Senin, 17 Oktober 2016

Warung Kopi

Suatu malam di rumah sepupu di kawasan Wuluhan, Jember, saya mendapat ajakan untuk menikmati kopi. Menariknya, pemilik warung menyediakan perempuan sebagai teman ngobrol ditengah maraknya warung kopi penyedia jaringan internet gratis. Cocok untuk menghilang sejenak dari jenuhnya pekerjaan atau kuliah.

Bangunan warung  cukup minimalis. Berdiri tepat di depan rumah tersambung dinding rumah bagian depan. Bambu dengan tujuh cendela berdiri membentuk huruf  u menutupi bagian depan rumah. Alasnya dari tanah. Satu bangku panjang diletakkan depan warung samping pintu masuk. Tiga bangku panjang lainnya berada di seberang jalan. Pemilik warung menyediakan bangku lebar dan panjang di dalam warung. Muat untuk enam orang.

“Pesen opo?”
“Kopi loro jahe siji,” jawab Jek, sepupu saya

Kopi yang sudah halus, gula dan beberapa gelas menjadi satu di meja ukuran dua meter. Aneka macam  minuman siap saji bungkusan terpasang di tali yang terpasang pada dinding rumah. Dua perempuan pindah dari satu bangku ke bangku lainnya. Menyapa dan mengajak ngobrol pembeli. “Teko ngendi mas,” sapanya pada saya yang duduk di lantai depan rumah yang berada di samping warung.

Jek mengatakan bahwa saya dan Khoi, tetangga sekaligus teman Jek, baru dari rumah di kawasan Wuluhan. Dari lampu merah Kecamatan Ambulu lurus ke selatan mengikuti jalan menuju pantai watu ulo. Dua persimpangan berukuran kecil dari kantor urusan agama (KUA) yang berada di bahu kiri jalan belok. Setelah bertemu persimpangan empat belok kanan. Warungnya tepat di kiri jalan.
Satu perempuan yang awalnya duduk di bangku depan warung menemani pembeli yang lain menghampiri kami. Bertanya asal daerah dan sebelum ke warung itu dari mana saja. Lalu obrolan mengalir tak terbendung dari humor sampai pujian berbuntut rayuan.

“Pedofil.” Ucap Khoi pada saya
“Maksutnya?” jawab saya saat bertanya urusan sekolah sampai teknis menjaga warung kopi.

Saya kaget saat tahu perempuan yang menemani kami ngobrol masih duduk di bangku kelas dua sekolah menengah pertama (SMP). Anggapan saya awal dia sudah duduk di bangku sekolah atas. Bentuk tubuhnya yang lebar (tapi bukan gemuk), suaranya yang besar, melayani obrolan seksis dari pembeli, membuat kesimpulan salah. Bahwa ia sudah lulus sekolah atau minimal sudah hampir lulus dari sekolah atas.

Perempuan SMP itu pergi masuk rumah. Kami membuat obrolan kecil sendiri lantaran satu perempuan menemani ngobrol pelanggan yang lain. Atau sesekali tampak Jek mengajak ngobrol pembuat kopi yang kisaran usianya sudah empat puluh tahun. “Sampean dino iki kok iso ketok ayu. Opo yo gae (susuk),” kata Jek sambil terkekeh. Tugasnya meracik kopi atau minuman  yang lain, memasak air dan mencuci gelas yang kotor. Gelas-gelas yang sudah ditinggal oleh pelanggan dan sisa pekerjaan lainnya menjadi tugas dua perempuan ‘teman’ pelanggan warung.


***

Malam itu ia memakai kaos oblong warna gelap dengan celana warna biru laut. Duduknya membungkungi kami. Ia berbicara saat salah satu diantara kami bertanya. Sebenarnya ia cukup pemalu. Tidak berani menatap lawan bicaranya. Namun ia cukup pintar dalam menutupi rasa malu dan geroginya itu. Tertawa dengan suara yang dibuat keras agar terlihat akrab dengan pelanggan warung kopi.

Warung ini buka setelah maghrib sampai tengah malam. Namanya NNW, perempuan tangguh yang menghabiskan waktu malamnya menjadi pekerja dari warung kopi ibunya. Ia bekerja mulai sore untuk mempersiapkan warung kopinya. Saat jenuh dengan sekolah dan pekerjaan ia gunakan waktunya untuk berselancar di media sosial. Melakukan percakapan yang bebas tanpa harus meladeni alur obrolan seksis para pelanggan warung kopi milik ibunya.

