Minggu, 08 Juni 2014

Ayat-Ayat 'tuhan'



Kau terlahir di dunia lebih dulu daripada aku. Tuhan menciptakanmu sebagai kumpulan dari lembaran-lembaran ayat-ayatnya. “kau adalah ciptaanku yang suci. Bebas dari debu jalanan yang tersentuh kotoran-kotoran sapi,” kata tuhan.
Tercipta lebih dulu bukan berarti tahu tentangku, bangkai yang direndam minyak zaitun oleh Tuhanku. Aku ingat betul saat mata kita beradu di bawah atap Musola Ampel. Aku yang tak cukup dewasa waktu itu malu meramu tatapan kita yang lugu. Seperti hari sebelumnya, hari ini kau ada janji bersama kawanku, Derojat untuk mengkaji ayat-ayat Tuhan yang ada padamu. Tiap lembaranmu yang dibuka Derojat tercium zaitun dari tubuhmu. Kau tenangkan setiap orang yang membaca dirimu.
Aku gagap membacamu, mengertimu, menafsirmu, lebih menerapkannya. Aku bisa di bilang gagal atas itu. Kau, membawa aku yang hina ini ke pantai. Lari dari orang-orang yang mengejekku atas ketidakbecusanku memahamimu. Pasir, debur ombak yang menampar bebatuan mengoyak isi kepalaku. Terasa di cuci, diganti isinya, dan dijahit ulang tempurung kepalaku.
Kita saling berpegangan erat. Aku memahamimu semampuku. Aku menjagamu agar lembaran-lembaranmu tidak basah oleh ombak yang berpacu dengan merdu. Aku tutp sampulmu yang terciprat ombak. Kau sedikit lusu.
Hari aku jalani dengan rajin dan tekun untuk memahamimu. Takut tafsir yang aku lakukan menyeleweng dari jalannya.
Itu dulu, saat aku belum menjadi atheis. Menyendiri atas diri sendiri.
Menyentuhmu tak pernah aku punya wudu. Memahamimu tak pernah aku punya bekal yang cukup. Hingga tafsir yang aku lakukan sekadar pengetahuanku yang terbatas atasmu. Sampai kita mengangkat bendera jaga jarak. Kau marah karena sikapku yang ‘sembrono’. Kalimat umpatan yang biasa aku rapalkan lebur dengan sendirinya. Tapi, jahitan tempurung kepalaku robek. Dengan luka yang menganga.
Pernah aku berjanji atasmu untuk selalu menjaga ayat-ayat yang terkandung atas lembaran-lembaranmu. Kini, setelah aku menjadi atheis, janji itu berubah menjadi belatung yang menggerogoti lukaku. Otakku membusuk. Bau anyir menusuk. Otakku terkatung-katung termakan belatung.
Tiap kali aku mengingat janji itu, belatung bertambah jumlahnya. Aku mencoba memahamimu tak lagi bau anyir. Nanah dan darah meleleh dari kepalaku. Aku tidak ingin menjadi atheis. Tapi aku juga tidak mau terbatas untuk memahamimu sebagai ayat-ayat Tuhan yang tertulis di lembaran-lembaran suci. Aku hanya tidak ingin memahamimu seperti yang dilakukan bajingan-bajingan busuk itu. Mereka atas nama agama, bersurban, kopyah, rajin wudu, dan berdakwah sana-sini tanpa bukti. Hanya itu.
“AKU TIDAK INGIN MEMAHAMIMU SEPERTI YANG DILAKUKAN BAJINGAN BUSUK ITU”.
Mungkinkah bendera jarak yang telah kita angkat akan turun? Menjalani hari dengan saling memahami? Atau sekadar beradu mata saat kau di rak Musola Ampel ? Kini, kau memilih duduk rapi di dalam rak berteman debu musola dan penjaganya.
Jember, 2014

