Suatu
malam di rumah sepupu di kawasan Wuluhan, Jember, saya mendapat ajakan untuk
menikmati kopi. Menariknya, pemilik warung menyediakan perempuan sebagai teman
ngobrol ditengah maraknya warung kopi penyedia jaringan internet gratis. Cocok
untuk menghilang sejenak dari jenuhnya pekerjaan atau kuliah.
Bangunan
warung cukup minimalis. Berdiri tepat di
depan rumah tersambung dinding rumah bagian depan. Bambu dengan tujuh cendela berdiri
membentuk huruf u menutupi bagian depan
rumah. Alasnya dari tanah. Satu bangku panjang diletakkan depan warung samping
pintu masuk. Tiga bangku panjang lainnya berada di seberang jalan. Pemilik
warung menyediakan bangku lebar dan panjang di dalam warung. Muat untuk enam
orang.
“Pesen
opo?”
“Kopi
loro jahe siji,” jawab Jek, sepupu saya
Kopi
yang sudah halus, gula dan beberapa gelas menjadi satu di meja ukuran dua
meter. Aneka macam minuman siap saji bungkusan
terpasang di tali yang terpasang pada dinding rumah. Dua perempuan pindah dari
satu bangku ke bangku lainnya. Menyapa dan mengajak ngobrol pembeli. “Teko
ngendi mas,” sapanya pada saya yang duduk di lantai depan rumah yang berada di
samping warung.
Jek
mengatakan bahwa saya dan Khoi, tetangga sekaligus teman Jek, baru dari rumah
di kawasan Wuluhan. Dari lampu merah Kecamatan Ambulu lurus ke selatan
mengikuti jalan menuju pantai watu ulo. Dua persimpangan berukuran kecil dari
kantor urusan agama (KUA) yang berada di bahu kiri jalan belok. Setelah bertemu
persimpangan empat belok kanan. Warungnya tepat di kiri jalan.
Satu
perempuan yang awalnya duduk di bangku depan warung menemani pembeli yang lain
menghampiri kami. Bertanya asal daerah dan sebelum ke warung itu dari mana
saja. Lalu obrolan mengalir tak terbendung dari humor sampai pujian berbuntut rayuan.
“Pedofil.”
Ucap Khoi pada saya
“Maksutnya?”
jawab saya saat bertanya urusan sekolah sampai teknis menjaga warung kopi.
Saya
kaget saat tahu perempuan yang menemani kami ngobrol masih duduk di bangku
kelas dua sekolah menengah pertama (SMP). Anggapan saya awal dia sudah duduk di
bangku sekolah atas. Bentuk tubuhnya yang lebar (tapi bukan gemuk), suaranya
yang besar, melayani obrolan seksis dari pembeli, membuat kesimpulan salah.
Bahwa ia sudah lulus sekolah atau minimal sudah hampir lulus dari sekolah atas.
Perempuan
SMP itu pergi masuk rumah. Kami membuat obrolan kecil sendiri lantaran satu
perempuan menemani ngobrol pelanggan yang lain. Atau sesekali tampak Jek mengajak
ngobrol pembuat kopi yang kisaran usianya sudah empat puluh tahun. “Sampean
dino iki kok iso ketok ayu. Opo yo gae (susuk),” kata Jek sambil terkekeh.
Tugasnya meracik kopi atau minuman yang
lain, memasak air dan mencuci gelas yang kotor. Gelas-gelas yang sudah
ditinggal oleh pelanggan dan sisa pekerjaan lainnya menjadi tugas dua perempuan
‘teman’ pelanggan warung.
***
Malam
itu ia memakai kaos oblong warna gelap dengan celana warna biru laut. Duduknya membungkungi
kami. Ia berbicara saat salah satu diantara kami bertanya. Sebenarnya ia cukup
pemalu. Tidak berani menatap lawan bicaranya. Namun ia cukup pintar dalam
menutupi rasa malu dan geroginya itu. Tertawa dengan suara yang dibuat keras
agar terlihat akrab dengan pelanggan warung kopi.
Warung
ini buka setelah maghrib sampai tengah malam. Namanya NNW, perempuan tangguh
yang menghabiskan waktu malamnya menjadi pekerja dari warung kopi ibunya. Ia
bekerja mulai sore untuk mempersiapkan warung kopinya. Saat jenuh dengan
sekolah dan pekerjaan ia gunakan waktunya untuk berselancar di media sosial.
