Senin, 21 Desember 2015

Em-U-I (Bukan) Anak Pemerintah

Diskusi tulisan writing challenge (WC) yang bertemakan ‘hantu’ dengan waktu penggarapan selama 9-13 Desember lalu. Membuat saya dan kawan-kawan semangat kembali dan tidak minder terhadap tulisan masing-masing. Sekaligus mempertegas bahwa tidak perlu meniru gaya orang lain. Seperti, mojok, pindai, meski tidak bisa dipungkiri kita telah terbentuk oleh orang-orang sekitar. Guru, orang tua, buku bacaan, teman diskusi dalam hal wacana, asmara, bahkan sampai taraf warung kopi mana yang akan menjadi tujuan.

Saya sepakat dengan diskusi pada pagi itu, 20 Desember 2015. Tak ada alasan yang jelas perihal berhentinya diskusi pada malam sampai berganti dini hari itu. “Bagaimana air minumnya?” tanya Sadam. Saya dan Wibi, anggota muda LPM Manifest, tidak mendapat air minum kembali setelah mencari kesana kemari. Karena haus melanda tenggorokan kami, diskusi ditunda setelah palu sidang (dari botol air mineral) diketok sampai esok hari demi menjaga kualitas suara, mencegah radang tenggorokan karena asap rokok masih terus mengepul dari mulut peserta diskusi.

Em-U-I itu apa? Samuraikah? Penjaga malam? Atau penjual cilok? Tidak ada yang tahu persis. Laiknya P.E.K.K.A dalam permainan Clash of Clans yang dikelola supercell. Meski sulit untuk mengidentifikasi, ia mempunyai hari lahir. Em-U-I lahir pada Juli 1975 saat pemerintah otoritarian Suharto berkuasa. Tentunya, hal ini memengaruhi posisi Em-U-I sebagai lembaga negara yang fokus mengurusi umat muslim dengan sikap politik nya dengan pemerintahan Orba. Saya tidak ingin membuat frame negatif seperti yang dimiliki pemerintahan Orba sebagaimana fakta-fakta yang dikumpulkan oleh berbagai lembaga kemanusiaan dan HAM. Karena menjajarkan Orba dengan Em-U-I secara politik dalam sebuah tulisan itu adalah bentuk tindakan kafir. Tak ada pledoi yang apik saat menepis tuduhan sesat dari Em-U-I. Lihatlah orang-orang yang ada dibelakangnya, para pembesar dari tiap lapis ormas Islam terlibat aktif dalam perjalanan  lembaga ini.

Van Bruinessen dalam Jajat Burhanudin di buku yang berjudul ‘Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elite Politik Muslim dalam Sejarah Indonesia’ memberikan ulasan bahwa Em-U-I tidak menjadi fasilitas antara kepentingan pemerintah dan masyarakat muslim. Lembaga ini menjadi lebih condong menjadi kaki tangan pemerintah Orba dalam tindakan politisnya. Seperti, fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Em-U-I sebatas sebagai justifikasi Islam bagi kebijakan-kebijakan pemerintah.

Hal menarik saya temukan dalam setiap fatwa yang dikeluarkan oleh Em-U-I, perihal diksi yang mereka gunakan serta analisisnya. Kecurigaan Jajat memang berdasar. Analisis yang dilakukan oleh Em-U-I sama sekali tidak jauh beda dengan apa yang telah dilakukan pemerintah. Pada akhir 2014 Em-U-I lagi-lagi latah mengeluarkan fatwa tentang Bandar, Pengedar, dan Penyalahguna Narkoba. Pemerintah sepakat untuk menghukum mati para pengedar dan serpihan terkecil dari gembong narkoba. Lantas disusul oleh fatwa atas keputusan pemerintah dan semakin menguatkan bahwa tindakan yang diambil oleh pemerintah memang benar adanya secara mutlak. Terlebih ada dalil-dalil yang menjadi landasan para Em-U-I soal khomer dan lain-lain.

Hemat saya, tindakan yang dilakukan oleh Em-U-I tidak ada daya tawar baru dalam menyelesaikan pengedaran narkoba di negeri ini. Tapi menguatkan pendapat pemerintah dengan dalil sebagai justifikasi atas keputusan yang diambil oleh pemerintah. “Em-U-I saja sudah melegalakn dibunuhnya pengedar narkoba dengan kadar tertentu (yang sebenarnya ambigu dan sangat absurd, sama halnya dengan pasal karet). Terus aku kudu piye?