Kamis, 05 Juni 2014

(Katanya) Orang Tua Mahasiswa



Aku mendapat kabar rombongan dari STAIN Jember di undur Minggu malam. Kabarnya PK tiga bilang supir bus tidak bisa mengantarkan besok. Bisanya Minggu malam dan mungkin tiba di rumahmu pada Senin pagi. Ya, padahal aku sudah rindu UDIN.
Berita itu memukul telinga dan batinku keras-keras. Entahlah, rencana tuhan paling keren. Mungkin nanti jika Khamsun sudah tiba di STAIN Jember dari rumahmu akan aku tanya kabarmu. Paling membuat aku terpukul ketika pihak birokrat tidak bisa mendampingi rombongan ke rumahmu.
Fandi, ketua Menwa sekarang, mengatakan, dari pihak kampus tidak ada perwakilan. Dia menceritakan bahwa pihak kampus tidak mau tahu tentang siapa yang menjadi perwakilan untuk ke rumahmu. ‘Silahkan cari sendiri,’ tiru Fandi atas ucapan PK tiga.
Ya, tidak apalah. Terserah mereka. Mereka mengantongi kartu HAM. Tidak ada hukum yang bisa mengikatnya. Karena ini bukan suatu kejahatan. Hanya masalah pribadi yang tidak termasuk dalam perkara perdatawaris, nikah, atau yang lain. Semoga Senin sudah bisa bertemu kembali, amin.

'Orang Tua'



