Senin, 22 Juni 2015

Bahaya Membaca Buku saat Bulan Ramadhan


Kali pertama melihat sampul dari buku Syamsun Ni’am saya sangat tertarik. Mengingat penelitian saya hampir sama dengan nya: soal keberagaman. Terlebih judul bukunya ‘Wajah Keberagamaan Nusantara’. Benak pikir membayangkan isi buku yang komplit soal agama di Indonesia ini yang beragam. Tentunya soal Ahmady dan Syiah yang jadi bulan-bulanan massa beberapa tahun lalu pasti ada. Meskipun tak detail saya maklumi. Karena buku hasil dari penelitiannya hanya berjumlah 144 halaman. Mustahil dapat mencakup persolan yang cukup detail. Terlebih ini soal nusantara.
Terimakasih saya haturkan kepada pengarang yang sekaligus salah satu dosen kampus tempat saya kuliah, IAIN Jember. Laiknya penelitian dilingkungan IAIN Jember pada umumnya, ada pendahuluan. Pengarang  resah akan kondisi Islam yang mendapat stigma sebagai gudang atau tempat teroris berkembang. Mencomot tragedi Bom Bali pada 12 Oktober 2002 di Legian, Kute. Atau hotel JW. Marriot, Jakarta pada 5 Agustus 2003.
Tak hanya itu, pecah konflik di Ambon juga menjadi latar belakang pengarang menurut hemat pengetik. Yang ujung-ujungnya berasal dari soal perbedaan agama dan tidak dianggap sebagai karuni a Tuhan. Sedangkan fokus penelitian yang diambil oleh pengarang buku ini ‘persaudaraan dan kerukunan umat beragama, ekspresi beragama ditengah keberagaman dan keberagamaan umat’.
Tujuan dari penelitian buku ini  untuk mengetahui bagaimana pemahaman umat beragama mengenai konsep kerukunan umat beragama, dan mengetahui bagaimana pelaksanaannya; disamping juga untuk menggali secara langsung tentang ekspresi keberaagamaan masyarakat Indonesia dalam mewujudkan kerukunan umat dalam beragama. Terlebih pengarang berharap penelitiannya bermanfaat sebagai diskursus akademik, dan selanjutnya sebagai bahan diskusi.
Tak perlulah saya terangkan ulang soal bagaimana proses penelitian yang dilakukan oleh pengarang. Variabel peneltian, penelitian terdahulu, kajian teori, pembahasan secara teknisnya. Oleh pengarang tertuang dalam buku hasil penelitiannya sebanyak 15 halaman.
Pengarang cukup baik menjelaskan soal kondisi konflik agama yang terjadi di bangsa ini. Terlebih pengalamannya yang mengikuti proses misa dalam gereja saat berada di Vatikan. Menjelaskan pemahaman keagamaan masyarakat Indonesia bersifat inklusif, humanis, moderat, adalah hal yang tak bisa dinafikan. Namun dititik lain mudah dimanipulasi untuk saling membunuh karena ketidaktahuannya. Persoalannya bukan soal dialog antar iman, tetapi lebih pada faktor politik-ekonomi-sosial-budaya.
Agar lebih mudah, beberapa catatan pengetik akan ditulis di bawah ini:
1.       Penjelasan negara pancasila, bahwa agama dan aliran kepercayaan dibolehkan mempunyai hubungan dengan kehidupan politik. Sungguh saya tak paham soal aturan catatan kaki. Sepaham saya catatan kaki terletak setelah penjelasan maupun ungkapan. Jika memang seperti itu, pengarang telah melakukan opini atas pendapat M. M Thomas. Karena menjabarkan beberapa model untuk menghadapi sekularisasi tanpa mencantumkan sumber. (jika maksud saya benar adanya).

2.       Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) bersanding dengan NU sebagai aliran dalam agama masing-masing yang mempunyai sifat moderat. Untuk NU memiliki pandangan terbuka dalam bergumul dengan agama lain. Beberapa dan sering kali pengarang memposisikan NU sebagai agama yang moderat.

