Selasa, 19 Februari 2013

Perjalanan Sambang

“Perjalanan masih jauh, ini masih belum seberapa. Santai saja. Agar jalannya sepeda enteng kamu agak kedepan duduknya,” kata Ulum dengan menyetir sepeda motornya Supra X.
Kami berada di jalan raya Desa Suger Kecamatan Maesan Kabupaten Jember. Reng, reng, reng deru mesin Supra X sangat geram. Saya tak heran dengan suara itu. Disamping mesin motor yang tak pernah di service, mesin tua juga menjadi penyebabnya.
Perasaan takut sering hinggap. Terbayang kendaraan yang sering mundur karena mesin tak kuat dengan medan jalan yang menanjak. Namun, sopir handal semacam Ulum ini adalah tipe orang yang suka tantangan. “Jalan seperti ini sudah biasa saya taklukkan,” ucapnya saat tanganku memeluk erat badannya.
Masalah takut dengan suara mesin sudah mereda. Ulum membawa sepedah motor dengan kecepatan 80 Km/Jam. Terlebih ketika berpapasan dengan kendaraan roda empat dengan jarak kurang lebih 5 Cm. Dalam hati, siapa yang mau mati muda atau berkorban demi sebuah status “keren”. Cuma karena  berhasil menyalip kendaraan yang ada di depannya.
“Jangan main kebut”
“Santai saja, tidak apa-apa kok”
“Ndokmu, kita itu belum sampai tujuan. Mau jadi apa kamu,” kata saya sambil mengeplak helm yang diapakai Ulum.
Perjalanan semakin menanjak. sepeda motor Supra X 125 dengan kecepatan tinggi menyalip kendaran Ulum. Dia memegang rambutnya sambil memiringkan kearah kiri. Tidak tahu tujuannya memiringkan rambut, Ulum menyusul sepeda motor itu yang dikendarai oleh seorang cewek. “Mungkin dia mahasiswa,” ucapku lirih dengan melihat dia bersepatu dan mamakai almamater.
Persoalan mesin adalah kunci utama berkendara dengan cepat dan nyaman. Jalan sepeda semakin melambat ketika di jalan tanjakan dan Ulum menggunakan geragi empat. “Wah, gimana mesin ini. Tidak mengerti ada cewek,” kata Ulum. Saya tidak menanggapi ocehan Ulum. “Bagaimana bisa cepat jalannya motor, dia dalam jalan yang menanjak menggunakan gerigi empat. Bodoh!!! (guyonan sehari-hari di warung kopi),” pikir saya.
Tepat sebelum pom bensin selatan Polsek Maesan Ulum berhasil menyalip kendaraan yang di kendarai oleh cewek tadi. Dengan rasa bangga Ulum menaikkan kembali kecepatan laju sepeda motornya. Sepintas saya melihat almamater yang diapakai cewek itu. Lambang UNEJ menempel didadanya sebelah kiri. Saya berkesimpulan cewek itu adalah mahasiswa UNEJ. Mungkin agar cewek itu tak manyalipnya lagi. Karena setiap gas yang ditambahnya, dia selalu melihat spion motor. Tidak tahu apa yang dilihatnya. Tapi seperti orang yang mengamati orang yang da dibelakangnya.
Laju kecepatan sepedahnya diturunkan. Dengan santai cewek itu manyalipnya kembali. Namun, kali ini Ulum tidak mendapatklan kesempatan dari cewek itu. Dia berkecepatan tinggi sampai sepeda tua Ulum tak mampu mengejarnya. Rasa putus asa menyadarkan Ulum akan tujuan awal. dia ingin menjenguk teman kami, Siti Hobibah di Daerah Gunung Sari, Maesan, Jember.
Dia memutar sepedanya ke arah selatan yang semula menghadap arah utara. Karena kami belum membeli oleh-oleh untuk Be (nama panggilan Hobibah) yang sedang sakit Anemia di rumahnya. Ulum yang memutar sepeda dengan tidak melihat sekitar, hampir menubruk anak SD di dekat gedung yang bertuliskan POS LANTAS Maesan.
Kami berjalan dengan lamban, kira-kira 20 Km/Jam. Berharap menemukan toko penjual roti atau biskuit. Sampai sepeda motor kami ada di depan Indomaret. Dan Ulum memutuskan untuk membeli biskuit di Indomaret. “Beli disini saja, daripada tidak menemukan toko. Juga sekarang sudah hampir duhur,” katanya.
Ulum membeli biskuit dan saya menunggu di depan toko. Nampak orang yang kebingungan. Dia sangat hitam, lebih hitam dari saya. Seperti orang negro. Keluar dengan tergesa dari dalam toko anak muda berumur 23-an. Mereka seperti sedang dikejar Harimau. Sangat gupuh. Tiap saya melihat orang yang berkulit hitam tadi, dia memalingkan wajahnya. Membuat saya takut untuk menyapanya.
Beberapa menit sudah berlalu. Ulum keluar dari dalam toko membawa kantong plastik berisi biskuit dengan bertuliskan Indomaret. Dia mengeluarkan dua beng-beng dan ditawarkan satunya pada saya.
“Tidak usah”
“Ah,, makan saja. Sudah saya anggarkan kok untuk yang dibawa ke rumah Hobibah”
“Tidak usah,, saya tidak biasa makan dalam perjalanan jauh. Jika ada air, saya minta,” pinta saya.
