Selasa, 03 Desember 2013

Zabun

Kawan, hari ini kau pulang untuk terakhir kalinya. Setelah kemarin, minggu lalu, bulan lalu, atau tahun lalu kau pulang ke rumah. Kini kau pulang ke rumah lama-mu, dekat pohon kates yang ada di tepi sungai Bedadung bersama kakek dan nenek. Bahkan bersama nenek moyang-mu.
Kau menghafalkan surah Yasin yang tertulis di kitab suci orang Islam, Al Quran. Usia-mu yang masih dini – kelas 4 SD - sempat membuat aku iri akan hal itu. Meski beberapa cabang ilmu kau masih dibawahku, menurutku. Kita mendapat perintah membaca surah-surah pendek – sebutan untuk ayat yang dimulai Al Duha Juz 30 – pada malam pertama proses wisuda – yang sekarang berubah nama menjadi Khataman.
Para murid yang mendapat tugas berjajar di atas panggung wisuda, termasuk kamu. Ingatan itu masih cukup segar untukku yang sekarang menempuh sekolah di perguruan tinggi – kata orang. Selain itu, aku ingat saat kau satu sekolah di bangku SMA. Kau satu tingkat lebih tinggi daripada aku. Hanya itu yang masih segardi otakku.
Tiap kali aku pulang ke rumah di daerah Lojejer, Wuluhan, Jember, kau memakai sarung lengkap dengan kopyah bersepeda motor menuju langgar masa kecil kita dulu. Aku  iri denganmu. Jarang bahkan nyaris aku tak pernah ke langgar kita dulu. Mungkin rasa maluku terlalu besar untuk sekadar bermain atau jamaah. Aku merasa kita beda. Kau ada diujung barat dan aku di ujung timur, jauh.
Tak peduli akan hal itu. Kau sapa dengan ramah, banyolan kecil kita dulu masih kau gunakan saat obrolan terjadi antara kita. Itu yang  sebenarnya tak ingin aku beranjak pada tingkat yang lebih merasa tua. Masa kecil dengan kedamaian. Masa dimana kita masih jujur. Masa yang belum memikir tentang pekerjaan. Masa dimana aku tidak mengenal dunia luar seperti sekarang ini. Masa sebelum kau jualan pulsa, hehehe.
Gaya tutur-mu tidak seperti teman kita yang lain. Gaya yang menyesuaikan dengan lingkungan sekitarnya. Gaya yang terbentuk atas hegemoni para bajingan busuk kapitalis itu. Kau lebih banyak menelan gaya berbagai orang dari semua kalangan. Tapi kau tetap. Tak mempan hegemoni macam kontrol tubuh oleh planton dalam film Sponge bob. Itu yang beda. Kau adalah Ilham yang tak butuh adaptasi. Kau adalah Ilham yang  kokoh melewati berbagai musibah yang ada.
29 Nopember 2013 aku pulang untuk menemui Roni sepupuku untuk sekadar kebutuhan hidup. Saat itu, aku di traktirnya makan bakso kikil di pojok lapangan Puger. Di sana aku bertemu mbah Siti dan Pangat tetanggamu. Mereka bercerita tentang keadaanmu yang sudah tak sadar diri di rumah sakit Kaliwates, Jember. Kondisimu parah pada hari Rabu. Pada hari Selasa kau masih bisa berjalan dengan santai dan ngobrol panjang lebar – kata mereka.
Mereka pulang terlebih dulu. Aku datang mereka rampung makan bako kikil. Tiga sendok kuah bakso masuk mulut hp-ku berdering. Fuat – saudara sepupuku – meneleponku, tak ada suara. Mungkin hp-ku rusak. Setelah rampung makan bakso kikil, aku langsung pulang ke rumah sepupu karena adzan magrib sudah berkumandang.
Sesampainya di rumah, aku langsung mengambil air wudlu. Beberapa saat kemudian, Fuad ke rumah Roni untuk memberi kabar tentang kondisi Ilham. Dia berniat untuk menjenguk Ilham malam ini. Aku ingin ikut. Aku ingin sekadar menjenguk-mu yang sekarang – kata orang – kau sedang tak sadar diri. Kami berjanji bertemu di tempat sekolahku. Tapi, mereka tak datang hingga penghujung malam. Aku menyesal dan agak sebal.
01 Desember 2013 aku menelepon Udin kawan kita di langgar. Dia sudah menjenguk-mu pada Jumat malam kemarin. Semakin menyesal saja aku mendengarnya. Tak apalah. Terpenting aku berdoa untuk kesembuhan-mu.
02 Desember 2013 aku mendapat pesan dari Jawad, adik Fuad bahwa kau telah pulang. Tak ingin aku tulis ulang kalimat yang ada di pesan itu. Asal kau tahu. Aku sangat menyesal tak dapat menjenguk-mu di rumah sakit sampai kau pulang. Kabar itu aku dapat pada pukul 09.00 WIB saat aku bangun tidur. Padahal Jawad memberi kabar pada pukul 06.23 WIB. Betapa tidak berartinya aku sebagai temanmu.
Selain Jawad, missed call dari Udin aku dapatkan. Ketika aku kirim pesan padanya tentang kondisimu sekarang. Katanya kau sudah selesai dihantarkan di rumah-mu yang baru. Kau pikir aku apa Bun Zabun – panggilan akrab Ilham? Apa kau masih mau menjadi temanku? Ketika kau sakit tak bisa menjenguk. Ketika kau pulang aku tak bisa mengantarmu. Apa kau masih mau punya teman sepertiku Bun?


(02/12/2013)