Melakukan percakapan yang bebas tanpa harus meladeni alur obrolan seksis para
pelanggan warung kopi milik ibunya.
Mungkin
ini semacam ritual khusus. Sebelumnya, Fita sepupu NNW yang baru lulus SMA pada
2014 lalu mengatakan, ia sudah bekerja menjaga warung kopi itu sejak duduk di
bangku kelas dua SMP. Ia baru bekerja, tambah NNW, di warung kopi milik ibunya
dapat tiga bulan setelah naik kelas dua di bangku SMP.
Fita
sudah terbiasa menghadapi pelanggan dengan obrolan seksis, berbagai macam
pujian keindahan atas tubuhnya dibanding dengan perempuan lain. NNW masih
canggung. “Ojo gombali adik ku mas. Ijeh cilik,” teriaknya pada pelanggan yang mencoba merayu NNW. Sedangkan
NNW hanya tertawa kecil mendengar Fita meneriaki pelanggan.
Kasih
sayang Fita cukup besar. Ia melindungi sepupunya dari rayuan para pelanggan.
Meski satu waktu juga meneriaki NNW yang berada di dalam rumah untuk menemani
ngobrol pelanggan yang baru datang. Membiasakan NNW menemani ngobrol para
pelanggan adalah cara paling ampuh untuk membuang rasa canggungnya. Atau
membiarkan NNW dirayu pelanggan oleh ibunya
yang bersebelahan adalah bentuk pendidikan mandiri atas hidupnya
sendiri. Saat hendak bertanya kepada ibunya, saya diajak pulang oleh Jek dan Khoi.
***
NNW
pamit masuk rumah pada kami. Ia pergi setelah beberapa kali saya tanya uang
saku sekolah yang ia terima. Saya ingin memastikan bahwa kehidupan nya dijamin
oleh ibunya sebagai ganti dari waktunya selama bekerja. Bukan eksploitasi
besar-besaran terhadap jenis kelamin NNW dan waktu belajarnya. Tapi NNW selalu
diam setiap saya ajukan pertanyaan tentang uang saku yang ia terima selama
sekolah.
Pikiran
akan berakibat melecehkan NNW belum muncul. Saya semakin takut dan ingin
memastikan bahwa NNW tidak sedang dalam eksploitasi oleh ibunya. Rasa aneh dan
menyesal saat NNW pamit masuk rumah. Anggapan saya ingin menyewa kelamin NNW
tetiba muncul, anggapan saya telah melecehkan NNW muncul, anggapan bahwa saya
tidak pantas sebagai orang yang berpendidikan dan menghormati perempuan muncul.
Saya takut dan sangat menyesal jika NNW mempunyai tafsir yang berbeda dari
tujuan pertanyaan saya. Jika tafsir buruk itu yang muncul, saya ingin meminta
maaf pada NNW. Bahwa saya pantas disebut sebagai pengecut dan bajingan karena
tidak menghargai perempuan dan telah merendahkannya. Kutapantas disebut orang
berpendidikan.
Ia
cukup lama berada di dalam rumah. Ia keluar karena Fita teriak memangil saat
ada pelanggan baru datang. Warung kopi ini, menurut Jek, berbeda dengan
‘lesehan’ yang menyediakan jasa tumpangan di paha, beberapa minuman beralkohol,
jasa kelamin, jasa menyentuh seluruh tubuh. Warung tempat NNW bekerja hanya
pada batas menemani ngobrol saja.
Kenyataan
bahwa NNW sudah bekerja dan menemani atau mengikuti alur obrolan pelanggan yang
tak jarang seksis itu berat. Ibunya hanya diam diri berharap anaknya dalam
waktu yang tidak lama terbiasa dengan obrolan para pelanggan. Ayahnya diam diri
duduk di bangku panjang di seberang jalan bersama pelanggan yang lain. Ia hanya
diam saat melihat istri dan anaknya diajak ngobrol perihal seksis oleh
pelanggan. Karena pelanggan warung ini dari usia lima belas sampai empat puluh
tahun. Mendengar dan mendengungkan “jangan berharap pada Negara” menjadi
kegetiran yang hebat pada diri. Mendengar lagu ‘sore tugu pancoran’ milik Iwan
Fals semakin membuat tangan ini mengakhiri tulisan. Bersama kita tumbuhkan
kesadaran kritis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar