Rabu, 31 Juli 2019

Renungan Atas Ruang Tanpa Jeda

"Orang miskin, yatim sekalipun juga bisa menjadi Kaisar Sihir." 

-Black Clover- 

Kutipan di atas adalah provokasi Asta kepada Yuno, dua bocah misterius yang ditemukan oleh pendeta saat mereka masih bayi. Tepatnya di sebuah gereja kecil dan reyot di desa pinggiran nun jauh dari kota. Melalui momen dramatis perebutan kalung Yuno oleh Asta kepada sang perampok, Asta yang tidak mengenal kata menyerah berhasil membuat perampok jengkel. Ia memberikan kalung Yuno setelah Asta babak belur dihajar olehnya.

Dengan sisa-sisa tenaga, Asta mampu meneguhkan jiwa Yuno yang cengeng. Bahwa untuk melindungi orang terdekat, bahkan secara konyol Asta bilang semua penghuni bumi, mereka harus menjadi Kaisar Sihir. Seseorang yang menurut tradisi lisan dipercaya sebagai pembunuh iblis yang hendak menghancurkan umat manusia.

Film anime di atas telah membuat saya menghela napas. Ada hal-hal terdekat yang mulai hilang. Ada tanggung jawab yang luput dan menjadikan saya pecundang. Ada sisi kemanusiaan yang mulai usang dan perlahan memunculkan sisi-sisi hewan: rakus tiada berkesudahan. Seolah tidak pernah ada jeda untuk sekadar melakukan perenungan, karena semuanya hanya soal uang.

Lalu, bagaimana dengan kebutuhan sehari-hari yang selalu melibatkan uang?

Saya ingin menggaris bawahi 'semuanya hanya soal uang'. Ada fokus yang berlebih di situ. Seolah, jika memang pantas, uang diposisikan sebagai tuhan. Kerja bagai quda, selagi muda biar ena saat tua, demi anak cucu 'kita', biar 'kaya', kalau perlu konsumsi obat bukan hanya penambah tapi peningkat stamina. Semuanya menuju satu titik: investasi.

Insting bertahan hidupnya manusia, kalau mau jujur, tidak berbeda jauh dengan hewan. Bahkan pada satu sisi lebih menjijikkan. Munir, Wiji Thukul, Marsinah, korban politik 65, adalah sebagian dari contoh epiknya. Melalui kekuasaan, nyawa hanya deretan angka. Kenapa saya sebut demikian? Karena hewan hanya mengambil sesuatu berdasarkan kebutuhan, bukan keinginan. Apa hubungannya dengan investasi?

Investasi secara prinsip bersifat jangka panjang. Detilnya semacam usaha untuk bertahan hidup diusia non tenaga kerja (Disnaker) dari 'pendapatan pasif': saham, properti, atau 'bunga' yang terus bertambah tiap tahunnya. Saking menguntungkannya, investasi menjadi bentuk paling ideal bagi para tenaga kerja pada masa mendatang. 

Minum teh saat pagi dan sore hari sambil baca koran (jika masih ada), mengobrol dengan 'pasangan', menimang cucu (jika ada), sesekali bertamasya dengan keluarga. Ini hanya bagian gambaran kecil yang menjadi idaman seorang teman. Mengingat setiap orang punya gambaran masing-masing akan masa tuanya.

Bentuk ideal itu bisa jadi melenakan dan menghilangkan kontrol atas diri kita sebagai manusia. Sebagai contoh, saya kutipkan ucapan Jokowi dari berita di CNN Indonesia.

"Perizinan yang lambat, berbelit-belit, apalagi yang ada punglinya. Hati-hati, hati-hati, ke depan saya pastikan akan saya kejar, saya kontrol, akan saya cek, dan akan saya hajar," ujar Jokowi dalam acara penyampaian Visi Nasional 2019 di Sentul International Convention Center (SICC), Minggu (14/7).

Walaupun Jokowi tidak bisa menjadi representasi sikap masyarakat Indonesia atas 'Investasi'. Sebagai orang nomor 1, dia punya kendali besar untuk menerjemahkan, merangkai aturan 'investasi' kepada masyarakat Indonesia.

