Kali pertama melihat sampul dari buku Syamsun Ni’am saya
sangat tertarik. Mengingat penelitian saya hampir sama dengan nya: soal
keberagaman. Terlebih judul bukunya ‘Wajah Keberagamaan Nusantara’. Benak pikir
membayangkan isi buku yang komplit soal agama di Indonesia ini yang beragam. Tentunya
soal Ahmady dan Syiah yang jadi bulan-bulanan massa beberapa tahun lalu pasti
ada. Meskipun tak detail saya maklumi. Karena buku hasil dari penelitiannya
hanya berjumlah 144 halaman. Mustahil dapat mencakup persolan yang cukup
detail. Terlebih ini soal nusantara.
Terimakasih saya haturkan kepada pengarang yang sekaligus salah
satu dosen kampus tempat saya kuliah, IAIN Jember. Laiknya penelitian dilingkungan
IAIN Jember pada umumnya, ada pendahuluan. Pengarang resah akan kondisi Islam yang mendapat stigma
sebagai gudang atau tempat teroris berkembang. Mencomot tragedi Bom Bali pada
12 Oktober 2002 di Legian, Kute. Atau hotel JW. Marriot, Jakarta pada 5 Agustus
2003.
Tak hanya itu, pecah konflik di Ambon juga menjadi latar
belakang pengarang —menurut hemat pengetik. Yang ujung-ujungnya berasal dari
soal perbedaan agama dan tidak dianggap sebagai karuni a Tuhan. Sedangkan fokus
penelitian yang diambil oleh pengarang buku ini ‘persaudaraan dan kerukunan
umat beragama, ekspresi beragama ditengah keberagaman dan keberagamaan umat’.
Tujuan dari penelitian buku ini untuk mengetahui bagaimana pemahaman umat
beragama mengenai konsep kerukunan umat beragama, dan mengetahui bagaimana
pelaksanaannya; disamping juga untuk menggali secara langsung tentang ekspresi
keberaagamaan masyarakat Indonesia dalam mewujudkan kerukunan umat dalam
beragama. Terlebih pengarang berharap penelitiannya bermanfaat sebagai
diskursus akademik, dan selanjutnya sebagai bahan diskusi.
Tak perlulah saya terangkan ulang soal bagaimana proses
penelitian yang dilakukan oleh pengarang. Variabel peneltian, penelitian
terdahulu, kajian teori, pembahasan secara teknisnya. Oleh pengarang tertuang
dalam buku hasil penelitiannya sebanyak 15 halaman.
Pengarang cukup baik menjelaskan soal kondisi konflik agama
yang terjadi di bangsa ini. Terlebih pengalamannya yang mengikuti proses misa
dalam gereja saat berada di Vatikan. Menjelaskan pemahaman keagamaan masyarakat
Indonesia bersifat inklusif, humanis, moderat, adalah hal yang tak bisa
dinafikan. Namun dititik lain mudah dimanipulasi untuk saling membunuh karena
ketidaktahuannya. Persoalannya bukan soal dialog antar iman, tetapi lebih pada
faktor politik-ekonomi-sosial-budaya.
Agar lebih mudah, beberapa catatan pengetik akan ditulis di
bawah ini:
1.
Penjelasan negara
pancasila, bahwa agama dan aliran kepercayaan dibolehkan mempunyai hubungan
dengan kehidupan politik. Sungguh saya tak paham soal aturan catatan kaki. Sepaham
saya catatan kaki terletak setelah penjelasan maupun ungkapan. Jika memang
seperti itu, pengarang telah melakukan opini atas pendapat M. M Thomas. Karena menjabarkan
beberapa model untuk menghadapi sekularisasi tanpa mencantumkan sumber. (jika
maksud saya benar adanya).
2.
Gereja Kristen Jawi Wetan
(GKJW) bersanding dengan NU sebagai aliran dalam agama masing-masing yang
mempunyai sifat moderat. Untuk NU memiliki pandangan terbuka dalam bergumul
dengan agama lain. Beberapa dan sering kali pengarang memposisikan NU sebagai
agama yang moderat.
3.
Hal wajar kelompok atau
sebagian anak bangsa memilih model lain selain pancasila sebagai model
keberagaman dan keberagamaan bahkan ideologi bangsa, seiring dengan alam
reformasi dan demokrasi. Ungkapan itu seperti melegitimasi soal keberadaan FPI,
atau golongan radikan lainnya. Pengarang bukan memberikan solusi hanya
menjelaskan kondisi di lapangan. Bukankah penelitian semacam ini —menjelaskan
kondisi yang ‘sekarepan’ untuk menafsiri demokrasi—
sudah terlampau banyak dan tak efisien? Kenapa pengarang tak memberikan udara
segar layaknya peneliti pada kebanyakan. Memperbarui suatu teori guna
memperkaya khazanah pengetahuan.
