Senin, 21 Desember 2015

Em-U-I (Bukan) Anak Pemerintah

Diskusi tulisan writing challenge (WC) yang bertemakan ‘hantu’ dengan waktu penggarapan selama 9-13 Desember lalu. Membuat saya dan kawan-kawan semangat kembali dan tidak minder terhadap tulisan masing-masing. Sekaligus mempertegas bahwa tidak perlu meniru gaya orang lain. Seperti, mojok, pindai, meski tidak bisa dipungkiri kita telah terbentuk oleh orang-orang sekitar. Guru, orang tua, buku bacaan, teman diskusi dalam hal wacana, asmara, bahkan sampai taraf warung kopi mana yang akan menjadi tujuan.

Saya sepakat dengan diskusi pada pagi itu, 20 Desember 2015. Tak ada alasan yang jelas perihal berhentinya diskusi pada malam sampai berganti dini hari itu. “Bagaimana air minumnya?” tanya Sadam. Saya dan Wibi, anggota muda LPM Manifest, tidak mendapat air minum kembali setelah mencari kesana kemari. Karena haus melanda tenggorokan kami, diskusi ditunda setelah palu sidang (dari botol air mineral) diketok sampai esok hari demi menjaga kualitas suara, mencegah radang tenggorokan karena asap rokok masih terus mengepul dari mulut peserta diskusi.

Em-U-I itu apa? Samuraikah? Penjaga malam? Atau penjual cilok? Tidak ada yang tahu persis. Laiknya P.E.K.K.A dalam permainan Clash of Clans yang dikelola supercell. Meski sulit untuk mengidentifikasi, ia mempunyai hari lahir. Em-U-I lahir pada Juli 1975 saat pemerintah otoritarian Suharto berkuasa. Tentunya, hal ini memengaruhi posisi Em-U-I sebagai lembaga negara yang fokus mengurusi umat muslim dengan sikap politik nya dengan pemerintahan Orba. Saya tidak ingin membuat frame negatif seperti yang dimiliki pemerintahan Orba sebagaimana fakta-fakta yang dikumpulkan oleh berbagai lembaga kemanusiaan dan HAM. Karena menjajarkan Orba dengan Em-U-I secara politik dalam sebuah tulisan itu adalah bentuk tindakan kafir. Tak ada pledoi yang apik saat menepis tuduhan sesat dari Em-U-I. Lihatlah orang-orang yang ada dibelakangnya, para pembesar dari tiap lapis ormas Islam terlibat aktif dalam perjalanan  lembaga ini.

Van Bruinessen dalam Jajat Burhanudin di buku yang berjudul ‘Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Politik Muslim dalam Sejarah Indonesia’ memberikan ulasan bahwa Em-U-I tidak menjadi fasilitas antara kepentingan pemerintah dan masyarakat muslim. Lembaga ini menjadi lebih condong menjadi kaki tangan pemerintah Orba dalam tindakan politisnya. Seperti, fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Em-U-I sebatas sebagai justifikasi Islam bagi kebijakan-kebijakan pemerintah.

Hal menarik saya temukan dalam setiap fatwa yang dikeluarkan oleh Em-U-I, perihal diksi yang mereka gunakan serta analisisnya. Kecurigaan Jajat memang berdasar. Analisis yang dilakukan oleh Em-U-I sama sekali tidak jauh beda dengan apa yang telah dilakukan pemerintah. Pada akhir 2014 Em-U-I lagi-lagi latah mengeluarkan fatwa tentang Bandar, Pengedar, dan Penyalahguna Narkoba. Pemerintah sepakat untuk menghukum mati para pengedar dan serpihan terkecil dari gembong narkoba. Lantas disusul oleh fatwa atas keputusan pemerintah dan semakin menguatkan bahwa tindakan yang diambil oleh pemerintah memang benar adanya secara mutlak. Terlebih ada dalil-dalil yang menjadi landasan para Em-U-I soal khomer dan lain-lain.