Contoh lain fatwa tentang pertambangan yang ramah lingkungan. “Mana ada pertambangan yang ramah lingkungan?” ungkap aktivis anti tambang dalam suatu diskusi. Lagi-lagi Em-U-I mengeluarkan fatwa penegasan undang-undang tentang pertambangan yang dibumbui dengan dalil-dalil. Fatwa nya pun kembali tidak menawarkan solusi baru selain semakin menguatkan undang-undang pertambangan yang dalam pelaksanaan nya sangat timpang. Mana taring Em-U-I saat ada pertambangan? Saat rakyat kecil di hakimi oleh aparat kepolisian di Kendeng? Apakah mungkin hal itu kurang seksi hingga harus menyibukkan diri dengan membuat fatwa baru berbentuk buku dengan judul ‘Mengenal & Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia’? ketimbang harus berlaku serius terhadap fatwa yang sudah dikeluarkan soal tambang?

Diksi dan bahasa yang digunakan oleh Em-U-I sangat provokatif. Lapisan masyarakat (awam) mana yang tidak akan saling bunuh saat mengamini fatwa Em-U-I adalah suara illah? Diksi yang digunakan dalam fatwa yang berbentuk buku sangat sarkas. Seperti fatwa sebelum-sebelumnya. Perihal boleh membunuh, menyiksa, dan tindakan tidak manusiawi lain nya tertera dalam setiap fatwa yang lahir.

Saya rasa analisis dan penulisan dalam buku ini sangat dini dan dangkal. Karena penyusun fatwa ini tidak konsisten untuk menyebut Syi’ah yang salah adalah Rafidhi, penganut imamah, tidak mengimani salah satu atau dua dari para empat sahabar nabi yakni Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Padahal penjelasan awal menerangkan bahwa syiah yang dilarang pada kelompok atau golongan ketiga. Namun porsi untuk meyebut syiah tanpa ada embel-embel lainnya begitu banyak. Sehingga terkesan memukul rata kelompok syiah.

Beberapa diksi ngawur dan dangkal dalam analisis yang digunakan Em-U-I:

1.       Bahaya laten

2.       Ancaman bagi NKRI

3.       Syiah pada era sekarang mempunyai misi misionaris (istilah yang sangat dibenci kalangan muslim dan dianggap sesat)

4.       Intelektual yang rendah

5.       Mui lembaga paling berkompeten dalam menjawab dan memecahkan setiap masalah sosial keagamaan yang timbul di masyarakat

6.       Mui sangat peka terhadap penyimpangan agama

7.       Mui berwenang menetapkan fatwa masalah akidah yang menyangkut kebenaran dan kemurnian keimanan umat islam di indonesia (dengan cetak tebal)

8.       Perbedaan yang dapat ditoleransi itu majal al ikhtilaf adalah suatu wilayah pemikiran yang masih berada dalam koridor ‘ma ana ‘alaihi wa ashabiy’, yaitu paham keagamaan Ahlus-sunnah wal jama’ah dalam pengertian luas (dengan cetak tebal)

9.       Mui menghimbau kepada umat islam indonesia yang berfaham ahlussunnah wal jama’ah agar meningktkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya paham yang didasarkan atas ajaran syiah (dengan cetak tebal)

10.   Mui telah menegaskan sikap mayoritas umat islam indonesia terhadap syiah dalam konsideran fatwa mui,Mayoritas umat islam indonesia adalah penganut  paham sunni (ahlussunah wal jamaah) yang tidak mengakui dan menolak paham syiah (dengan cetak tebal)

11.   Menyebutkan bahwa syiah imamah melakukan 10 kriteria aliran sesat yang sudah ditetapkan oleh mui. Anehnya, yang disebutkan hanya 3 poin meskipun dalam pengantarnya menyebut melakukan 10 hal tersebut (dengan cetak tebal)

Saya kira Em-U-I paham betul akan diksi yang mereka gunaka dalam fatwa. Memang benar tujuan adanya lembaga ini untuk menyatukan umat muslim. Namun nyatanya sangat berbeda. Lewat fatwa nya lah umat muslim saling serang, saling bunuh, saling pecah belah. Anehnya, dalam buku fatwa ini Em-U-I membuat sub pembahasan dengan judul ‘Potensi Konflik Syi’ah dan Sunni di Indonesia ‘. Apa tujuan nya? Terlebih isinya hanya pemaparan data tentang hari dan bulan pecahnya konflik tanpa ada penjabaran jelas terkait awal atau sebab pecah konflik. Mereka hanya menuliskan pembakaran oleh kelompok anti Syiah. Secara tak sadar hal ini akan membentuk pola pikir masyarakat bahwa Syiah adalah sumber masalah dan jangan sampai berkembang. Apakah ini yang dinamakan penelitian mendalam seperti yang sudah tertulis dalam enam bulan dengan model pertemuan yang intensif? Saya lebih sepakat menyebut ini sebagai kumpulan atau ringkasan dari pemberitaan media mainstream saja. Tidak seperti yang telah dilakukan oleh lembaga kemanusiaan dan HAM yang merilis kronologi yang begitu panjang lengkap dengan detil.

