Cerita. Mungkin hal ini yang harus aku lakukan untuk
blog-ku. Beberapa hari aku telah meninggalkan dan meng-acuh-kannya begitu saja.
Memang aku datang padanya saat aku butuh saja. Apa aku terlalu semena-mena? Apa
aku terlalu tak berdaya? Apa memang aku sudah tak punya kawan lagi? Entahlah,
aku hanya ingin bercerita pada Karantina Lumpur – nama blogku.
Akhir-akhir ini aku sedang dirundung masalah Karantina
Lumpur. Ribet. Aku panggil kamu Tina saja ya agar tampak manis. Tapi aku takut
dikata orang yang tak mampu menghadapi masalah untuk diselesaikan sendiri.
Istilah cengeng, egois, bodoh, busuk, bahkan hina mudah menempel dipunggungku
Tina. Tapi inilah aku. Cucu Adam yang jarang bahkan tak pernah mau bertemu
dengan kakeknya sendiri. Bahkan mengingat Dia yang pernah mengajarkan lagu
‘kring bel sepeda’ padaku. Malas. Meski akhirnya aku tak dapat sifat turunan
dari-Nya. Kuat.
Sudahlah, kakek sudah wafat dan tenang di alamnya. Pundak ku
patah Tina. Beban ini terlalu berat untuk ku. Beban ini, beban itu, beban kamu,
beban dia, beban aku, beban . . . . . . . (kamu isi sendiri yang Tina. Aku
capek!) semoga dengan cerita beban yang satu ini membuat aku sedikit tenang dan
kamu tidak terlalu kepikiran. Amin.
Aku menemukan anak mesum di dalam toilet kantin Tina.
“Apa?” katamu.
“Iya. Aku memergoki anak laki-laki memakai sarung orange
keluar dari toilet tanpa sehelai baju,” timpalku.
Aku menceritakan kejadiannya padamu. Saat itu, aku dan ke
dua kawanku sedang menyusuri malam mencari kawanku yang hilang. Tepat di depan
toilet kantin kampus aku dan kawan-kawanku berniat untuk mencarinya di dalam
toilet. Sedang berusaha masuk, ternyata pintu dalam keadaan terkunci. Aneh. Pintu
yang rusak dan tak terkunci dan sekarang sebaliknya. Pintunya di kunci, dari
tali rafia dan terikat dari dalam. Kucoba menarik pintu sekuat tenaga. Namun
tak ada hasil. Kakak yang membawa korek api membakar tali rafia dan
...............
Kami menjerit sekencang-kencangnya. Di dalam sana ada sarung
orange berdiri tanpa ada tuannya. Kami bertiga lari tergopoh-gopoh. Salah
satu kawan yang panik menyuruh kawan untuk mencari pentungan. Memastikan sarung
ber-tuan atau tidak.
Mendengar itu, dari dalam toilet keluar pria kurus memakai
sarung orange tanpa memakai baju. Badanya termakan bau busuk wc, kering.
Suaranya yang pelan menuju arah kami disertai tangannya mengatung minta belas
kasihan. Kami menolak untuk didekati. Dia tak menggubris. Dia malah nekat untuk
mendekat. Wajahnya yang pucat mendekati kami di malam yang pekat.
“Lalu?” tanyamu.
“Kami berteriak minta tolong di sekitar kami. Tapi tak ada
sahutan dari arah sekitar,” jawabku.
Lelaki bersarung itu mencoba menenangkan kami. “Mas, minta
maaf mas. Tolong jangan ramai-ramai. Aku manusia mas. Coba mas pegang tangan aku.
Tidak usah takut mas,” katanya sambil mendekat dengan wajah mati dan tubuh
kering.
Dia menceritakan kejadian yang sebenarnya. Awalnya dia
berniat Facebookan di kampus. Guyuran hujan membasahi birahinya. Tak kuat
menahan birahi, dia melakukan gencatan senjata dan memilih toilet kantin
sebagai lokasi serangannya. Sungguh darah muda.
Darah muda
Darah yang berapi-api
Yang maunya menang sendiri
Walau salah tak perduli (salah teks sila benarkan
sendiri J)
Sebelum dia cerita tentang asal mula gencatan senjata. Dia
memperkenalkan si ceweknya untuk memastikan kalau mereka memang manusia. Aneh.
“Sebentar mas, biar cewek aku pakai baju dulu,” kata lelaki
itu. Dari dalam toilet ke luar wanita berkerudung dengan beberapa kain
dibopongnya menuju sudut banguna yang mata kami tak dapat menjangkaunya.
“Sial. Malam menghalangi mata menembus lekukan demi lekukan
dari tubuh bugil,” batin ku.
Aneh. Kenapa ganti baju harus di luar? Mau pamer atau
menjajakan tubuh bugil? Percuma saja jika malam tanpa cahaya. Aneh.
Selang beberapa menit, si cowok membawa kami bertiga untuk
menemui si cewek. Awalnya dia enggan untuk melihatkan wajah ceweknya.
Pintarnya, si cewek memalingkan badan dari kami (mungkin si cewek sering lihat
berita kasus asusila. Dari gaya menutupi wajah, menunduk, dia lebih memilih
memalingkan badan dari kamera. Meski aku tidak bawa kamera J).
Tidak puas dengan pemalingan wajah yang dilakukan. Aku
meminta si cowok untuk dikenalkan pada cewek. “Tapi jangan dibilang-bilang lo
mas,” pintanya. Meski berhadap-hadapan, wajahnya remang-remang (kayak kopi
pangku aja remang-remang). Kawan yang membawa senter aku pinjam untuk melihat
wajahnya. Alamak! Serem juga wajahnya J
Setelah puas, kami bertiga meninggalkan dua pemuda itu tanpa
berkata apapun. Kalau mau kami akan minta pada mereka untuk uang tutup mulut.
Tapi kami menghindarinya. Daripada uang tutup mulut, mending tutup birahi aja J maksudnya join-an J
Ah, semakin ngelantur saja. Satu yang menjadi catatan. Tidak
hanya jilbab hitam yang hebat. Jilbab putih juga hebat (si cewek memakai
kerudung putih J)
#cerita ini hanya fiktir belaka. Jika ada kesamaan tempat,
kejadian, waktu, mohon maaf. Karena ini hanya hiburan semata
#sisi nyatanya sila saring sendiri J