3.       Hal wajar kelompok atau sebagian anak bangsa memilih model lain selain pancasila sebagai model keberagaman dan keberagamaan bahkan ideologi bangsa, seiring dengan alam reformasi dan demokrasi. Ungkapan itu seperti melegitimasi soal keberadaan FPI, atau golongan radikan lainnya. Pengarang bukan memberikan solusi hanya menjelaskan kondisi di lapangan. Bukankah penelitian semacam ini menjelaskan kondisi yang ‘sekarepan’ untuk menafsiri demokrasi sudah terlampau banyak dan tak efisien? Kenapa pengarang tak memberikan udara segar layaknya peneliti pada kebanyakan. Memperbarui suatu teori guna memperkaya khazanah pengetahuan.

4.       Mengambil kutipan tentang memanusiawi-kan manusia dalam 4 hal soal anti kekerasan, kultur yang solider, toleran, persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Namun memberi catatan kaki soal bobroknya AS yang notabene berumat kristen soal stigmatisasi negara islam sebagai negara teroris: Iraq, Afghanistan, Palestina dan Iran. Seperti menjilat ludah sendiri. Berharap soal toleran, solider tapi membuat wawasan anti amerika. Bukankah yang dipahami bangsa kita pada kebanyakan bahwa mereka adalah umat kristiani? Mengapa pengarang tak berani tunjuk pelakunya saja. Tanpa harus me generalizer daerah atau belahan bumi di planet ini.

5.       Konflik sampit, ambon buah hasil dari kemajemukan ditengah-tengah masyarakat. Pengarang tak pernah berani untuk ungkap suatu penyebab dari masalah. selalu umum. Globalisasi, modernitas, misalnya. Apa soal akal budi seperti yang disampaikan Hegel dalam hal modernitas. Atau yang mana. Fenomena apa jika memang pengarang serius melakukan pendekatan kualitatif sosiologis-fenomenologis dalam penelitiannya. Toh bahasa yang digunakan masih lisan. Memang sih dalam penjelasannya soal data-data kualitatif berbentuk kata-kata verbal, bukan angka. Tapi ya alangkah baik menggunakan bahasa tulisan, bukan lisan. Dan saya tak mau bahas lebih soal ejaan, tulisan. Karena saya bukan editornya.

6.       Kisah berdirinya Paguyuban Kerukunan Umat Beragama (PKUB) di kota Kediri tak berdasar data. Hanya pemahaman pengarang atas kisah lalu ditulisnya. Seolah pengarang adalah orang tunggal yang paham akan kondisi lengkap kisah PKUB. Apalagi tentang pelopor dari awal diskusi PKUB adalah KH Anwar Iskandar yang mengajak tokoh lintas agama pada 10 Mei 1998 di kediamannya. Pengetik merasa pengarang melakukan monopoli pengetahuan karena tak menyertakan sumber data yang jelas. Tak ada catatan kaki, in note, maupun end note.

Terlebih soal pencantuman organ mahasiswa, PMII? Bukankah sebelumnya pengarang mengatakan tokoh lintas agama? Apa iya organ mahasiswa ini setara dengan tokoh agama? Apa pentingnya memasukkan dalam teks? Terlepas dari mencoba menghilangkan kenyataan/ realitas pada waktu itu. Jika memang mencoba ingin menampilkan realitas secara utuh. Tak mungkin dalam forum diskusi tak ada pengantar kopi, atau pengikut, asisten kyai anwar, maupun keluarga dari kyai anwar yang dengar pembicaraan mereka. Pertemuan kedua di UNISKA pada 28 Juli 2008 untuk mematangkan rencana kebersamaan dan pemahaman tersebut. Hal ini juga tanpa ada data. Absurd pun tak ada.

7.       Secara umum kediri wilayahnya tidak begitu luas dibanding dengan kota lain. Padahal Madiun, Blitar, Mojokerto lebih kecil luas daerahnya. Pengarang melakukan dramatisir data atas luas tiga daerah yang luasnya lebih kecil dari Kediri. Apa mungkin dalih ‘secara umum’ adalah hal biasa untuk menutup tiga daerah itu? bukankah hal ini menguatkan bahwa pengarang piawai dalam melakukan praktik generalisasi?