Dengan kekuatan sebesar itu, Jokowi menjadi terlena dan lupa. Ia tidak bisa mengontrol kekuatan yang begitu besar yang didapat dari masyarakat. Buktinya, kebijakan 'investasi' rancangan Jokowi menghapus rancangan investasi masyarakatnya. Sektor pertanian masyarakat digusur atas nama infrastruktur. Menurut kalian, investasi itu seperti apa? Apakah investasi hanya untuk mereka yang berstatus sosial menengah ke atas? Tidak berlaku untuk masyarakat yang menyandang status sosial bawah? Bagaimana seharusnya term investasi tidak mengenal status sosial?

Semua kegelisahan itu dijawab oleh perusahaan Fintech Startup. Dengan 10.000, batas status sosial hilang. Orang miskin bisa melakukan investasi. Meskipun kita tahu, investasi yang berpijakan pada 'bunga' bergantung pada seberapa besar jumlah investasinya. Ada harapan yang muncul dari para guru sekolah swasta yang hanya mendapat gaji 300.000 tiap bulannya. Jebolan universitas negeri atau swasta yang punya ranking terendah sekalipun, tidak perlu lagi minder dengan jebolan Universitas Indonesia (UI). Yang kapan hari sempat ramai alumni UI menolak gaji 8 juta.

Belum lagi kemudahan yang ditawarkan oleh perusahaan Fintech. Pengguna smartphone cukup menginstal aplikasinya dan mengisi persyaratan tanpa harus datang ke kantornya. Sangat cocok untuk pemuda-pemudi mager atau enggan dengan ribetnya proses administrasi.

Investasi model ini menjadi fenomena baru. Dari tahun ke tahun sejak 2006 terjadi peningkatan. Mungkin 2017 menjadi tahun yang cukup penting dalam perkembangan perusahaan Fintech. Jumlah pengguna smartphone semakin banyak.

Mungkin ini efek dari teknologi: mendekatkan yang jauh-menjauhkan yang dekat. Kemudahan yang ditawarkan Fintech bukan tanpa resiko. Kita tidak mempunyai jeda untuk bernapas santai sambil melakukan refleksi. Siklus hidup menjadi jauh dari hal prinsipil (setidaknya menurut saya). Kerja-'investasi'-kerja-'investasi'. Kita tersedot dalam pusaran angka; berapa digit, berapa tahun. Seolah kita lupa kualitas oksigen kita yang semakin memburuk. Seolah kita lupa pola makan kita buruk. Seolah kita lupa ada orang lain selain kita dan keluarga.

Soal oksigen dan pola makan misalnya. Kita dipaksa mengamini term orang miskin dilarang sakit. Sehingga kita bekerja dan melakukan investasi untuk angka semata. Lupa bahwa pemerintah yang bertanggungjawab atas kesehatan masyarakatnya. Lupa bahwa hunian layak tanggung jawab pemerintah. Jika memang kita tidak lupa, apa benar kita sedang frustrasi oleh kebijakan-kebijakan pemerintah?

Asta, meskipun tokoh fiksi, mengingatkan saya untuk merebut jeda yang sempat diambil 'angka'. Masyarakat pinggiran bersama-sama dengan masyarakat menengah merebut kedamaian bersama dari iblis. Jika pemerintah lalai, kritik harus diberikan untuk menghapus sisi hewannya.

Dari siklus kerja-'investasi', kita butuh mengambil jeda setiap harinya. Agar kita tidak lupa bagaimana caranya menjadi manusia.

 *** 

Sebagai catatan, tulisan ini awalnya terlalu sentimentil. Titik tumpunya pada kerja yang hanya berorientasi pada angka.

#wc

2 komentar:

  1. Memangnya sapa juga yg akan peduli kalo itu sentimentil atau tidak? Wqwq

    BalasHapus
  2. Netijen atau kaum baper yang tida berkesudahan

    BalasHapus