O iya, sebenarnya saya tidak mau tahu tentang berapa anggaran yang sudah dihabiskan dalam pembuatan fatwa berbentuk buku mini ini. Jumlah halaman nya pun hanya sekitar 109 halaman isi dengan ukuran 11x17 cm. Buku apa ini? Ukuran nya mirip komik anak-anak. Bahkan komik naruto pun masih terlalu tebal untuk satu sesi. Lalu, fakta mana lagi yang kau dustakan dengan data yang sangat prematur dan sangat dangkal.

Menarik kemudian mempertanyakan apakah Em-U-I telah melakukan penjiladan terhadap ludah yang sudah dibuang nya? Karena Em-U-I pada suatu waktu telah melaknat perbuatan memecah belah umat saat mengeluarkan fatwa tentang pengedar, bandar dan penyalah narkoba. Tapi saat mengeluarkan fatwa tentang Syiah itu sesat malah sebaliknya. Secara tersirat Em-U-I telah membuat perpecahan antar umat muslim. Saya bukan orang Syiah. Saya tidak sepakat dengan Syiah ketika dia mengkafirkan golongan di luarnya. Ironisnya, Em-U-I telah melakukan pengkafiran terhadap golongan Syiah.

Saya mempunyai pengalaman tentang dialog terbuka antara Syiah dan Sunni di kampus. Dialog yang terbangun tidak mencerminkan Ulama atau tokoh, minimal sebagai orang terdidik atau intelektual. Argumen yang dilempar oleh pembicara dari Sunni sangat provokatif dan menjatuhkan pembicara dari Syiah. Lantas saya apakah setuju dan sepaham dengan Syiah. O tidak. Secara garis lahir saya orang NU. Namun tidak menjadi kan saya sebagai orang yang menutup diri akan kebaruan meski ormas yang saya ikuti mendapat julukan tradisional, konservatif dan ndeso. Hahahaha

Catatan, untuk penggarapan fatwa ini begitu lama. Dibandingkan dengan Bahtsul Masail (sebuah metode diskusi dalam mencari solusi di kalangan NU) di desa saya, waktu enam bulan dengan buku mini nan tipis sangat mubadzir. Teruntuk kalian para orang yang bercokol di belakangnya, mohon lebih baik dan berpikir dan mencari ridho Illah sebagai tujuan kalian. Untuk idola saya, Ma’ruf Amin, ikutilah kata hati, bukan kata partai. Pe-Ka-S lebih bahaya daripada lintah lo bung. Tetap semangat dan lopjuh :-*