8.       Tabel menyajikan Islam dengan Hindu berbanding 15%. Dan oleh pengarang dikatakan sebagai selisih yang kecil. Jika dihitung dengan total penduduk desa Tanon yang 3000 jiwa menurut pengarang itu, hampir 500 warga yang menganut Islam lebih dari jumlah total pemeluk Hindu. Angka segitu tidak kecil lo untuk sekelas desa. Tapi entahlah, ini hanya menurut pengetik yang tak punya gelar apa-apa dibanding dengan pengarang.

9.       Pengarang mengungkapkan bahwa Said Aqil Siradj sangat heroik, berani dan melakukan hal yang tidak biasa. Yaitu berkhutbah di Gereja Algonz, Surabaya atas undangan pendeta Kurdo. Pengarang juga melabeli dirinya sendiri sebagai hal yang tak wajar dan luar biasa. Banyak kontra dari kalangan sesama pemeluk NU. Bukankah hal yang biasa seperti itu? itu menurut pengetik sih. Karena khotbah di gereja, atau agama lain, bukankah sudah pernah dilakukan semasa nabi? Bahkan dia mendapat permusuhan dari kalangan kafir. Namun beliau masih tetap menjalankan dakwah untuk saling mengingatkan dalam kesabaran dan saling mengingatkan dalam kebenaran. Seperti yang terkandung dalam surat al-Ashr ayat 3.

Kerukunan umat beragama sudah berjalan sejak pasca G 30 S (PKI). Mengapa masih mencantumkan PKI? Bukankah di awal menekankan bahwa pancasila yang ditetapkan oleh Soekarno ini bertujuan untuk orang yang beragama dan tidak dalam derajat yang sama? (Sosialis-marxis) Apa benar ingin menekankan kalau PKI itu sesuai sejarah yang dibuat oleh Orba yang keliru, bahwa mereka tak beragama? “Kenapa tak ada rekonsiliasi,” celetuk teman saya. Bukankah merobek luka lama? Disitu saya merasa kecewa. Keberagamaan tapi kok sedikit pemantik permusuhan. Kenapa pengarang mencomot soal animisme-dinamisme tapi konsen nya ke Islam? Saya kecewa. Patah hati saya. Tak sesuai bayangan saya yang mencakup semua agama dan pemicu keberagaman. Duh.

10.   Pendeta dan mubaligh berdakwah dengan menitik beratkan isu-isu kemanusiaan, kerja sosial, kesetiakawanan, dan pemberdayaan ekonomi rakyat. Karena mereka dianggap sebagai pemegang kunci maupun panutan keagamaan oleh masyarakat. Oleh karena itu tokoh agama harus menyampaikan perdamaian dalam setiap khotbahnya. Membaca ini saya sangat bahagia. Betapa tidak. Orang yang dianggap pintar, penuntun agama —entah kyai maupun pendeta— memberikan pengertian yang luas soal menjalani hidup spiritualitasnya.

11.   Kisah nabi yang tak ada sumber. Negara madinah. Disitu saya merasa sedih lagi. kenapa buku ‘Wajah Keberagamaan Nusantara’ isinya banyak soal Islamnya. Saya kira misinya ingin meningkatkan persaudaraan umat beragama. Tapi bagaimana mau tercapai kalau isinya tendensi ke Islam.

Menggolongakan Jamaah Ahmadiyah Indonesia sebagai golongan non mainstream bersanding dengan FPI. Padahal tragedi berdarah di Cikeusik menurut golongan Ahmady pelakunya adalah FPI. Pengarang lagi-lagi tak total dalam menjalankan misi penelitiannya. Mengapa takut akan FPI jika memang itu benar? Apakah ragu akan janji Allah untuk meindungi setiap hambanya saat berjalan atau berjuang di jalan kebenaran?

Menampilkan tanggapan Ali atas prinsip yang dipunyai Khawarij soal ‘tiada hukum selain Allah’. Dan Ali menanggapi dengan ‘untaian kata yang benar, namun dimaksudkan untuk kepentingan yang batil dan tendensius’ untuk menjawab asal mula golongan Radikalisme. Ini merupakan udara segar bagi saya. karena memang kebanyakan kaum FPI dan golongan radikal lainnya mengatasnamakan penegakan hukum atas nama Allah. Bajingan betul memang.