‘Orang tua’. Kau adalah orang tua bagiku. Duduk di bangku kuliah lebih lama daripada aku. Kita selisih satu tahun di kampus STAIN Jember. Dengan Jurusan yang tak sama. Kau di Tarbiyah (pendidikan) dan aku di Syariahada yang memahaminya sebagai hukum, hubungan internasional, kumpulan para penghulu muda, atau ‘tukang pemisah’ hubungan tali pernikahan. Kau lebih dikenal dengan sebutan UDIN. Nama lengkapmu yang aku dengar dari pelantikan Resimen Mahasiswa (Menwa) tadi malam adalah UDIN ARDIAN.
Semester empat, kuliah yang paling banyak waktu aku habiskan dengan mu di gedung Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) STAIN Jember. Kita habiskan waktu dengan dua temanku yang sekarang sudah lulus. Sebut saja Afwan dan Budi. Kabarnya mereka sudah bekerja. Semoga mereka mendapat pekerjaan yang layak sesuai hati dan kepercayaannya, amin.
Aku lupa untuk menuliskan nama teman yang akhir-akhir ini dekat denganmu, Khamsun. Nama lengkapnya jika tidak salah Amanatun Khamsun. Dia aktif di organisasi ke-olahragaan. Kabarnya dia sempat singgah di rumahmu, Bali. Sempat aku iri dengan Khamsun. Tapi kau pasti ada alasan lain. Toh, kita akhir-akhir ini jarang bisa menghabiskan waktu secara bersama-sama. Kau sibuk dengan urusan skripsimu. Aku dengan kegiatan organisasiku, Unit Pers Mahasiswa (UPM) Millenium.
Yang selalu muncul jika aku ingin bertemu denganmu di ruang imajinasi adalah ‘masak bareng’. Pada semester empatdan kau semester enamkita sering masak bareng. Kau membawa mejikom dari Menwa, aku membawa nasi. Untuk lauk kita patungan. Selalu begitu setiap hari. Seperti rapalan yang selalu dilakukan oleh pemuja tuhan di tiap malamnya.
Selain itu yang tidak bisa hilang dari imajinasiku ketika kita beradu kartu, poker. Afwan dan Budi selalu mengejek. Yang lain pun juga ikutan. Termasuk aku. Malam itu ada mas Fais alumni Millenium, Rijal anggota pramuka, Khamsun yang tidak begitu bisa memainkan kartu, dan beberapa teman kita yang aku lupa untuk mengingatnya. Kau adalah ‘musuh’ yang cukup tangguh untuk kamianggota MIlleniumkalahkan. Meski kau mendapat serangan dari segala sisi, ejekan, kau tersenyum dengan gayamu yang sok-sokan tegas. Seperti anak Menwa pada kebanyakan. Mungkin kau terlalu menghayati waktu di pendidikan Menwa. Entahlah.
Tak jarang kita terlibat saling lempar olokan. Tapi tak ada dendam antara kita. Kita adalah keluarga. Meski dulu sempat tidak suka padamu karena background/ideology mu yang berbeda denganku. Hah, itu hanya warisan konflik dari pendahulu kita UDIN.
Meski begitu, sepeda Vixion-mu tak jarang aku pinjam. Entah pulang ke rumah, beli nasi, menjemput teman di tawang alun Jember, atau sekadar ke kontrakan ganti pakaian. Satu yang paling aku suka darimu. Kau tidak pernah perhitungan dengan temanmu. Entah bensin, olokan, atau yang lain. Cuman ketika kau mentok dengan olokan, kau selalu memukul dengan kasih sayang, tidak keras. Hanya pelampiasan betapa kau ‘gemas’ dan ingin emosi. Tapi tak kau muntahkan. Engkau tahan sampai kau bisa menetralisir sendiri. UDIN, kau adalah teman yang beda dengan lain.
Atas nama Asu, Jamput, Jancuk, Naskleng, kita sering lempar kata-kata itu. Meski pada awal-awal kau tidak mafhum dengan kata-kata itukecuali Naskleng karena itu bahasa Bali. Karena kau tidak mengerti bahasa jawa. Kau adalah mahasiswa asal Bali yang tidak paham dengan bahasa jawa. Lain halnya Malikteman akrabmu dari Bali yang beberapa bulan lalu memenuhi ruang obrolan kita.
Ingin aku melanjutkan lembaran skripsimu itu. Aku tahu kau serius dalam pengerjaannya. Tiap malam browsing di sela-sela dinginnya sikap pohon-pohon kampus. Kau seperti pencuri wi-fi, duduk-duduk digelapnya malam sendirian. Pernah kau bilang padaku kalau kau malu jika ditempat yang terang. Sudah merasa tua. Eh, merasa tua karena tiap kali kita bertemu aku menyebutmu dengan sebutan ‘orang tua’.
Aku sudah bosan kuliah di Syariah. Jika diijinkan, aku akan melanjutkan skripsimu yang tertunda itu UDIN. Kenapa kau menundanya? Apa ada orang lain yang mengganggumu? Tuhan? Malaikat? Dosenmu? Temanmu? Mana, aku ingin mengajaknya duel. Padahal aku kemarin minta padamu agar bisa segera menyusulmu menjadi sarjana. Aku bilang padamu bahwa masak aku lulus bebarengan dengan mahasiswa angkatan 2013? Kau hanya membalas senyum dan tidak bekata apapun. Lagi-lagi kau tersenyum. Tidak seperti biasanya yang balik ‘gojloki’ aku ‘aduh’ dan kau lanjutkan dengan guyonan khasmu. Mungkin kau sudah bosan dengan olokanku yang kau kau jumpai tiap bertemu.
Kau pernah bilang padaku ingin segera lulus dan melanjutkan karirmu di bidang militer. Tapi kemarin pagi, kau pamit pulang UDIN. Dan aku belum sempat melemparkan ucapan Asu, Jamput, Jancuk padamu. Apa kau sudah bosan dengan ucapanku? Sehingga kau tidak mau lagi mendengar olokanku? Bangsat, Bajingan.
Sering kita bertukar batang rokok, sabun mandi, sarung, hp. Sekarang? Bertukar olokan pun kita tak mampu. Dasar Asu, Jamput, Jancuk, Bajingan, Bangsat. Kenapa kau tidak mau lagi melakukan ritual berbagi itu lagi UDIN? Kenapa kau memilih untuk menyendiri? Ada masalah? Ayolah cerita seperti yang kita lakukan beberapa bulan yang lalu. Khamsun merindukanmu. Budi juga. Afwan belum aku kabari. Nanti aku kabari dia. Pastinya dia tidak rela kau sendiri. Kalau galau bilang aja DIN. Tidak usah sampai menyendiri begitu. Sampai kapan kau menyendiri? Esok, lusa, minggu depan, bulan depan, tahun depan, atau kapan. Pastinya aku dan teman-teman akan menyusulmu. Nanti, jika kita diberi waktu untuk bareng-bareng lagi. Jangan lupa untuk bertukar dengan ucapan Asu, Jamput, Jancuk dengan kita ya. Aku tunggu lo ya. Serius.
Ya sudah. Aku mau ngabari Afwan dulu. Tunggu aku di situ ya. Kami akan menyusulmu kok. Lengkap dengan kartu. Olokan, batangan rokok, malam, dinginnya pohon-pohon kampus, serta gedung UKM yang menjadi tempat kita bertemu. Kalau butuh apa-apa jangan sungkan untuk ngabari aku di sini. Tetap, di sekret UPM Millenium lantai satu. Tepat depan kantor Menwa. Aku sekarang masih tetap gondrong. Jangan lupa itu ya.
Tadi aku mendapat kabar dari komandan Menwa terpilih, Fandi. Besok rombongan anak UKM dan Pembantu Ketua (PK) tiga akan berkunjung ke rumahmu. Jangan beranjak ya. Tetep di situ. Tunggu rombongan dari kampus ya. Kabar selanjutnya aku kabari lagi.