4.
Mengambil kutipan tentang
memanusiawi-kan manusia dalam 4 hal soal anti kekerasan, kultur yang solider,
toleran, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Namun memberi catatan
kaki soal bobroknya AS yang notabene berumat kristen soal stigmatisasi negara
islam sebagai negara teroris: Iraq, Afghanistan, Palestina dan Iran. Seperti menjilat
ludah sendiri. Berharap soal toleran, solider tapi membuat wawasan anti amerika.
Bukankah yang dipahami bangsa kita pada kebanyakan bahwa mereka adalah umat
kristiani? Mengapa pengarang tak berani tunjuk pelakunya saja. Tanpa harus me generalizer
daerah atau belahan bumi di planet ini.
5.
Konflik sampit, ambon
buah hasil dari kemajemukan ditengah-tengah masyarakat. Pengarang tak pernah
berani untuk ungkap suatu penyebab dari masalah. selalu umum. Globalisasi,
modernitas, misalnya. Apa soal akal budi seperti yang disampaikan Hegel dalam
hal modernitas. Atau yang mana. Fenomena apa jika memang pengarang serius
melakukan pendekatan kualitatif sosiologis-fenomenologis dalam penelitiannya. Toh
bahasa yang digunakan masih lisan. Memang sih dalam penjelasannya soal data-data
kualitatif berbentuk kata-kata verbal, bukan angka. Tapi ya alangkah baik
menggunakan bahasa tulisan, bukan lisan. Dan saya tak mau bahas lebih soal
ejaan, tulisan. Karena saya bukan editornya.
6.
Kisah berdirinya Paguyuban
Kerukunan Umat Beragama (PKUB) di kota Kediri tak berdasar data. Hanya pemahaman
pengarang atas kisah lalu ditulisnya. Seolah pengarang adalah orang tunggal
yang paham akan kondisi lengkap kisah PKUB. Apalagi tentang pelopor dari awal
diskusi PKUB adalah KH Anwar Iskandar yang mengajak tokoh lintas agama pada 10
Mei 1998 di kediamannya. Pengetik merasa pengarang melakukan monopoli pengetahuan
karena tak menyertakan sumber data yang jelas. Tak ada catatan kaki, in note, maupun
end note.
Terlebih soal pencantuman organ mahasiswa,
PMII? Bukankah sebelumnya pengarang mengatakan tokoh lintas agama? Apa iya
organ mahasiswa ini setara dengan tokoh agama? Apa pentingnya memasukkan dalam
teks? Terlepas dari mencoba menghilangkan kenyataan/ realitas pada waktu itu. Jika
memang mencoba ingin menampilkan realitas secara utuh. Tak mungkin dalam forum
diskusi tak ada pengantar kopi, atau pengikut, asisten kyai anwar, maupun
keluarga dari kyai anwar yang dengar pembicaraan mereka. Pertemuan kedua di
UNISKA pada 28 Juli 2008 untuk mematangkan rencana kebersamaan dan pemahaman
tersebut. Hal ini juga tanpa ada data. Absurd pun tak ada.
7.
Secara umum kediri
wilayahnya tidak begitu luas dibanding dengan kota lain. Padahal Madiun,
Blitar, Mojokerto lebih kecil luas daerahnya. Pengarang melakukan dramatisir
data atas luas tiga daerah yang luasnya lebih kecil dari Kediri. Apa mungkin
dalih ‘secara umum’ adalah hal biasa untuk menutup tiga daerah itu? bukankah
hal ini menguatkan bahwa pengarang piawai dalam melakukan praktik generalisasi?
8.
Tabel menyajikan Islam dengan
Hindu berbanding 15%. Dan oleh pengarang dikatakan sebagai selisih yang kecil. Jika
dihitung dengan total penduduk desa Tanon —yang 3000 jiwa menurut
pengarang—
itu, hampir 500 warga yang menganut Islam lebih dari jumlah total pemeluk Hindu.
Angka segitu tidak kecil lo untuk sekelas desa. Tapi entahlah, ini hanya
menurut pengetik yang tak punya gelar apa-apa dibanding dengan pengarang.
9.
Pengarang mengungkapkan
bahwa Said Aqil Siradj sangat heroik, berani dan melakukan hal yang tidak
biasa. Yaitu berkhutbah di Gereja Algonz, Surabaya atas undangan pendeta Kurdo.
