tahu tentang siapa yang menjadi perwakilan untuk ke rumahmu. ‘Silahkan cari sendiri,’ tiru Fandi atas ucapan PK tiga.
Ya, tidak apalah. Terserah mereka. Mereka mengantongi kartu HAM. Tidak ada hukum yang bisa mengikatnya. Karena ini bukan suatu kejahatan. Hanya masalah pribadi yang tidak termasuk dalam perkara perdatawaris, nikah, atau yang lain. Semoga Senin sudah bisa bertemu kembali, amin.

'Orang Tua'



‘Orang tua’. Kau adalah orang tua bagiku. Duduk di bangku kuliah lebih lama daripada aku. Kita selisih satu tahun di kampus STAIN Jember. Dengan Jurusan yang tak sama. Kau di Tarbiyah (pendidikan) dan aku di Syariahada yang memahaminya sebagai hukum, hubungan internasional, kumpulan para penghulu muda, atau ‘tukang pemisah’ hubungan tali pernikahan. Kau lebih dikenal dengan sebutan UDIN. Nama lengkapmu yang aku dengar dari pelantikan Resimen Mahasiswa (Menwa) tadi malam adalah UDIN ARDIAN.
Semester empat, kuliah yang paling banyak waktu aku habiskan dengan mu di gedung Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) STAIN Jember. Kita habiskan waktu dengan dua temanku yang sekarang sudah lulus. Sebut saja Afwan dan Budi. Kabarnya mereka sudah bekerja. Semoga mereka mendapat pekerjaan yang layak sesuai hati dan kepercayaannya, amin.
Aku lupa untuk menuliskan nama teman yang akhir-akhir ini dekat denganmu, Khamsun. Nama lengkapnya jika tidak salah Amanatun Khamsun. Dia aktif di organisasi ke-olahragaan. Kabarnya dia sempat singgah di rumahmu, Bali. Sempat aku iri dengan Khamsun. Tapi kau pasti ada alasan lain. Toh, kita akhir-akhir ini jarang bisa menghabiskan waktu secara bersama-sama. Kau sibuk dengan urusan skripsimu. Aku dengan kegiatan organisasiku, Unit Pers Mahasiswa (UPM) Millenium.
Yang selalu muncul jika aku ingin bertemu denganmu di ruang imajinasi adalah ‘masak bareng’. Pada semester empatdan kau semester enamkita sering masak bareng. Kau membawa mejikom dari Menwa, aku membawa nasi. Untuk lauk kita patungan. Selalu begitu setiap hari. Seperti rapalan yang selalu dilakukan oleh pemuja tuhan di tiap malamnya.
Selain itu yang tidak bisa hilang dari imajinasiku ketika kita beradu kartu, poker. Afwan dan Budi selalu mengejek. Yang lain pun juga ikutan. Termasuk aku. Malam itu ada mas Fais alumni Millenium, Rijal anggota pramuka, Khamsun yang tidak begitu bisa memainkan kartu, dan beberapa teman kita yang aku lupa untuk mengingatnya. Kau adalah ‘musuh’ yang cukup tangguh untuk kamianggota MIlleniumkalahkan. Meski kau mendapat serangan dari segala sisi, ejekan, kau tersenyum dengan gayamu yang sok-sokan tegas. Seperti anak Menwa pada kebanyakan. Mungkin kau terlalu menghayati waktu di pendidikan Menwa. Entahlah.
Tak jarang kita terlibat saling lempar olokan. Tapi tak ada dendam antara kita. Kita adalah keluarga. Meski dulu sempat tidak suka padamu karena background/ideology mu yang berbeda denganku. Hah, itu hanya warisan konflik dari pendahulu kita UDIN.
Meski begitu, sepeda Vixion-mu tak jarang aku pinjam. Entah pulang ke rumah, beli nasi, menjemput teman di tawang alun Jember, atau sekadar ke kontrakan ganti pakaian. Satu yang paling aku suka darimu. Kau tidak pernah perhitungan dengan temanmu. Entah bensin, olokan, atau yang lain. Cuman ketika kau mentok dengan olokan, kau selalu memukul dengan kasih sayang, tidak keras. Hanya pelampiasan betapa kau ‘gemas’ dan ingin emosi. Tapi tak kau muntahkan. Engkau tahan sampai kau bisa menetralisir sendiri. UDIN, kau adalah teman yang beda dengan lain.