Writing Challenge IV


Jumat, 11 Desember 2015

Konsep Khilafah untuk Film Horor di Indonesia

Suzana adalah aktor perempuan dalam kebanyakan film horor era antah berantah. Karena sedari kecil sudah sering kali menonton film horor yang sedang dibintangi Suzana. Bersama tokoh Bokir, akting Suzana menjadi tambah maknyuz. Polesan mistis dengan humor yang diperankan mereka berdua begitu apik. Proporsional, tidak seperti film horor era (yang katanya) posmodern. Sebagai muslim dan khalifah yang baik, kaum posmo adalah destruktif dari akar hingga ujung. Mereka tidak ada baik-baiknya. Golongan bajingan, ngehek semi otonom dan semi borjouis otodidak.
Saya menonton Nikita Mirzani, Julia Perez, Dewi Persik (sumber rujukan didapat dari hasil diskusi tentang aurat dengan Nuel, seorang aktivis kawakan dari zaman megalitikum) yang menampilkan belahan dada. Brengsek dan bajingan sekali mereka, para pembuat film itu.
"Shot dada"
"Shot belahan dada"
"Shot BH yang menerawang"
"Shot paha"
Lelaki mana yang tak ngiler kunamnya? Minimal bangun dan pegang atau remas tuh kunam saat nonton film yang dibintangi para artis bertetek besar itu.
Saya bukan golongan pembela perempuan yang menghalalkan pembesaran tetek secara massa, massif, terorganisir atau memacu syahwat dan memancing birahi untuk memuncak. Saya adalah kader ha-te-iy yang mengusung negara Indonesia menjadi khilafah. Saya berani mengaku sebagai pengusung ke-khilafahan secara tegas dan jelas. Tidak seperti beb Rijik yang terkesan hanya jadi pekerja lapang dari aksi-aksi yang dilakukan nya. Saya (sudah lama) curiga dibalik beb Rijik ada gembong dan antek-antek wah-abi yang menjadi otak aksi anarki nya. Beruntung afiliasinya tidak merambah pada senjata api. "Kena sotgan kepalaku ambyar tur mumur," kata teman yang melihat adegan baku tembak di Counter Strike. Bukankah Em-U-Iy (lembaga negara yang memberikan label halal pada barang, manusia) tidak mengeluarkan fatwa halal atas usaha mengofsetkan tetek? Em-U-Iy melarang goyang pedangdut Inul Daratista lengkap hadits yang menelurkan fatwa pelarangan. Tapi goyangan Itik sampai goyangan drible ala Duo Serigala tak dapat gubrisan serius dari Em-U-Iy. Mungkin mereka menikmati goyangan itu. Pantulan demi pantulan tetek berukuran super jumbo menenggelamkan kesadaran dan moral mereka. Saya sebagai kader khilafah banyak prihatin atas kemerosotan moral dan pikir mereka. Meski begitu, saya bukan kader peminis nan cumlaude itu. Tak ingin membela perempuan dengan membabi buta. Jujur, meski sebagai kader khilafah saya butuh belaian wanita dan link situs porno. Sungguh.
Erotis, humor, tak dipungkiri menjadi daya jual suatu produk audio-visual. Si mbah, paman saat menonton Suzana pun ada hasrat yang muncul. Namun Suzana tak sampai mengeksploitasi tubuhnya secara berlebihan sampai membuat penonton nya meremas kunam maupun berlendir dengan jumlah besar karena masturbasi. Bajingan betul moral bangsa ini (eh~~ para pemodal ding).
Hantu adalah sebentuk produk mistisisme yang ditanamkan dalam kesadaran manusia sampai pada titik yang membuat manusia tak kritis, atau sekadar menanyakan sebab akan hadirnya mistis itu (Freire pernah bilang begitu, kalau tak salah). Saya mana berani duduk diam di pemakaman umum di tengah malam. Sebagai kader khilafah saya punya rukun iman. Salah satunya iman kepada kitab Allah. Isinya tak sedikit mengisahkan tentang perkara mistis. Malaikat saja mistis. Saya harus total dong dengan rukun iman. Caranya dengan memegang teguh soal mistis itu ada dan nyata. Seperti saat kapan hari berjalan kaki menuju Rembangan, lokasi diklat salah satu organisasi mahasiswa berada. 15 meter berjalan di gelapnya jalanan dengan sedikit pantulan lampu rumah yang berada dipinggir jalan itu serem. Remang-remang bung. Merinding tak terelakkan. Bajingan betul itu. Seperti yang dialami Rosy dan Nurul yang mendengar kecapi berbunyi tanpa ada yang memainkan nya di kontrakan. Sadam mendengar tangisan anak kecil. Atau saya yang mendengar konga berbunyi sendiri. Apakah itu semua kebetulan? Siapa pemain alat musik atau suara anak kecil itu? Sungguh, rukun iman adalah kunci dan panutan hidup bermistis.
Ada beberapa catatan saya atas tulisan ini:
1. Sebagai kader khilafah, saya mengecam keras tindakan mengumbar aurat yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan uang. Jika ingin menjajakan diri lakukanlah layaknya Nikita Mirzani. Konsepnya terpusat, tidak keleleran agar penyakit becek, haipe, sipilis terintegrasi dengan tepat dan fokus.
2. Sebagai kader khilafah, saya mengecam Em-U-Iy yang makin kesini hanya memanfaatkan kewenangan nya akan pemberian label halal & haram sebagai mata pencaharian. Bukan sebagai tindakan ibadah dan meraih ridlo sang illah.
3. Sebagai kader khilafah, saya mengecam tindakan barbar oleh seseorang, kelompok maupun golongan yang menyerang masyarakat lain atas nama agama, suku, ras dan antar golongan.
4. Sebagai kader khilafah, saya mengecam tindakan yang merongrong keutuhan berbangsa dan bernegara. Dalam bentuk apapun itu.
5. Sebagai kader khilafah, saya mengutuk dan mengecam keras tindakan akhi Taufik, mahasiswa salah satu universitas negeri di Yogyakarta. Karena telah meresahkan warga lain yang sedang beraktifitas dengan mengirimkan gambar-gambar hantu (dengan perspektif) bentukan Orba. Apapun alasanya. Jika ada keperluan langsung bicara tanpa harus ada tudung aling-aling. Agar tercipta bangsa yang bermartabat dengan akhlak yang mulia. Juga terbentuk keterbukaan dan kejujuran ditengah maraknya tradisi saling bohong.