Hemat saya, tindakan yang dilakukan oleh Em-U-I tidak ada daya tawar baru dalam menyelesaikan pengedaran narkoba di negeri ini. Tapi menguatkan pendapat pemerintah dengan dalil sebagai justifikasi atas keputusan yang diambil oleh pemerintah. “Em-U-I saja sudah melegalakn dibunuhnya pengedar narkoba dengan kadar tertentu (yang sebenarnya ambigu dan sangat absurd, sama halnya dengan pasal karet). Terus aku kudu piye?

Contoh lain fatwa tentang pertambangan yang ramah lingkungan. “Mana ada pertambangan yang ramah lingkungan?” ungkap aktivis anti tambang dalam suatu diskusi. Lagi-lagi Em-U-I mengeluarkan fatwa penegasan undang-undang tentang pertambangan yang dibumbui dengan dalil-dalil. Fatwa nya pun kembali tidak menawarkan solusi baru selain semakin menguatkan undang-undang pertambangan yang dalam pelaksanaan nya sangat timpang. Mana taring Em-U-I saat ada pertambangan? Saat rakyat kecil di hakimi oleh aparat kepolisian di Kendeng? Apakah mungkin hal itu kurang seksi hingga harus menyibukkan diri dengan membuat fatwa baru berbentuk buku dengan judul ‘Mengenal & Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia’? ketimbang harus berlaku serius terhadap fatwa yang sudah dikeluarkan soal tambang?

Diksi dan bahasa yang digunakan oleh Em-U-I sangat provokatif. Lapisan masyarakat (awam) mana yang tidak akan saling bunuh saat mengamini fatwa Em-U-I adalah suara illah? Diksi yang digunakan dalam fatwa yang berbentuk buku sangat sarkas. Seperti fatwa sebelum-sebelumnya. Perihal boleh membunuh, menyiksa, dan tindakan tidak manusiawi lain nya tertera dalam setiap fatwa yang lahir.

Saya rasa analisis dan penulisan dalam buku ini sangat dini dan dangkal. Karena penyusun fatwa ini tidak konsisten untuk menyebut Syi’ah yang salah adalah Rafidhi, penganut imamah, tidak mengimani salah satu atau dua dari para empat sahabar nabi yakni Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Padahal penjelasan awal menerangkan bahwa syiah yang dilarang pada kelompok atau golongan ketiga. Namun porsi untuk meyebut syiah tanpa ada embel-embel lainnya begitu banyak. Sehingga terkesan memukul rata kelompok syiah.

Beberapa diksi ngawur dan dangkal dalam analisis yang digunakan Em-U-I:

1.       Bahaya laten

2.       Ancaman bagi NKRI

3.       Syiah pada era sekarang mempunyai misi misionaris (istilah yang sangat dibenci kalangan muslim dan dianggap sesat)

4.       Intelektual yang rendah

5.       Mui lembaga paling berkompeten dalam menjawab dan memecahkan setiap masalah sosial keagamaan yang timbul di masyarakat

6.       Mui sangat peka terhadap penyimpangan agama

7.       Mui berwenang menetapkan fatwa masalah akidah yang menyangkut kebenaran dan kemurnian keimanan umat islam di indonesia (dengan cetak tebal)

8.       Perbedaan yang dapat ditoleransi itu majal al ikhtilaf adalah suatu wilayah pemikiran yang masih berada dalam koridor ‘ma ana ‘alaihi wa ashabiy’, yaitu paham keagamaan Ahlus-sunnah wal jama’ah dalam pengertian luas (dengan cetak tebal)

9.       Mui menghimbau kepada umat islam indonesia yang berfaham ahlussunnah wal jama’ah agar meningktkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya paham yang didasarkan atas ajaran syiah (dengan cetak tebal)

10.   Mui telah menegaskan sikap mayoritas umat islam indonesia terhadap syiah dalam konsideran fatwa mui,Mayoritas umat islam indonesia adalah penganut  paham sunni (ahlussunah wal jamaah) yang tidak mengakui dan menolak paham syiah (dengan cetak tebal)