Atas nama Asu, Jamput, Jancuk, Naskleng, kita sering lempar kata-kata itu. Meski pada awal-awal kau tidak mafhum dengan kata-kata itukecuali Naskleng karena itu bahasa Bali. Karena kau tidak mengerti bahasa jawa. Kau adalah mahasiswa asal Bali yang tidak paham dengan bahasa jawa. Lain halnya Malikteman akrabmu dari Bali yang beberapa bulan lalu memenuhi ruang obrolan kita.
Ingin aku melanjutkan lembaran skripsimu itu. Aku tahu kau serius dalam pengerjaannya. Tiap malam browsing di sela-sela dinginnya sikap pohon-pohon kampus. Kau seperti pencuri wi-fi, duduk-duduk digelapnya malam sendirian. Pernah kau bilang padaku kalau kau malu jika ditempat yang terang. Sudah merasa tua. Eh, merasa tua karena tiap kali kita bertemu aku menyebutmu dengan sebutan ‘orang tua’.
Aku sudah bosan kuliah di Syariah. Jika diijinkan, aku akan melanjutkan skripsimu yang tertunda itu UDIN. Kenapa kau menundanya? Apa ada orang lain yang mengganggumu? Tuhan? Malaikat? Dosenmu? Temanmu? Mana, aku ingin mengajaknya duel. Padahal aku kemarin minta padamu agar bisa segera menyusulmu menjadi sarjana. Aku bilang padamu bahwa masak aku lulus bebarengan dengan mahasiswa angkatan 2013? Kau hanya membalas senyum dan tidak bekata apapun. Lagi-lagi kau tersenyum. Tidak seperti biasanya yang balik ‘gojloki’ aku ‘aduh’ dan kau lanjutkan dengan guyonan khasmu. Mungkin kau sudah bosan dengan olokanku yang kau kau jumpai tiap bertemu.
Kau pernah bilang padaku ingin segera lulus dan melanjutkan karirmu di bidang militer. Tapi kemarin pagi, kau pamit pulang UDIN. Dan aku belum sempat melemparkan ucapan Asu, Jamput, Jancuk padamu. Apa kau sudah bosan dengan ucapanku? Sehingga kau tidak mau lagi mendengar olokanku? Bangsat, Bajingan.
Sering kita bertukar batang rokok, sabun mandi, sarung, hp. Sekarang? Bertukar olokan pun kita tak mampu. Dasar Asu, Jamput, Jancuk, Bajingan, Bangsat. Kenapa kau tidak mau lagi melakukan ritual berbagi itu lagi UDIN? Kenapa kau memilih untuk menyendiri? Ada masalah? Ayolah cerita seperti yang kita lakukan beberapa bulan yang lalu. Khamsun merindukanmu. Budi juga. Afwan belum aku kabari. Nanti aku kabari dia. Pastinya dia tidak rela kau sendiri. Kalau galau bilang aja DIN. Tidak usah sampai menyendiri begitu. Sampai kapan kau menyendiri? Esok, lusa, minggu depan, bulan depan, tahun depan, atau kapan. Pastinya aku dan teman-teman akan menyusulmu. Nanti, jika kita diberi waktu untuk bareng-bareng lagi. Jangan lupa untuk bertukar dengan ucapan Asu, Jamput, Jancuk dengan kita ya. Aku tunggu lo ya. Serius.
Ya sudah. Aku mau ngabari Afwan dulu. Tunggu aku di situ ya. Kami akan menyusulmu kok. Lengkap dengan kartu. Olokan, batangan rokok, malam, dinginnya pohon-pohon kampus, serta gedung UKM yang menjadi tempat kita bertemu. Kalau butuh apa-apa jangan sungkan untuk ngabari aku di sini. Tetap, di sekret UPM Millenium lantai satu. Tepat depan kantor Menwa. Aku sekarang masih tetap gondrong. Jangan lupa itu ya.
Tadi aku mendapat kabar dari komandan Menwa terpilih, Fandi. Besok rombongan anak UKM dan Pembantu Ketua (PK) tiga akan berkunjung ke rumahmu. Jangan beranjak ya. Tetep di situ. Tunggu rombongan dari kampus ya. Kabar selanjutnya aku kabari lagi.