Mari kita bentuk negara Indonesia ini dengan konsep khilafah. Yaitu menjunjung tinggi tali ukhuwah tanpa ada unsur SARA.

Hidup khilafah!

*tulisan disusun untuk memenuhi tugas Writing Challenge III

Jumat, 27 November 2015

Prahara Dangdut nan Cenat Cenut

Apakah beritanya menginformasikan sesuatu yang penting, benar-benar baru, yang memberi saya pemahaman baru, ataukah hanya memberi detil yang menguatkan apa yang telah saya pahami?
~pertanyaan untuk menguji berita yang diperlukan dalam buku Blur, karya Kovach dan Rosentiel

Duduk di depan ruang kelas I dalam gedung Matematika, Fakultas MIPA Universitas Jember sambil menunggu pemateri pelatihan jurnalistik tingkat dasar (PJTD) yang diselenggarakan oleh LPMM Alpha. Rambutnya pendek, menggunakan kaos oblong berwarna merah sambil menyeruput kopi pelan-pelan. Dian Teguh Wahyu Hidayat, alumni pers mahasiswa Manifest, Fakultas Teknik Pertanian, Universitas Jember yang akan menjadi pemateri  setelah Heru Putranto.
"Apa tanggapan mas tentang dangdut?" tanya Saya kepada Cetar, panggilan akrab Dian Teguh Wahyu Hidayat sambil menunggu pemateri pertama selesai.
Cetar menjelaskan, dangdut itu menjadi alat kampanye, alat untuk mengumpulkan masyarakat untuk tujuan tertentu oleh penguasa. Juga menjadi komoditas oleh pemodal dalam media yang belakangan ini tak mencerdaskan bangsa dan negara. "Seperti tayangan acara academy oleh salah satu stasiun televisi," kata Cetar.
Konser dangdut setelah pemilihan kepala desa di Desa Lojejer, Kecamatan Wuluhan, Kabupaten Jember yang bertempat di lapangan sepak bola dipadati masyarakat. Saat berjalan harus berdesakan dengan penonton lain. Masyarakat Lojejer menjadikan konser dangdut sebagai momen untuk meluapkan hasrat akan hiburan. Tak heran lapak pedagang kaki lima berdiri sepanjang tiap pinggiran lapangan. Bahkan ada pedagang yang nekad masuk ke tengah lapangan.
"Wong-wong tumplek blek nang lapangan (orang-orang tumpah ruah di lapangan," kisah kakek Saya pada konser dangdut itu.
Dangdut menjadi konsumsi -masyarakat kalangan menengah kebawah- yang mengenyangkan tapi tak bergizi. Saya mencoba melohiskan ungkapan "kerja berat sambil mendengarkan musik dangdut itu jadi ringan". Mana mungkin para petani, pekerja bangunan (yang medan pekerjaan mereka kontak langsung dengan sinar matahari) mendengarkan lagu Silampukau, Payung Teduh, Efek Rumah Kaca, Seringai, Burgerkill. Musik yang dirasa dan mengerti lelehan setiap keringat yang keluar itu ya musik dangdut, koplo. Bukan musik pop, punk, rock, metal. Apalagi yg liriknya revolusioner. "Ngangkat watu iku abot. Lak lirike abot, ndasku ra sanggup (mengangkat batu itu berat. Jika liriknya berat, kepalaku tidak sanggup)" kata teman saya yang bekerja di proyek bangunan. Paling mentok lagu pop itu ya lagunya sahabat Noah, pasukan Armada. Itupun bagi pekerja yang di pabrik, yang tak kontak secara langsung dengan sinar matahari.
Pekerja bangunan, petani, buruh pabrik tidak salah. Siapapun manusia di bumi ini butuh hiburan. Namun harus ada filter agar masyarakat kita menjadi insan yang cerdas dan bermartabat sebagaimana amanat Undang-Undang Dasa (UUD) 1945. Naasnya, pemodal, penguasa, konglomerat menjadikan hal itu sebagai celah untuk mengeruk untung sebesar-besarnya. Melalui Televisi, berbagai acara dangdut dibuat secara massal, besar nan masif. Mereka tak berpikir untuk mencerdaskan bangsa maupun mengangkat martabat bangsa. Tapi menekan pemahaman kepada masyarakat bahwa mendengarkan dangdut hidup jadi ringan meski tak makan satu minggu, tidur di kolong jembatan, atau tak bisa mendapat pekerjaan layak. Acara dangdut di televisi menjadi sebentuk khotbah jumat yang dapat menjadikan pendengarnya tebal iman. Bedanya, khotbah secara tegas mengajak untuk berbuat 'baik'. Bukan edukasi tapi meracuni dengan pemahaman yang tak sepenuhnya benar akan mitos musik dangdut sebagai peringan beban hidup. Bajingan betul bukan?