Ulum tidak menjawab dan langsung menyalakan mesin tanpa ada pembicaraan sekali. Kami melanjutkan perjalanan kea rah utara menuju rumah Hobibah. Melewati beberapa pabrik rokok, diantaranya Gagak Hitam dan Samili. Bukan seperti pabrik rokok yang sudah terkenal pada umumnya. Distribusi ini hanya penduduk sekitar dan daerah sebelah. “Perusahaan rokok di sini distribusinya hanya daerah sekitar, Suger misalnya,” kata anak tukang sales rokok yang enggan disebut namanya.
Setelah pabrik rokok Gagak Hitam ada masjid (lupa namanya). Dan sebelumnya ada jalan masuk ke barat yang menuju arah rumah Hobibah. Perjalanan semakin melelahkan dengan dihadapkan jalan yang rusak dan menanjak. Tapi kami tidak menyerah dengan perjalanan seperti itu.
Meski hanya berbekal sepotong alamat dari Hobibah lewat pesan seluler, tidak menyurutkan semangat kami untuk sampai di rumahnya. “Masjid setelah pabrik rokok Gagak Hitam masuk kebarat sampai ada lapangan terus saja,” isi pesan Hobibah pada Ulum. Karena tidak menemukan lapangan seperti yang disebutkan Hobibah, kami memutuskan untuk istirahat sejenak di pertigaan jalan setapak. Kami duduk diteras kanal yang tidak ada airnya di bawah pohon bambu. Anginya mengalir, menguras keringat kami yang dari tadi kepanasan cahaya matahari.
Tak jarang kami bertanya kepada anak SD dan SMP. Juga beberapa anak yang kebetulan lewat di depan kami. Mereka tidak berseragam sekolah seperti anak yang seusianya memakai seragam. Usianya sekitar 12 sampai 14 tahun.
“Dik, tahu rumahnya Hobibah yang kuliah di STAIN Jember?” Tanya Ulum.
“Rumah Hobibah didekat masjid, tepatnya di sebelah utaranya. Sampean jalan terus saja mas ke atas,” jawab anak itu.
Kami melanjutkan perjalanan setelah mendapatkan informasi dimana rumah Hobibah berada. Saya menyebutnya daerah pegunungan. Jalannya yang menanjak, struktur tanah bertingkat yang digunakan untuk menghindari erosi. Tanaman sawah yang tak pernah berulang setelah panen. Panen jagung di susul jagung lagi, misalnya.
Tepat pukul 12.00 kami tiba di rumah Hobibah. Suasana pegunungan sangat terasa di sini. Angin segar silih berganti, pepohonan masih rimbun. Tepat sebelah barat rumah Hobibah sungai kecil yang digunakan masyarakat mengambil air wudu. Kami disambut hangat oleh ibu Hobibah. Hanya beberapa menit, es teh dua cangkir mampir dihadapan kami. Disusul nasi lengkap dengan lauknya memenuhi meja di ruangan tamu. Berakhir dengan ucapan ibu Hobibah mempersilahkan kami makan. Dia menggunakan bahasa Madura. Beruntung Ulum mengerti, langsung dia mengambil piring yang sudah ada nasinya.
“Ayo dimakan”.
“o,,,,iya,” saya masih bingung dengan arti kata yang diucapkan ibu Hobibah.
Serampungnya kami makan, saya dan Ulum bicara santai tentang kabar Hobibah yang sakit selama beberapa hari setelah kegiatan di kampus kemarin, PJTD.
“Sakit apa Be?” tanya Ulum.
“Sakit Anemia, tapi sudah mendingan sekarang. Kuat untuk mandi, kemaren selama 6 hari tidak mandi karena tidak kuat,” jawab Hobibah.
Saya tidak tega dengan kondisi Hobibah yang masih lemah. Waktu menyuguhkan air putih saja hampir jatuh, tanganya gemetar. Tidak tahu persis penyebabnya. Apa karena belum makan, atau memang penyakitnya yang parah. Melihat itu, saya berbisik pada Ulum untuk mengakhiri obrolan dan pulang. Dia setuju dengan omongan saya.
“Be, kita pamit dulu. Ada janji dengan mas Budi,” kata Ulum
“Iya wes,, hati-hati ya. Terima kasih sudah ke sini”
“Lekas sembuh ya,” lanjut Ulum.
Sembari menunggu ibu Hobibah untuk pamitan, kami menghabiskan es teh yang sudah disuguhkan ibunya. Lagi-lagi bahasa Madura muncul saat ibunya berjalan ke arah kami. Saya yang kelihatan bingung, ditegurnya ibu oleh Hobibah. “Dia tidak mengerti bahasa Madura bu,” kata Hobibah dengan mengarahkan tangannya padaku. Rasa malu, mencoba saya mengelak kalau tidak mengerti bahasa Madura. “Saya mengerti kok, cuman ngomongnya yang masih sulit,” tegas saya.
Pulang dari rumah Hobibah pukul 13.30. Dan Ulum kali ini seperti orang yang kesetanan. Mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan penuh. Sampai pernafasan saya terasa sesak, karena memegang rokok Djarum 76 yang masih menempel di mulut bertabrakan dengan angin yang begitu kencang.
Perjalanan pulang dari Gunung Sari, Maesan sampai STAIN Jember ditempuh dengan waktu setengah jam. Rasa lelah kami balas dengan minum air galon dan tidur.

 Jember, 07/02/13

Tidak ada komentar:

Posting Komentar