Dalam tabel kekerasan yang dilakukan oleh FPI dan kelompok-kelompok keagamaan lainnya sejak tahun 2001 hingga 2011 ada hal aneh. Dalam tabel itu ada tiga kolom. Nomor, waktu, dan bentuk kekerasan. Namun dicantumkan pula tindakan tokoh-tokoh NU yang mencoba meredam dan menghentikan FPI. Seperti Gus Dur yang meminta FPI untuk menghentikan aksi penutupan paksa gereja di Bandung,  Hasyim Muzadi sebagai ketua PBNU yang mengecam FPI. Dari tindakan yang dilakukan oleh dua tokoh itu, mana yang menurut pengarang bentuk kekerasan? Bukankah ini soal langkah tokoh dalam menyikapi kekerasan yang dilakukan FPI? Itu hemat pengetik.

Juga tak ada keterangan siapa yang menyerang Ahmady di Cikeusik yang sebenarnya dilakukan oleh FPI, dan empat kasus lainnya yang tercantum dalam tabel dan tidak ada pelaku yang jelas. Begitupun dengan sumber tabel kekerasan ini. Tak ada sumber yang dapat dirujuk. Sungguh rasa kecewa dan saya menyayangkan jika buku hasil penelitian ini tak bisa diakses secara luas karena sumbernya absurd. Padahal ini dapat menjadi sumbangsih bagi keberagaman di Indonesia karena masih banyaknya konflik yang berbau SARA.

Kekerasan yang terjadi dianggap sebagai akibat dari modernitas. Untuk itu mencomot Peter L. Berger sebagai respon modernitas dengan dua strategi: revolusi agama dan subkultur agama. Maksud strategi pertama itu para agamawan menawarkan model agama yang modern atau yang kedua dengan mencegah pengaruh luar agar tak masuk dalam agama. Sebenarnya Habermas memberikan solusi yang lebih bijak dengan deliberatifnya. Tak perlu menjadi sekuler murni atau komunitarian.

1. Lunturnya nasionalisme 2. Kendurnya rasa persaudaraan sesama bangsa 3. Pemahaman agama yang tidak kaffah yang oleh pengarang diberi catatan kaki soal pengertian kaffah. Menurutnya kaffah bagi sebagian kelompok diartikan sesuai dengan pesan-pesan dalam al-Quran dan al-Hadits. Namun pada perkembagannya, sebagian orang mengartikan kaffah sebagai pemaham si pemaham itu sendiri. Implikasi dari pemahaman yang tidak kaffah munculnya praktek keberagamaan yang eksklusif dan tidak humanis dan orang lain dianggap sebagai orang yang tak pantas hidup di negeri ini.

Muhamadiyah dikenal sebagai ‘modernis’ dan NU ‘tradisional’ dengan dapat pengaruh luas di daerah pedesaan. Ini sedikit menjadi sekat antar pemeluk agama. Karena desa yang menjadi penelitian pengarang adalah Desa Taron, Kediri. Yang ditekankan dari keberagaman desa Taron itu tentang kebersaudaraan, gotong royong yang menjadi ciri pedesaan. Ini menjadi tendensi ke NU.

Muhamadiyah sebagai generasi pengusung Islam moderat melalui lembaga sosial-dakwah dan pesantren untuk NU. Sama halnya dengan pedesaan. Pesantren dalam bahasan buku ini menjadi judul, lain halnya dengan lembaga sosial dakwah milik Muhamadiyah. Terlebih pembahasan dalam buku ini menurut hemat pengetik 75% tendensi ke Islam, NU. Selebihnya tak ada bahasan fokus. Hanya sekadar permukaan tanpa ada penjelasan lebih dibanding NU.