"Saringlah dulu apa yang datangnya dari barat," petikan lirik lagu Modern milik grup dangdut yang digawangi oleh Rhoma Irama pada era 80-an. Namun Saya tak ingin menuliskan tentang dangdut sebagai salah satu alat propaganda pemerintah Orba. Karena hal itu sedang digarap oleh aktivis kawakan macam kak Ulil. Semoga skrip-shit nya lekas rampung, wisudah, dan menikah dengan Nyai Nai.
Mari kita memulai memilah hal apapun yang penting untuk kita. Bukan menyerap segala hal ditengah banjirnya bangkai di era kekinian.

*tulisan ini disusun untuk memenuhi Writing Challenge yang diikuti oleh Saya, Sadam, Kholid, Fais (tompel), Rosy dan Nurul

Kamis, 26 November 2015

Oposisi Biner

"Maaf, air galon nya tidak ada," kata penjaga toko di sebelah Masjid Tabanan, Kediri. Namun ucapan itu muncul setelah saya ke tempat galon dan kosong. Lalu bertanya kepada penjaga toko yang lain dan melempar saya ke penjaga awal.
Saya merasa sedih dengan kondisi kelompok minor di tengah-tengah kelompok mayor. Mungkin karena saya berjenggot dianggap sebagai umat Muslim. Sedangkan toko yang saya hampiri adalah milik umat Hindhu. Saya rasa ini dampak dari pemberitaan media atas suatu konflik horizontal antar warga disuatu daerah. Para warga berkonflik karena latarbelakang agama minor dan mayor. Umat Hindhu dan Muslim, misalnya. Mereka -kelompok minor- mendapat perlakuan diskriminatif dari para kelompok mayor dengan alasan beda, sesat, ahli neraka, pantas dimusnahkan, tidak boleh hidup bersandingan. Akibatnya membentuk mental saling bersitegang dan saling tindas saat menjadi kelompok mayor. Hidup itu tak melulu biner: malam dan siang, baik dan buruk. Menurut Eriyanto dalam analisis naratif pola komunikasi itu ada oposisi segi empat. Jadi tak melulu oposisi biner.

Bukankah banyak nya pulau dan budaya menjadi tanda akan adanya Tuhan? Lalu, mengapa mengingkari kebesaran Tuhan jika hal itu sebagai refleksi diri dan tujuan atas kehidupan?

6/11/2015

Rabu, 25 November 2015

Perjalanan Najis part II

"PPMI itu OTU, organisasi tanpa uang"

Ungkapan itu muncul disela Saya, Sadam dan Rosy ngobrol sambil berjalan menuju sekret LPM Aktulita, salah satu lembaga pers mahasiswa di Unversitas Muhammadiyah (Unmuh). Sebabnya kami telah melewati mabes HA-EM-IY cabang Unmuh (mohon dibenarkan kalau salah). Yang beberapa hari ini, organisasi ekstra kampus itu menjadi hits karena ramai dana 3M, tidak membayar makan di salah satu warung, bubar barisan barbar setelah mendapat bungkusan nasi dari keamanan setempat, dan rusak fasilitas umum lantaran kecewa dengan panitia Kongres mereka.