Pengarang juga melabeli dirinya sendiri sebagai hal yang tak wajar dan luar
biasa. Banyak kontra dari kalangan sesama pemeluk NU. Bukankah hal yang biasa
seperti itu? itu menurut pengetik sih. Karena khotbah di gereja, atau agama
lain, bukankah sudah pernah dilakukan semasa nabi? Bahkan dia mendapat
permusuhan dari kalangan kafir. Namun beliau masih tetap menjalankan dakwah
untuk saling mengingatkan dalam kesabaran dan saling mengingatkan dalam
kebenaran. Seperti yang terkandung dalam surat al-Ashr ayat 3.
Kerukunan umat beragama sudah berjalan
sejak pasca G 30 S (PKI). Mengapa masih mencantumkan PKI? Bukankah di awal
menekankan bahwa pancasila yang ditetapkan oleh Soekarno ini bertujuan untuk
orang yang beragama dan tidak dalam derajat yang sama? (Sosialis-marxis) Apa benar
ingin menekankan kalau PKI itu sesuai sejarah yang dibuat oleh Orba yang
keliru, bahwa mereka tak beragama? “Kenapa tak ada rekonsiliasi,” celetuk teman
saya. Bukankah merobek luka lama? Disitu saya merasa kecewa. Keberagamaan tapi
kok sedikit pemantik permusuhan. Kenapa pengarang mencomot soal
animisme-dinamisme tapi konsen nya ke Islam? Saya kecewa. Patah hati saya. Tak sesuai
bayangan saya yang mencakup semua agama dan pemicu keberagaman. Duh.
10.
Pendeta dan mubaligh
berdakwah dengan menitik beratkan isu-isu kemanusiaan, kerja sosial,
kesetiakawanan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Karena mereka dianggap sebagai
pemegang kunci maupun panutan keagamaan oleh masyarakat. Oleh karena itu tokoh
agama harus menyampaikan perdamaian dalam setiap khotbahnya. Membaca ini saya
sangat bahagia. Betapa tidak. Orang yang dianggap pintar, penuntun agama —entah
kyai maupun pendeta— memberikan pengertian yang luas soal menjalani hidup
spiritualitasnya.
11.
Kisah nabi yang tak ada
sumber. Negara madinah. Disitu saya merasa sedih lagi. kenapa buku ‘Wajah
Keberagamaan Nusantara’ isinya banyak soal Islamnya. Saya kira misinya ingin
meningkatkan persaudaraan umat beragama. Tapi bagaimana mau tercapai kalau
isinya tendensi ke Islam.
Menggolongakan Jamaah Ahmadiyah Indonesia
sebagai golongan non mainstream bersanding dengan FPI. Padahal tragedi berdarah
di Cikeusik menurut golongan Ahmady pelakunya adalah FPI. Pengarang lagi-lagi
tak total dalam menjalankan misi penelitiannya. Mengapa takut akan FPI jika
memang itu benar? Apakah ragu akan janji Allah untuk meindungi setiap hambanya
saat berjalan atau berjuang di jalan kebenaran?
Menampilkan tanggapan Ali atas prinsip yang
dipunyai Khawarij soal ‘tiada hukum selain Allah’. Dan Ali menanggapi dengan ‘untaian
kata yang benar, namun dimaksudkan untuk kepentingan yang batil dan tendensius’
untuk menjawab asal mula golongan Radikalisme. Ini merupakan udara segar bagi
saya. karena memang kebanyakan kaum FPI dan golongan radikal lainnya
mengatasnamakan penegakan hukum atas nama Allah. Bajingan betul memang.
Dalam tabel kekerasan yang dilakukan oleh
FPI dan kelompok-kelompok keagamaan lainnya sejak tahun 2001 hingga 2011 ada
hal aneh. Dalam tabel itu ada tiga kolom. Nomor, waktu, dan bentuk kekerasan. Namun
dicantumkan pula tindakan tokoh-tokoh NU yang mencoba meredam dan menghentikan
FPI. Seperti Gus Dur yang meminta FPI untuk menghentikan aksi penutupan paksa
gereja di Bandung, Hasyim Muzadi sebagai
ketua PBNU yang mengecam FPI. Dari tindakan yang dilakukan oleh dua tokoh itu,
mana yang menurut pengarang bentuk kekerasan? Bukankah ini soal langkah tokoh
dalam menyikapi kekerasan yang dilakukan FPI? Itu hemat pengetik.