Saya percaya pola pikir orang dipengaruhi warga sekitar tempat ia tumbuh. Mungkin saja pengarang adalah Muslim, Nu, PMII. Sehingga dalam tulisan nya muncul beberapa diksi yang menjadi titik tekan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Apalagi banyak ungkapan yang berulang-ulang. Juga ada sejarah masuknya Islam ke Indonesia dengan beberapa teori: dagang, jualan cilok (mungkin). Mana sisi ‘Wajah Keberagamaan Nusantara’ dengan ada sampul umat di Bali? Namanya sampul. Ya Cuma topeng kan tak masalah.


*pengetik menerima balasan. Karena ini kali pertama pengetik memberikan komen di buku dosen IAIN Jember. Dan jangan salahkan pengetik nantinya saat menggarap tugas akhir hasilnya jelek. Karena pengetik besar di kampus ini. Dengan model penelitian yang cenderung sama: kurang mutu. Pernah pengetik dianggap oleh dekan sedang menggarap tugas akhir. Dia semangat memberikan tuntunan menggarap skripsi. Intinya melakukan penelitian apapun harus dikembalikan pada agama: Islam. Tak masalah jika dikembalikan pada agama. Asal bukan agama Islam mayoritas di bangsa ini yang cenderung kaku dan anti dialog. Dialog bukan untuk pengetahuan. Tapi lempar hujatan. Seperti yang pernah terselenggara di aula IAIN Jember dengan warga Syiah dan Ahlul Bait Indonesia. klaim sesat yang paling santer dan menggema dalam ruangan. Bajingan bukan. Sudahlah. Saya tak ingin terlarut dalam suasana Ramadhan yang membuat saya menulis ini.

Sabtu, 20 Juni 2015

Menulis Masa Remaja


Perubahan pola pikir terjadi pada setiap manusia sesuai kebutuhannya. Namun setelah diamati memang benar kata kebanyakan orang. “Kita akan menertawakan masa-masa sebelumnya”. Jika sekarang kita dewasa tentunya akan sedikit geli dengan masa remaja kita. Bahkan masa saat kita proses dewasa. Atau kalian yang masih remaja akan menertawakan pola dan tingkah saat kalian anak-anak maupun balita (kalau ingat). Bahkan jika kalian sudah tua pastinya akan menertawakan jenjang pertumbuhan pada setiap tahapnya.
Melihat catatan saya di medio 2012 muncul penyesalan sekaligus cekikikan saat membacanya. Karena isinya banyak penghujatan terhadap tingkah laku orang lain. Merasa sok keren dengan membaca buku soal cultural studies sampai membuat klaim bobrok pada teman sendiri. Bukankah seharusnya menjadi tameng untuk kita sendiri? Apa perlu klaim itu disebarluaskan? Ini bukan lagi teori, tapi klaim!
Pola pikir tersusun atas pengalaman dan interaksi lingkungan, kata teman (entah benar atau salah saya tak tahu). 2012 sudah menjadi mahasiswa. Dan saat itu pula saya benci sekali dengan orang gerakan (sampai sekarang juga sih, meski tak semua). Hingga saat berkomunikasi dengan teman saya yang kebetulan ikut organ gerakan di kampusnya juga saya benci. Entah syaitan apa yang masuk waktu itu. apakah salah dengan organ gerakan yang dia ikuti? Apakah sama dengan organ gerakan yang saya benci di kampus ini? Tentunya tidak kan?
Membaca catatan itu serasa saya mantan anggota FPI. Mengeluarkan klaim ngawur tanpa ada data lengkap, komunikasi, reaksioner dan tindakan-tindakan yang membahayakan perasaan dan keselamatan orang lain saya lakukan. Berbeda dengan sekarang yang menentang model-model FPI. Saat bersamaan saya merasakan sedih telah melukai hati teman sendiri. Betapa jahat dan pantas nya saya ini masuk neraka. Tak pantas kan kalau saya masuk surga seperti orang-orang ngawur pada kebanyakan? “Benar, tak pantas,” jawab tuhan melalui orang-orang yang mengaku penyampai perintah dan larangannya.
Semoga disaat saya benar-benar dewasa kelak dapat membuat tulisan lanjutan untuk pertumbuhan menuju dewasa pada sekarang ini, Amin.