Selasa, 03 Juni 2014

Bajingan


Orang tua renta berjalan dengan tongkat kayu di tangannya. Anak bayi berjalan dengan bantuan orang tuanya. Pedagang berjualan daganganya dengan rombongnya.
Aku, tidak butuh siapa-siapa. Aku makan menggunakan uangku. Perjalanan jauh menggunakan mobilku. Mengurus anak mendatangkan si mbok di rumahku. Aku memberikan penghidupan pada orang lain.
Dengan uang aku membantu para penjual makan untuk mendapat uang. Mobil membantu para teknisi mendapat penghasilan. Si mbok mendapat gaji untuk kerpeluan sehari-hari. Bukankah aku memberikan kehidupan pada orang lain?
Jamput.
Jamput.
Jamput.
Jancuk,
Jancuk,
Jancuk,
Kalian orang-orang yang telah aku bantu kehidupannya, menafikan diriku sebagai orang yang membutuhkan orang lain?
Bajingan.
Bangsat.
Aku adalah orang yang bisa melakukan apa-apa yang aku mau. Kalian harus akui itu. Adakah ucapanku salah? Adakah tindakanku salah? Aku mengatakan sebenarnya, sejujurnya. Aku melakukan sesuai hati nurani untuk membantu mereka mendapatkan apa yang mereka mau.
Asu
Asu
...............................................angin berbisik padaku................................................................................
Kau mendapatkan uang dari mana?
Kau bisa makan dengan bantuan siapa?
Mereka yang mencukupi kebutuhanmu. Bukan kau. Jika kau tidak butuh mobil, makanan yang dijual, si mbok yang menjadi babumu, mereka tidak akan melakukan itu. Mereka tidak gila uang. Mereka lagi-lagi terpaksa menuruti permintaanmu. Karena kasihan jika uang-mu tak lagi berharga. Dengan apa uang-mu akan ditukar?
Para petani masih bisa makan dengan hasil panennya sendiri. Meskipun tidak ada uang darimu.
Kau?
Tak mungkin bisa makan dengan uang-mu. Uang-mu tak lagi berharga jika orang disekitarmu tidak kasihan terhadapmu.
Sadarlah
.................................................................hening......................................................................................
................................................................berkabut...................................................................................
.....................................................................gelap....................................................................................
Kakek?
Bukankah kakek sudah lama meninggal?

Jember, 2014