11.   Menyebutkan bahwa syiah imamah melakukan 10 kriteria aliran sesat yang sudah ditetapkan oleh mui. Anehnya, yang disebutkan hanya 3 poin meskipun dalam pengantarnya menyebut melakukan 10 hal tersebut (dengan cetak tebal)

Saya kira Em-U-I paham betul akan diksi yang mereka gunaka dalam fatwa. Memang benar tujuan adanya lembaga ini untuk menyatukan umat muslim. Namun nyatanya sangat berbeda. Lewat fatwa nya lah umat muslim saling serang, saling bunuh, saling pecah belah. Anehnya, dalam buku fatwa ini Em-U-I membuat sub pembahasan dengan judul ‘Potensi Konflik Syi’ah dan Sunni di Indonesia ‘. Apa tujuan nya? Terlebih isinya hanya pemaparan data tentang hari dan bulan pecahnya konflik tanpa ada penjabaran jelas terkait awal atau sebab pecah konflik. Mereka hanya menuliskan pembakaran oleh kelompok anti Syiah. Secara tak sadar hal ini akan membentuk pola pikir masyarakat bahwa Syiah adalah sumber masalah dan jangan sampai berkembang. Apakah ini yang dinamakan penelitian mendalam seperti yang sudah tertulis dalam enam bulan dengan model pertemuan yang intensif? Saya lebih sepakat menyebut ini sebagai kumpulan atau ringkasan dari pemberitaan media mainstream saja. Tidak seperti yang telah dilakukan oleh lembaga kemanusiaan dan HAM yang merilis kronologi yang begitu panjang lengkap dengan detil.

O iya, sebenarnya saya tidak mau tahu tentang berapa anggaran yang sudah dihabiskan dalam pembuatan fatwa berbentuk buku mini ini. Jumlah halaman nya pun hanya sekitar 109 halaman isi dengan ukuran 11x17 cm. Buku apa ini? Ukuran nya mirip komik anak-anak. Bahkan komik naruto pun masih terlalu tebal untuk satu sesi. Lalu, fakta mana lagi yang kau dustakan dengan data yang sangat prematur dan sangat dangkal.

Menarik kemudian mempertanyakan apakah Em-U-I telah melakukan penjiladan terhadap ludah yang sudah dibuang nya? Karena Em-U-I pada suatu waktu telah melaknat perbuatan memecah belah umat saat mengeluarkan fatwa tentang pengedar, bandar dan penyalah narkoba. Tapi saat mengeluarkan fatwa tentang Syiah itu sesat malah sebaliknya. Secara tersirat Em-U-I telah membuat perpecahan antar umat muslim. Saya bukan orang Syiah. Saya tidak sepakat dengan Syiah ketika dia mengkafirkan golongan di luarnya. Ironisnya, Em-U-I telah melakukan pengkafiran terhadap golongan Syiah.

Saya mempunyai pengalaman tentang dialog terbuka antara Syiah dan Sunni di kampus. Dialog yang terbangun tidak mencerminkan Ulama atau tokoh, minimal sebagai orang terdidik atau intelektual. Argumen yang dilempar oleh pembicara dari Sunni sangat provokatif dan menjatuhkan pembicara dari Syiah. Lantas saya apakah setuju dan sepaham dengan Syiah. O tidak. Secara garis lahir saya orang NU. Namun tidak menjadi kan saya sebagai orang yang menutup diri akan kebaruan meski ormas yang saya ikuti mendapat julukan tradisional, konservatif dan ndeso. Hahahaha

Catatan, untuk penggarapan fatwa ini begitu lama. Dibandingkan dengan Bahtsul Masail (sebuah metode diskusi dalam mencari solusi di kalangan NU) di desa saya, waktu enam bulan dengan buku mini nan tipis sangat mubadzir. Teruntuk kalian para orang yang bercokol di belakangnya, mohon lebih baik dan berpikir dan mencari ridho Illah sebagai tujuan kalian. Untuk idola saya, Ma’ruf Amin, ikutilah kata hati, bukan kata partai. Pe-Ka-S lebih bahaya daripada lintah lo bung. Tetap semangat dan lopjuh :-*


Writing Challenge IV


Tidak ada komentar:

Posting Komentar