Mungkin ini semacam ritual khusus. Sebelumnya, Fita sepupu NNW yang baru lulus SMA pada 2014 lalu mengatakan, ia sudah bekerja menjaga warung kopi itu sejak duduk di bangku kelas dua SMP. Ia baru bekerja, tambah NNW, di warung kopi milik ibunya dapat tiga bulan setelah naik kelas dua di bangku SMP.

Fita sudah terbiasa menghadapi pelanggan dengan obrolan seksis, berbagai macam pujian keindahan atas tubuhnya dibanding dengan perempuan lain. NNW masih canggung. “Ojo gombali adik ku mas. Ijeh cilik,” teriaknya pada  pelanggan yang mencoba merayu NNW. Sedangkan NNW hanya tertawa kecil mendengar Fita meneriaki pelanggan.

Kasih sayang Fita cukup besar. Ia melindungi sepupunya dari rayuan para pelanggan. Meski satu waktu juga meneriaki NNW yang berada di dalam rumah untuk menemani ngobrol pelanggan yang baru datang. Membiasakan NNW menemani ngobrol para pelanggan adalah cara paling ampuh untuk membuang rasa canggungnya. Atau membiarkan NNW dirayu pelanggan oleh ibunya  yang bersebelahan adalah bentuk pendidikan mandiri atas hidupnya sendiri. Saat hendak bertanya kepada ibunya, saya diajak pulang oleh Jek dan Khoi.


***

NNW pamit masuk rumah pada kami. Ia pergi setelah beberapa kali saya tanya uang saku sekolah yang ia terima. Saya ingin memastikan bahwa kehidupan nya dijamin oleh ibunya sebagai ganti dari waktunya selama bekerja. Bukan eksploitasi besar-besaran terhadap jenis kelamin NNW dan waktu belajarnya. Tapi NNW selalu diam setiap saya ajukan pertanyaan tentang uang saku yang ia terima selama sekolah.

Pikiran akan berakibat melecehkan NNW belum muncul. Saya semakin takut dan ingin memastikan bahwa NNW tidak sedang dalam eksploitasi oleh ibunya. Rasa aneh dan menyesal saat NNW pamit masuk rumah. Anggapan saya ingin menyewa kelamin NNW tetiba muncul, anggapan saya telah melecehkan NNW muncul, anggapan bahwa saya tidak pantas sebagai orang yang berpendidikan dan menghormati perempuan muncul. Saya takut dan sangat menyesal jika NNW mempunyai tafsir yang berbeda dari tujuan pertanyaan saya. Jika tafsir buruk itu yang muncul, saya ingin meminta maaf pada NNW. Bahwa saya pantas disebut sebagai pengecut dan bajingan karena tidak menghargai perempuan dan telah merendahkannya. Kutapantas disebut orang berpendidikan.

Ia cukup lama berada di dalam rumah. Ia keluar karena Fita teriak memangil saat ada pelanggan baru datang. Warung kopi ini, menurut Jek, berbeda dengan ‘lesehan’ yang menyediakan jasa tumpangan di paha, beberapa minuman beralkohol, jasa kelamin, jasa menyentuh seluruh tubuh. Warung tempat NNW bekerja hanya pada batas menemani ngobrol saja.


Kenyataan bahwa NNW sudah bekerja dan menemani atau mengikuti alur obrolan pelanggan yang tak jarang seksis itu berat. Ibunya hanya diam diri berharap anaknya dalam waktu yang tidak lama terbiasa dengan obrolan para pelanggan. Ayahnya diam diri duduk di bangku panjang di seberang jalan bersama pelanggan yang lain. Ia hanya diam saat melihat istri dan anaknya diajak ngobrol perihal seksis oleh pelanggan. Karena pelanggan warung ini dari usia lima belas sampai empat puluh tahun. Mendengar dan mendengungkan “jangan berharap pada Negara” menjadi kegetiran yang hebat pada diri. Mendengar lagu ‘sore tugu pancoran’ milik Iwan Fals semakin membuat tangan ini mengakhiri tulisan. Bersama kita tumbuhkan kesadaran kritis.