Kamis, 10 September 2015

Malam itu



Rabu, 9 September 2015 menjadi hari yang cukup begitu panjang. Banyak tragedi yang bejibun kali ini. Tentunya akan jadi noktah dalam perjalanan hidup kedepan nya. Soal prinsip hidup ―atau orientasi hidup menurut Raf, salah satu teman saya, keluarga, pendidikan, pekerjaan bahkan asmara.
Saya meminjam sepeda Yuda untuk pulang ke rumah kali ini. seperti biasa, jenuh dengan suasana kampus dan ingin melihat suasana pedesaan. Tempat tinggal saya di Kabupaten Jember bagian ujung selatan. Butuh 60 menit perjalanan darat dari rumah sampai kantor pemkab Jember.
Tiba di rumah tak ada yang istimewa. Orang tua sudah pulas tidur begitupun dengan adik keempat saya. Sempat kaget karena sepeda motor sedang tak ada ditempatnya. Tak begitu kaget saat adik ketiga saya tak ada di rumah. “Mungkin si Ulul lagi keluar,” pikir saya.
Membawa kantong plastik berisi tahu bakso dengan bumbu cilok, sedikit kecap dan caos ditambahi cabai. Ya begitulah cara mengkonsumsi tahu bakso bagi anak-anak disekitar rumah saya. Tak ada yang istimewa. “Kenapa pulang mas?” tanya Ulul. Saya hanya ingin pulang saja, begitulah kiranya jawaban untuknya.
Dia mengendarai motor berboncengan dengan teman nya, Tohir. Mereka menjadi teman akrab untuk seusianya sejak sebelum sekolah, duduk dibangku sekolah dasar (SD) sampai SMP. Menyenangkan bukan mempunyai teman sedari kecil sampai sekarang di usianya yang sudah duduk dibangku SMP. Tak begitu banyak kami mengobrol. Dia asyik dengan bungkus makanan nya sambil menonton TV. Saya? Lebih baik main gem untuk kondisi pikiran yang lagi runyam. :)
Televisi sudah berubah. Dia menonton Ulul dan malam sudah semakin larut. Saya memutuskan untuk mengisi perut terlebih dulu sebelum tidur. Pada saat yang sama ibu terbangun.
Selesai makan saya mengobrol banyak hal soal pendidikan saya.
“Bagaimana KKN nya?”
“Bagaimana kuliahnya?”
“Enam bulan lagi selesai kuliahmu?”
Dan puluhan pertanyaan soal kehidupan pribadi, mendiang ayah saya, dan lika liku kehidupan keluarga kami. Maklum, saya anak pertama dalam keluarga ini.
Ada yang menarik dalam obrolan malam lalu itu. Saya mempunya sifat kutukan dari mendiang ayah saya. ‘Jika menghendaki sesuatu tak bisa digoyahkan’. Setelah saya pikir-pikir memang betul adanya. Begitulah, setiap sifat ada kelemahan dan kekurangan. “Ayahmu itu sifat dan sikapnya sedikit melunak pada ibu saat dia mau meninggal. Dan itu rasanya percuma,” kata ibu. Betapa terkutuknya saya ini. Mempunyai sikap yang belakangan saya tahu kebenarannya, terkutuk dari mendiang ayah.
Sebelumnya saya berterima kasih kepada ibu. Atas obrolan kemarin malam, ijinkan anak mu ini mengambil beberapa keputusan bulat ini.
Pertama, anak mu tak ingin pulang ke rumah sebelum lulus dari jenjang pendidikan dan dapat membantu adik-adiknya menuntaskan jenjang studi mereka.
Kedua, tak akan hidup total dalam organisasi seperti yang kamu bilang. “Jika organisasi tak memberikan apa-apa ya sudah, tinggal kan saja”. Dan anak mu sekarang ini merasakan itu. Organisasi yang diikutinya sekarang ini tak seperti yang dibayangkan anakmu. Masih banyak hal yang ditutup-tutupi dari teman-temannya. Padahal anak mu ini sudah memposisikan diri sebagai ‘jongos’ bagi anggota organisasi se profesi yang membutuhkannya. Namun apalah daya. Rahasia dan tak ada kejujuran dari orang-orang yang ada didalamnya membuat anak mu ini merasa sia-sia.
Ketiga, orientasi hidup anak mu ini berbeda. Sangat berbeda dengan mendiang suami mu itu. “Mendedikasikan hidupnya untuk kepentingan bersama; masarakat, mungkin juga umat J” orientasi hidup seperti itu sangat menyiksa. Iya, menyiksa. Kali ini, ijinkan anak mu ini untuk tak peduli terhadap kebutuhan suatu masyarakat tertentu. Ada yang membutuhkan, anak mu nilai, baru keputusan; terima atau tolak.
Keempat, maaf untuk beberapa poin yang sudah saya tulis di atas ibu. Maaf untuk keputusan yang aku ambil bersifat kokok dan tak bisa digoyahkan. Maaf untuk masih mempunyai sifat dan sikap dari mendiang suamimu itu. Tapi untuk sifat dan sikap terkutuk lainnya sudah aku hapus dan buang jauh-jauh.
Kelima, maaf untuk telah membuatmu menangis kesekian kalinya. Air mataku sudah habis atas beberapa sebab. Jadi semalam tak bisa menemani air matamu itu. Maaf.
Keenam, tulisan ini akan edit saat diperlukan.


*diksi yang digunakan banyak yang berubah dan tak menggunakan bahasa jawa. Seperti ayah yang seharusnya bapak. Ini untuk kepentingan kemudahan dalam membaca.