Juga tak ada keterangan siapa yang
menyerang Ahmady di Cikeusik yang sebenarnya dilakukan oleh FPI, dan empat
kasus lainnya yang tercantum dalam tabel dan tidak ada pelaku yang jelas. Begitupun
dengan sumber tabel kekerasan ini. Tak ada sumber yang dapat dirujuk. Sungguh rasa
kecewa dan saya menyayangkan jika buku hasil penelitian ini tak bisa diakses
secara luas karena sumbernya absurd. Padahal ini dapat menjadi sumbangsih bagi
keberagaman di Indonesia karena masih banyaknya konflik yang berbau SARA.
Kekerasan yang terjadi dianggap sebagai
akibat dari modernitas. Untuk itu mencomot Peter L. Berger sebagai respon
modernitas dengan dua strategi: revolusi agama dan subkultur agama. Maksud strategi
pertama itu para agamawan menawarkan model agama yang modern atau yang kedua
dengan mencegah pengaruh luar agar tak masuk dalam agama. Sebenarnya Habermas
memberikan solusi yang lebih bijak dengan deliberatifnya. Tak perlu menjadi
sekuler murni atau komunitarian.
1. Lunturnya nasionalisme 2. Kendurnya rasa
persaudaraan sesama bangsa 3. Pemahaman agama yang tidak kaffah yang oleh pengarang
diberi catatan kaki soal pengertian kaffah. Menurutnya kaffah bagi sebagian
kelompok diartikan sesuai dengan pesan-pesan dalam al-Quran dan al-Hadits. Namun
pada perkembagannya, sebagian orang mengartikan kaffah sebagai pemaham si
pemaham itu sendiri. Implikasi dari pemahaman yang tidak kaffah munculnya
praktek keberagamaan yang eksklusif dan tidak humanis dan orang lain dianggap
sebagai orang yang tak pantas hidup di negeri ini.
Muhamadiyah dikenal sebagai ‘modernis’ dan
NU ‘tradisional’ dengan dapat pengaruh luas di daerah pedesaan. Ini sedikit
menjadi sekat antar pemeluk agama. Karena desa yang menjadi penelitian
pengarang adalah Desa Taron, Kediri. Yang ditekankan dari keberagaman desa
Taron itu tentang kebersaudaraan, gotong royong yang menjadi ciri pedesaan. Ini
menjadi tendensi ke NU.
Muhamadiyah sebagai generasi pengusung
Islam moderat melalui lembaga sosial-dakwah dan pesantren untuk NU. Sama halnya
dengan pedesaan. Pesantren dalam bahasan buku ini menjadi judul, lain halnya
dengan lembaga sosial dakwah milik Muhamadiyah. Terlebih pembahasan dalam buku
ini menurut hemat pengetik 75% tendensi ke Islam, NU. Selebihnya tak ada
bahasan fokus. Hanya sekadar permukaan tanpa ada penjelasan lebih dibanding NU.
Saya percaya pola pikir orang dipengaruhi
warga sekitar tempat ia tumbuh. Mungkin saja pengarang adalah Muslim, Nu, PMII.
Sehingga dalam tulisan nya muncul beberapa diksi yang menjadi titik tekan pesan
yang ingin disampaikan oleh pengarang. Apalagi banyak ungkapan yang
berulang-ulang. Juga ada sejarah masuknya Islam ke Indonesia dengan beberapa teori:
dagang, jualan cilok (mungkin). Mana sisi ‘Wajah Keberagamaan Nusantara’ dengan
ada sampul umat di Bali? Namanya sampul. Ya Cuma topeng kan tak masalah.
*pengetik menerima balasan. Karena ini kali pertama pengetik
memberikan komen di buku dosen IAIN Jember. Dan jangan salahkan pengetik
nantinya saat menggarap tugas akhir hasilnya jelek. Karena pengetik besar di
kampus ini. Dengan model penelitian yang cenderung sama: kurang mutu. Pernah pengetik
dianggap oleh dekan sedang menggarap tugas akhir. Dia semangat memberikan tuntunan
menggarap skripsi. Intinya melakukan penelitian apapun harus dikembalikan pada
agama: Islam. Tak masalah jika dikembalikan pada agama. Asal bukan agama Islam
mayoritas di bangsa ini yang cenderung kaku dan anti dialog. Dialog bukan untuk
pengetahuan. Tapi lempar hujatan. Seperti yang pernah terselenggara di aula
IAIN Jember dengan warga Syiah dan Ahlul Bait Indonesia. klaim sesat yang
paling santer dan menggema dalam ruangan. Bajingan bukan. Sudahlah. Saya tak
ingin terlarut dalam suasana Ramadhan yang membuat saya menulis ini.