Selasa, 03 Juni 2014

Bajingan


Orang tua renta berjalan dengan tongkat kayu di tangannya. Anak bayi berjalan dengan bantuan orang tuanya. Pedagang berjualan daganganya dengan rombongnya.
Aku, tidak butuh siapa-siapa. Aku makan menggunakan uangku. Perjalanan jauh menggunakan mobilku. Mengurus anak mendatangkan si mbok di rumahku. Aku memberikan penghidupan pada orang lain.
Dengan uang aku membantu para penjual makan untuk mendapat uang. Mobil membantu para teknisi mendapat penghasilan. Si mbok mendapat gaji untuk kerpeluan sehari-hari. Bukankah aku memberikan kehidupan pada orang lain?
Jamput.
Jamput.
Jamput.
Jancuk,
Jancuk,
Jancuk,
Kalian orang-orang yang telah aku bantu kehidupannya, menafikan diriku sebagai orang yang membutuhkan orang lain?
Bajingan.
Bangsat.
Aku adalah orang yang bisa melakukan apa-apa yang aku mau. Kalian harus akui itu. Adakah ucapanku salah? Adakah tindakanku salah? Aku mengatakan sebenarnya, sejujurnya. Aku melakukan sesuai hati nurani untuk membantu mereka mendapatkan apa yang mereka mau.
Asu
Asu
...............................................angin berbisik padaku................................................................................
Kau mendapatkan uang dari mana?
Kau bisa makan dengan bantuan siapa?
Mereka yang mencukupi kebutuhanmu. Bukan kau. Jika kau tidak butuh mobil, makanan yang dijual, si mbok yang menjadi babumu, mereka tidak akan melakukan itu. Mereka tidak gila uang. Mereka lagi-lagi terpaksa menuruti permintaanmu. Karena kasihan jika uang-mu tak lagi berharga. Dengan apa uang-mu akan ditukar?
Para petani masih bisa makan dengan hasil panennya sendiri. Meskipun tidak ada uang darimu.
Kau?
Tak mungkin bisa makan dengan uang-mu. Uang-mu tak lagi berharga jika orang disekitarmu tidak kasihan terhadapmu.
Sadarlah
.................................................................hening......................................................................................
................................................................berkabut...................................................................................
.....................................................................gelap....................................................................................
Kakek?
Bukankah kakek sudah lama meninggal?

Jember, 2014

Jumat, 09 Mei 2014

Air Birahi

bintang gemintang terbentang luas
membentuk huruf-huruf kuno
aku tak mampu membacanya
tapi teduh di palung hati

sepintas tampak kuda bersayap membawa obor, indah
bintang dan obor beradu
berebut keelokan, kebijaksanaan, dan kecantikan
tak ada yang mau mengalah

Adam menarik lengan Hawa
mencumbu paras wajahnya
lekukan mata dan garis tangan mengalir peluh
mereka bercinta di bawah perseteruan

kuda itu mendarat di bumi
menjemput Adam dan Hawa ke langit teratas
melukis malam dengan lekukan birahi
air birahi menghujani bumi

tanah kering menjadi basah
bermunculan tanaman yang beragam
mereka memecah tanah
menancapkan akar mereka kuat-kuat

perseteruan berakhir
kuda bersayap pergi dari langit menuju langit teratas


Oleh-oleh singgah dari rumah si Mbah

Aku mendapat pelajaran baru dari si Mbah dalam menjalani kehidupan. Pelajaran dari interpretasiku sendiri. Hal ini tidak mutlak dan masih terbuka ruang dialog yang panjang dan lebar. Jika nantinya ditemukan hal tidak cocok dan tidak layak untuk dipakai.

Belajar dewasa
1.       Menampung, merespon perspektif orang lain
Bibikmu kerjo dek Bali. Emboh opo sing digoleki. Kurang sugih paling. Wong dek umah garek masak, resik-resik. Jek kerjo dek Bali (bibikmu kerja di Bali. Tidak tahu apa yang dicari. Kurang kaya mungkin. Wong di rumah tinggal masak, bersih-bersih. Masih kerja di Bali),” kata si Mbah.
“Nggeh boten ngertos Mbah. Katah tiyang sugih tapi milih kerjo soro. Kan senengane tiyang benten-benten (ya tidak tahu Mbah. Banyak orang kaya tapi memilih kerja yang sulit. Kan kesukaan orang beda-beda),” sahutku.
Si Mbah diam sebentar. Iyo paling, (iya mungkin)sahut si Mbah.
2.       Tidak egois
Ketika aku datang di rumah si Mbah dia baru bangun dari tidur. Mungkin dia terbangun setelah aku memanggilinya dari luar. Rehat sebentar sekitar lima menit si Mbah bilang, “duh mari turu ijeh ngantuk. Turuo le. Istirahat (duh sudah tidur masih ngantuk. Tiduro nak. Istirahat),” kata si Mbah.
Saat aku datang kakek sedang pergi ke sawah. Datangnya sore setelah aku terbangun dari tidur. Saat aku bangun dia sedang bersih-bersih rumah dan mencangkul halaman rumahada halaman kosong yang ditanami sayuran. Setelah bangun dan cuci muka aku langsung di suruh makan. Karena semuanya sudah disiapkan aku langsung makan. Anehnya, nasi masih utuh. Ini si Mbah dari sawah kok belum makan ya. Waktu aku nawari makan, dia nyuruh aku makan duluan.
Ya seperti itulah. Mungkin dari percakapan di atas bisa ditarik kesimpulan tentang belajar dewasa. Kalau aku mengartikannya ya sebagai orang yang sudah dewasa dan matang. Terlepas dari usia mereka yang sudah tua dan mempunyai cucu aku. Begitulah menurutku. Menurutmu? Hehehehe


