Jumat, 27 November 2015

Prahara Dangdut nan Cenat Cenut

Apakah beritanya menginformasikan sesuatu yang penting, benar-benar baru, yang memberi saya pemahaman baru, ataukah hanya memberi detil yang menguatkan apa yang telah saya pahami?
~pertanyaan untuk menguji berita yang diperlukan dalam buku Blur, karya Kovach dan Rosentiel

Duduk di depan ruang kelas I dalam gedung Matematika, Fakultas MIPA Universitas Jember sambil menunggu pemateri pelatihan jurnalistik tingkat dasar (PJTD) yang diselenggarakan oleh LPMM Alpha. Rambutnya pendek, menggunakan kaos oblong berwarna merah sambil menyeruput kopi pelan-pelan. Dian Teguh Wahyu Hidayat, alumni pers mahasiswa Manifest, Fakultas Teknik Pertanian, Universitas Jember yang akan menjadi pemateri  setelah Heru Putranto.
"Apa tanggapan mas tentang dangdut?" tanya Saya kepada Cetar, panggilan akrab Dian Teguh Wahyu Hidayat sambil menunggu pemateri pertama selesai.
Cetar menjelaskan, dangdut itu menjadi alat kampanye, alat untuk mengumpulkan masyarakat untuk tujuan tertentu oleh penguasa. Juga menjadi komoditas oleh pemodal dalam media yang belakangan ini tak mencerdaskan bangsa dan negara. "Seperti tayangan acara academy oleh salah satu stasiun televisi," kata Cetar.
Konser dangdut setelah pemilihan kepala desa di Desa Lojejer, Kecamatan Wuluhan, Kabupaten Jember yang bertempat di lapangan sepak bola dipadati masyarakat. Saat berjalan harus berdesakan dengan penonton lain. Masyarakat Lojejer menjadikan konser dangdut sebagai momen untuk meluapkan hasrat akan hiburan. Tak heran lapak pedagang kaki lima berdiri sepanjang tiap pinggiran lapangan. Bahkan ada pedagang yang nekad masuk ke tengah lapangan.
"Wong-wong tumplek blek nang lapangan (orang-orang tumpah ruah di lapangan," kisah kakek Saya pada konser dangdut itu.
Dangdut menjadi konsumsi -masyarakat kalangan menengah kebawah- yang mengenyangkan tapi tak bergizi. Saya mencoba melohiskan ungkapan "kerja berat sambil mendengarkan musik dangdut itu jadi ringan". Mana mungkin para petani, pekerja bangunan (yang medan pekerjaan mereka kontak langsung dengan sinar matahari) mendengarkan lagu Silampukau, Payung Teduh, Efek Rumah Kaca, Seringai, Burgerkill. Musik yang dirasa dan mengerti lelehan setiap keringat yang keluar itu ya musik dangdut, koplo. Bukan musik pop, punk, rock, metal. Apalagi yg liriknya revolusioner. "Ngangkat watu iku abot. Lak lirike abot, ndasku ra sanggup (mengangkat batu itu berat. Jika liriknya berat, kepalaku tidak sanggup)" kata teman saya yang bekerja di proyek bangunan. Paling mentok lagu pop itu ya lagunya sahabat Noah, pasukan Armada. Itupun bagi pekerja yang di pabrik, yang tak kontak secara langsung dengan sinar matahari.
Pekerja bangunan, petani, buruh pabrik tidak salah. Siapapun manusia di bumi ini butuh hiburan. Namun harus ada filter agar masyarakat kita menjadi insan yang cerdas dan bermartabat sebagaimana amanat Undang-Undang Dasa (UUD) 1945. Naasnya, pemodal, penguasa, konglomerat menjadikan hal itu sebagai celah untuk mengeruk untung sebesar-besarnya. Melalui Televisi, berbagai acara dangdut dibuat secara massal, besar nan masif. Mereka tak berpikir untuk mencerdaskan bangsa maupun mengangkat martabat bangsa. Tapi menekan pemahaman kepada masyarakat bahwa mendengarkan dangdut hidup jadi ringan meski tak makan satu minggu, tidur di kolong jembatan, atau tak bisa mendapat pekerjaan layak. Acara dangdut di televisi menjadi sebentuk khotbah jumat yang dapat menjadikan pendengarnya tebal iman. Bedanya, khotbah secara tegas mengajak untuk berbuat 'baik'. Bukan edukasi tapi meracuni dengan pemahaman yang tak sepenuhnya benar akan mitos musik dangdut sebagai peringan beban hidup. Bajingan betul bukan?

"Saringlah dulu apa yang datangnya dari barat," petikan lirik lagu Modern milik grup dangdut yang digawangi oleh Rhoma Irama pada era 80-an. Namun Saya tak ingin menuliskan tentang dangdut sebagai salah satu alat propaganda pemerintah Orba. Karena hal itu sedang digarap oleh aktivis kawakan macam kak Ulil. Semoga skrip-shit nya lekas rampung, wisudah, dan menikah dengan Nyai Nai.
Mari kita memulai memilah hal apapun yang penting untuk kita. Bukan menyerap segala hal ditengah banjirnya bangkai di era kekinian.