Obrolan mengenai nasib aktivis belakangan ini mengalir (sampai jauh) begitu saja. Wajar, Sadam & Rosy adalah aktivis kawakan yang berani bela negara dengan memperjuangkan nasib rakyat proletar, tapi tak makar. Pilih makan mi instan setiap hari sampai muntah karena sudah bosan dan blenek daripada minta uang ke anggota dewan. "Mengemis uang dan jabatan pada dewan adalah tindakan barbar," kata aktivis kawakan lain nya. Cirinya bertumpil sama seperti Rosy (Saya sudah ogah catut dia. Dikira ngikuti tren catut mencatut).
Begitu pelik dan membosankan jika kami berjalan harus ngobrolin nasib aktivis ngehek, cumlaude dan késrék. Jalan kaki dari Fakultas Sastra Unej ke Unmuh itu sudah berat dan cavik bang. Plis, jangan bahas begituan lagi. Adek cavik bang!
"Makan sayur tanpa garam kurang enak kurang segar," petikan lirik Inul Daratista. Kami bergeser pembahasan.
"Mangan nang kene ta? (Makan disini ta)" ajak Sadam saat kami melintas di depan penjual mi iblis yg (katanya) zuper pedas.
"Hemmbbbttt. Harga nya mahal, kipit-teles, hedon, menyerobot konsumen pedagang mi ayam pedez super jinggo. Pokok saya ndak mau makan disitu karena menindas kaum miskin. Titik," batin saya sambil merogoh kocek di saku. Sepanjang jalan kami memberi komentar pada apapun yang tampak di depan mata. Sampai akhirnya tiba di sekret Aktualita dengan selamat dan bahagia. Hujan turun setelah mendung dan menjadi background kami bertiga jalan. Tuhan memang adil. Melindungi kami selama perjalanan. Terima kasih Tuhan. Jika ada kesempatan lain ada surprise untuk Mu. Terima kasih juga sudah memberi Saya dan Rosy kesempatan makan yang sedari pagi belum makan. Lop yuh Tuhan. Mumumumumumu

*disusun untuk memenuhi tugas menulis perjalanan najis pada 25 Nopember 2015 pukul 15.49 WIB.
**peserta perjalanan najis dan harus menulis lain nya adalah Sadam & Rosy.
***tulisan singkat karena hape yang (dianggap) tidak kompatibel menurut Sadam & Rosy :3

Minggu, 18 Oktober 2015

Hidup itu Kejam Bung!



Memutuskan untuk tidak lagi bersinggungan dengan orang tua tentang kebutuhan sehari-hari di sekitar kampus sedikit terasa berat. Terlebih saya tak mempunyai pekerjaan. “Urip mung mangan, ngopi, moco buku, coli, nelek, turu,” kata seorang teman.
Saya -sok- melepaskan diri dari kewajiban orang tua dengan harapan –sok- mandiri. Mereka lebih fokus ke adik-adik saya saja karena jika ditambah saya akan terasa lebih berat. Ya begitulah kalau jadi anak pertama. Segala beban sepertinya harus saya pikul untuk meringankan beban orang tua.
Ternyata berat menjalani kehidupan seperti ini. Tak ada pemasukan uang, pengeluaran sudah pasti dan –sok- melepaskan diri dari orang tua. Aih, bodoh sekali saya ini. Semoga kedepannya betul-betul mandiri, tak menjadi beban bagi orang lain. 