(09/05/2014)

Senin, 24 Februari 2014

Amplop



Pagi ini cukup melelahkan. Bangun dari tidur pinggang sudah pegal-pegal semua. Tak tahu apa sebabnya. Waktu masih terlalu pagi – sekitar pukul 06.00 – untuk beranjak dari tempat tidur. aku putuskan untuk tidur lagi.
Entah pukul berapa, dari arah luar ruangan sudah ada wanita kecil yang teriak-teriak. “Mas, mas,” kurang lebih seperti itu ucapanya. Peduli siapa. Aku acuhkan suara itu. Sampai aku melihat jam di Hp sudah pukul 08.07. Aku lupa ada kuliah pukul delapan lewat lima belas menit. Bangun pagi memang musuh (pagi? aih, ini sudah siang tauk!).
Singkatya, kuliah hari ini tak ada dosen. Brengsek, si dosen tak masuk. Gak ngerti kali yak. Aku sudah susah-susah bangun pagi hanya untuk kuliah. Effak lah. Tak apalah, aku putuskan untuk ngopi di salah satu warung yang cukup jadi langganan.
Huer,,,,,, aku sudah sampai di tujuan. Intinya aku sarapan, minum kopi, rokok an, ngobrol tentang sepeda motor teman yang dipinjam orang tak dikenal saat dia tidur, dan hal-hal yang tidak penting. Hehehehe. serampung itu, aku dan teman-teman kelas kembali ke kampus untuk kuliah pada pukul 10.30.
Sebelum berangkat pulang aku mendapat pesan dari “Raup”. Isinya kurang lebih seperti ini “mas, nangdi? digoleki Lia. penting!”. Yah, tepat banget dengan tujuan ku ke kampus – karena mereka berada di sekret.
Saat di tengah jalan menuju ruangan kuliah, aku minta diturunkan oleh teman ku.
“Kamu gak masuk?” tanya teman ku.
“Gak ngerti,” jawabku sambil tertawa.
Aku berjalan menuju sekret. di sana sudah ada Raup dan Lia. Baru masuk ke sekret si Lia sudah teriak kagak karuan. Dia bercerita mendapat amplop berisi uang dari salah satu birokrat kampus. “Huem, asik nih,” pikir ku, hehehehe. Dia bingung kagak karuan.
Lia menceritakan, saat selesai ngobrol dengan salah satu birokrat kampus, dia mendapat “salam tempel” darinya untuk dia dan Raup. Mereka sudah berusaha untuk tidak menerimannya. Tapi sang birokrat tidak menyerah. “Si .......... memberikan uangnya secara paksa. padahal udah aku tolak mas. sampai ampolpnya jatuh dan ditinggal masuk ke ruangannya. aku kan gak enak mas mau masuk lagi, karena banyak dosen dan alumni di dalam ruangan itu. Hih, pokok aku jijik mas. Apalagi banyak orang lo mas,” kata Lia. Si Raup manggut-manggut sambil tersenyum. Ya dia menguatkan omongan si Lia gitu wes.
Aku belum menemukan jawaban atas perlakuan birokrat terhadap Lia dan Raup. Apa modusnya? Kenapa? Mengapa? Bagaimana? Dimana? Kapa? (hehehehe, kayak mau wawancara aja yak?)
Kemudian aku mendapat masukan dari salah satu kawan yang sekarang ada di Jakarta untuk segera mengembalikan uang itu (fuh, dowo tenan. males ngedit). Aku dan Ulum berangkat menuju rumah sang birokrat. Di sana tak bertemu dengan yang bersangkutan dan, hanya bertemu dengan istrinya saja. Hah, ya udah lah besok aja lah. Hehehehe

(20/02/2014)