*tulisan ini disusun untuk memenuhi Writing Challenge yang diikuti oleh Saya, Sadam, Kholid, Fais (tompel), Rosy dan Nurul

Kamis, 26 November 2015

Oposisi Biner

"Maaf, air galon nya tidak ada," kata penjaga toko di sebelah Masjid Tabanan, Kediri. Namun ucapan itu muncul setelah saya ke tempat galon dan kosong. Lalu bertanya kepada penjaga toko yang lain dan melempar saya ke penjaga awal.
Saya merasa sedih dengan kondisi kelompok minor di tengah-tengah kelompok mayor. Mungkin karena saya berjenggot dianggap sebagai umat Muslim. Sedangkan toko yang saya hampiri adalah milik umat Hindhu. Saya rasa ini dampak dari pemberitaan media atas suatu konflik horizontal antar warga disuatu daerah. Para warga berkonflik karena latarbelakang agama minor dan mayor. Umat Hindhu dan Muslim, misalnya. Mereka -kelompok minor- mendapat perlakuan diskriminatif dari para kelompok mayor dengan alasan beda, sesat, ahli neraka, pantas dimusnahkan, tidak boleh hidup bersandingan. Akibatnya membentuk mental saling bersitegang dan saling tindas saat menjadi kelompok mayor. Hidup itu tak melulu biner: malam dan siang, baik dan buruk. Menurut Eriyanto dalam analisis naratif pola komunikasi itu ada oposisi segi empat. Jadi tak melulu oposisi biner.

Bukankah banyak nya pulau dan budaya menjadi tanda akan adanya Tuhan? Lalu, mengapa mengingkari kebesaran Tuhan jika hal itu sebagai refleksi diri dan tujuan atas kehidupan?

6/11/2015

Rabu, 25 November 2015

Perjalanan Najis part II

"PPMI itu OTU, organisasi tanpa uang"

Ungkapan itu muncul disela Saya, Sadam dan Rosy ngobrol sambil berjalan menuju sekret LPM Aktulita, salah satu lembaga pers mahasiswa di Unversitas Muhammadiyah (Unmuh). Sebabnya kami telah melewati mabes HA-EM-IY cabang Unmuh (mohon dibenarkan kalau salah). Yang beberapa hari ini, organisasi ekstra kampus itu menjadi hits karena ramai dana 3M, tidak membayar makan di salah satu warung, bubar barisan barbar setelah mendapat bungkusan nasi dari keamanan setempat, dan rusak fasilitas umum lantaran kecewa dengan panitia Kongres mereka.

Obrolan mengenai nasib aktivis belakangan ini mengalir (sampai jauh) begitu saja. Wajar, Sadam & Rosy adalah aktivis kawakan yang berani bela negara dengan memperjuangkan nasib rakyat proletar, tapi tak makar. Pilih makan mi instan setiap hari sampai muntah karena sudah bosan dan blenek daripada minta uang ke anggota dewan. "Mengemis uang dan jabatan pada dewan adalah tindakan barbar," kata aktivis kawakan lain nya. Cirinya bertumpil sama seperti Rosy (Saya sudah ogah catut dia. Dikira ngikuti tren catut mencatut).
Begitu pelik dan membosankan jika kami berjalan harus ngobrolin nasib aktivis ngehek, cumlaude dan késrék. Jalan kaki dari Fakultas Sastra Unej ke Unmuh itu sudah berat dan cavik bang. Plis, jangan bahas begituan lagi. Adek cavik bang!
"Makan sayur tanpa garam kurang enak kurang segar," petikan lirik Inul Daratista. Kami bergeser pembahasan.
"Mangan nang kene ta? (Makan disini ta)" ajak Sadam saat kami melintas di depan penjual mi iblis yg (katanya) zuper pedas.
"Hemmbbbttt. Harga nya mahal, kipit-teles, hedon, menyerobot konsumen pedagang mi ayam pedez super jinggo. Pokok saya ndak mau makan disitu karena menindas kaum miskin. Titik," batin saya sambil merogoh kocek di saku. Sepanjang jalan kami memberi komentar pada apapun yang tampak di depan mata. Sampai akhirnya tiba di sekret Aktualita dengan selamat dan bahagia. Hujan turun setelah mendung dan menjadi background kami bertiga jalan. Tuhan memang adil. Melindungi kami selama perjalanan. Terima kasih Tuhan. Jika ada kesempatan lain ada surprise untuk Mu. Terima kasih juga sudah memberi Saya dan Rosy kesempatan makan yang sedari pagi belum makan. Lop yuh Tuhan. Mumumumumumu

*disusun untuk memenuhi tugas menulis perjalanan najis pada 25 Nopember 2015 pukul 15.49 WIB.
**peserta perjalanan najis dan harus menulis lain nya adalah Sadam & Rosy.
***tulisan singkat karena hape yang (dianggap) tidak kompatibel menurut Sadam & Rosy :3