Sabtu, 07 Juli 2018

100 Hari Meninggalnya Siwonah

Kalau sudah tiada baru terasa
Bahwa kehadirannya sungguh berharga
Sungguh berat aku rasa kehilangan dia
Sungguh berat aku rasa hidup tanpa dia
(Rhoma Irama)
Dari kiri-kanan: Roni, Siwonah, Aku, Zam

Hari ini, 8 Juli 2018 akan menjadi hari ke 100 atas kematianmu. Kuburanmu terpisah satu kuburan orang lain dengan bapak ku, adikmu yang telah meninggal lebih dulu pada 2007 lalu. Tepatnya sebelah kirimu berkumpul dengan kakak dan ponakanmu, Misiyem dan Yasin. Hidup harus terus berjalan. Berhenti pada penyesalan hanya menjadikan kami yang kau tinggalkan tidak berguna sambil berucap seandainya... seandainya... dan seandainya. Kini kau sudah kembali kepada sang pencipta. Baik-baik di sana. Salam damai dan gaul dari ponakanmu yang belum bisa memberikan sejumlah uang untuk kau beli jajan semasa kau hidup. Tertawalah dengan lepas, agar kami bisa mendengarnya dengan jelas saat mimpi dalam tidur dan terjaga.
Biyanah namamu. Aku dan adik-adik memanggilmu Siwonah. Setiap namamu terdengar, ingatan kami lari pada dua kondisimu. Ketika sedang ‘waras’ dan ‘kumat’ atau ‘bangun’ dan ‘topo turu’. Ada hari di mana kamu bangun dan topo turu. Ketika topo turu, kau hanya terbaring di atas tempat tidur setiap hari. Beranjak hanya untuk memenuhi kebutuhan biologismu: makan-minum-membuang ludah-kencing-boker dan mungkin saja kamu sesekali ngupil. Dalam kondisi seperti ini, orang-orang melakukan aktifitas yang tidak jauh beda denganmu. Hanya memenuhi kebutuhan biologis dari masing-masing orang.
Lain halnya ketika kamu bangun, ada efek yang memberikan orang di sekitarmu rasa gemas ketika kamu berulah jail. Seperti memindahkan posisi sandal dari tempat asal. Mengingat masih banyaknya rumah orang-orang tak berpagar sehingga kamu dengan mudah memindahkan sandal yang berada di depan rumah orang-orang. Rasa lucu ketika menyanyikan lagu-lagu yang liriknya keliru atau kamu tertawa dengan jumlah gigimu yang hanya tinggal satu. Rasa sedih ketika kamu kesakitan setelah mendapat ‘pelajaran’ dari orang-orang rumahmu.
Seperti orang yang baru keluar dari dalam penjara. Kau hirup udara luar sebebas-bebasnya, sepuas-puasnya. Orang-orang merasakan hawa kebebasanmu dengan sedikit waswas. Takut sandal mereka menjadi sasaran jailmu. Di saat bersamaan, mereka cenderung senang karena kamu sering membersihkan halaman rumah mereka di pagi buta. Kami yang masih muda senang ditemani begadang semalaman sambil mendengar dongengmu tentang orang-orang kampung yang sudah tua sampai sudah meninggal. Memorimu cukup kuat untuk mengingat orang-orang kampung dari generasi ke generasi. Gemasnya, kau ikut nimbrung dan memotong setiap pembicaraan kami  tentang hal-hal remeh yang dialami pemuda. Memotong dengan pertanyaan seputar identitas diri atau kegiatan dari kami yang sedang mengobrol.
Aku sebagai ponakanmu mencoba biasa. Mencoba memahami apa yang menjadikanmu seperti itu. Seperti saat ada masalah dengan orang-orang rumahmu, kau bercerita dengan suara lantang sambil berjalan. Aku lihat dirimu membutuhkan teman ngobrol. Ada perhatian yang hilang dan coba kau miliki dengan mengalihkan perhatian orang-orang sekitarmu dengan tingkah-tingkah anehmu. Ada keinginan menjadi tua yang bahagia dengan semua keinginan-keinginanmu terpenuhi. Layaknya keinginan banyak orang ketika sudah menjadi tua. Toh keinginanmu hanya hal-hal remeh seperti makan bakso, es, sempol, atau sesekali ingin membeli  jarik di pasar. O iya, menimang cucu dari anak-anakmu adalah satu keinginan utama dari menjadi tua pada umumnya. 
Keinginan itu tidak sepenuhnya bisa kau gapai. Ada banyak hal remeh yang kemudian menjadi sulit karena kondisi ‘bangun’mu. Kau dianggap gila oleh banyak orang. Bahkan mungkin orang rumahmu, saudaramu, tetanggamu, sampai orang yang kebetulan lewat rumahmu beranggapan kau gila karena cerita orang-orang di sekitarmu. Gila? Bicara dan melakukan hal-hal logis masih kau lakukan dianggap gila? Mengutip Basyit, seorang calon psikolog namun gagal karena banyak hal mengatakan, tingkah seperti yang kau lakukan disebabkan oleh adanya gangguan. Yang sebenarnya menurutku berasal dari kurangnya perhatian orang-orang di sekitarmu saja. Ada lubang yang cukup besar dan kau coba tutupi lubang itu. Tapi apa daya tangan tak sampai merangkul gunung. Kau dianggap gila!
Hingga malam itu ketika Roni, anak dari kakakmu Misiyem mengabariku, kau sedang dirawat di RSUD dr. Soebandi Jember akibat ditabrak sepeda motor yang dikendarai oleh remaja yang ugal-ugalan. Aku menjengukmu bersama Roni sekaligus Khotib, anak dari adikmu Saminten. Kau sedang tidur setelah melakukan operasi pada kaki. Ya, tidak berselang lama kau diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit.
Sesampainya di rumah, kabar yang kudapat, kau dirujuk ke rumah sakit yang ada di Puger. Tuhan menutup lubang besar di hidupmu. Kau meninggalkan kami untuk waktu yang tidak pernah pasti.
***
Roni memberi kabar melalui pesan singkat tentang rencana halal bihalal tahun depan. Pada 21 Juni 2018, aku dan beberapa saudara kumpul untuk membahas rencana itu. Di dalamnya, kami mencoba melacak ulang orang-orang tua yang masih hidup atau meninggal untuk ditulis agar tertib administrasi. Maklum, kami mempunyai ingatan yang lemah dan tidak sekuat Siwonah.
Ya, Siwonah. Dia adalah kunci untuk membuka berangkas riwayat persaudaraan dalam keluarga kami. Bukankah dia sudah meninggal? Kami, atau mungkin aku saja, merasa kehilangan Siwonah. Malam itu kami hanya mengucap seandainya... seandainya... dan seandainya. Seperti lagu Rhoma Irama: Kalau sudah tiada, kehadiran sungguh berharga; kehilangan.