*catatan disela tantangan menulis dari gus Dani

Kamis, 10 September 2015

Malam itu



Rabu, 9 September 2015 menjadi hari yang cukup begitu panjang. Banyak tragedi yang bejibun kali ini. Tentunya akan jadi noktah dalam perjalanan hidup kedepan nya. Soal prinsip hidup ―atau orientasi hidup menurut Raf, salah satu teman saya, keluarga, pendidikan, pekerjaan bahkan asmara.
Saya meminjam sepeda Yuda untuk pulang ke rumah kali ini. seperti biasa, jenuh dengan suasana kampus dan ingin melihat suasana pedesaan. Tempat tinggal saya di Kabupaten Jember bagian ujung selatan. Butuh 60 menit perjalanan darat dari rumah sampai kantor pemkab Jember.
Tiba di rumah tak ada yang istimewa. Orang tua sudah pulas tidur begitupun dengan adik keempat saya. Sempat kaget karena sepeda motor sedang tak ada ditempatnya. Tak begitu kaget saat adik ketiga saya tak ada di rumah. “Mungkin si Ulul lagi keluar,” pikir saya.
Membawa kantong plastik berisi tahu bakso dengan bumbu cilok, sedikit kecap dan caos ditambahi cabai. Ya begitulah cara mengkonsumsi tahu bakso bagi anak-anak disekitar rumah saya. Tak ada yang istimewa. “Kenapa pulang mas?” tanya Ulul. Saya hanya ingin pulang saja, begitulah kiranya jawaban untuknya.
Dia mengendarai motor berboncengan dengan teman nya, Tohir. Mereka menjadi teman akrab untuk seusianya sejak sebelum sekolah, duduk dibangku sekolah dasar (SD) sampai SMP. Menyenangkan bukan mempunyai teman sedari kecil sampai sekarang di usianya yang sudah duduk dibangku SMP. Tak begitu banyak kami mengobrol. Dia asyik dengan bungkus makanan nya sambil menonton TV. Saya? Lebih baik main gem untuk kondisi pikiran yang lagi runyam. :)
Televisi sudah berubah. Dia menonton Ulul dan malam sudah semakin larut. Saya memutuskan untuk mengisi perut terlebih dulu sebelum tidur. Pada saat yang sama ibu terbangun.
Selesai makan saya mengobrol banyak hal soal pendidikan saya.
“Bagaimana KKN nya?”
“Bagaimana kuliahnya?”
“Enam bulan lagi selesai kuliahmu?”
Dan puluhan pertanyaan soal kehidupan pribadi, mendiang ayah saya, dan lika liku kehidupan keluarga kami. Maklum, saya anak pertama dalam keluarga ini.
Ada yang menarik dalam obrolan malam lalu itu. Saya mempunya sifat kutukan dari mendiang ayah saya. ‘Jika menghendaki sesuatu tak bisa digoyahkan’. Setelah saya pikir-pikir memang betul adanya. Begitulah, setiap sifat ada kelemahan dan kekurangan. “Ayahmu itu sifat dan sikapnya sedikit melunak pada ibu saat dia mau meninggal. Dan itu rasanya percuma,” kata ibu. Betapa terkutuknya saya ini. Mempunyai sikap yang belakangan saya tahu kebenarannya, terkutuk dari mendiang ayah.
Sebelumnya saya berterima kasih kepada ibu. Atas obrolan kemarin malam, ijinkan anak mu ini mengambil beberapa keputusan bulat ini.
Pertama, anak mu tak ingin pulang ke rumah sebelum lulus dari jenjang pendidikan dan dapat membantu adik-adiknya menuntaskan jenjang studi mereka.
Kedua, tak akan hidup total dalam organisasi seperti yang kamu bilang. “Jika organisasi tak memberikan apa-apa ya sudah, tinggal kan saja”. Dan anak mu sekarang ini merasakan itu. Organisasi yang diikutinya sekarang ini tak seperti yang dibayangkan anakmu. Masih banyak hal yang ditutup-tutupi dari teman-temannya. Padahal anak mu ini sudah memposisikan diri sebagai ‘jongos’ bagi anggota organisasi se profesi yang membutuhkannya. Namun apalah daya. Rahasia dan tak ada kejujuran dari orang-orang yang ada didalamnya membuat anak mu ini merasa sia-sia.
Ketiga, orientasi hidup anak mu ini berbeda. Sangat berbeda dengan mendiang suami mu itu. “Mendedikasikan hidupnya untuk kepentingan bersama; masarakat, mungkin juga umat J” orientasi hidup seperti itu sangat menyiksa. Iya, menyiksa. Kali ini, ijinkan anak mu ini untuk tak peduli terhadap kebutuhan suatu masyarakat tertentu. Ada yang membutuhkan, anak mu nilai, baru keputusan; terima atau tolak.
Keempat, maaf untuk beberapa poin yang sudah saya tulis di atas ibu. Maaf untuk keputusan yang aku ambil bersifat kokok dan tak bisa digoyahkan. Maaf untuk masih mempunyai sifat dan sikap dari mendiang suamimu itu. Tapi untuk sifat dan sikap terkutuk lainnya sudah aku hapus dan buang jauh-jauh.
Kelima, maaf untuk telah membuatmu menangis kesekian kalinya. Air mataku sudah habis atas beberapa sebab. Jadi semalam tak bisa menemani air matamu itu. Maaf.
Keenam, tulisan ini akan edit saat diperlukan.


*diksi yang digunakan banyak yang berubah dan tak menggunakan bahasa jawa. Seperti ayah yang seharusnya bapak. Ini untuk kepentingan kemudahan dalam membaca.

Rabu, 05 Agustus 2015

Em-U-I



Ma’ruf Amin menjadi wakil ketua majelis ulama Indonesia (MUI) sejak 2014 (menurut laman resminya) menggantikan Din Syamsuddin setelah Sahal Mahfudz, ketua MUI wafat pada 24 Januari 2014. Dia cukup berpengalaman dalam dunia perpolitikan di Indonesia. Dua partai Islam, PKB dan PPP pernah menjadi tempatnya kongkow. Selain itu, sekarang dia yang menggawangi bagian fatwa di tubuh MUI. Termasuk beberapa hari ini soal BPJS yang mendapat fatwa haram berujung pada keharusan mengganti sistemnya yang syariah. Adalah bentuk hasil fatwa yang digawangi Ma’ruf Amin.
Laman resmi MUI menyantumkan tujuannya:
...terwujudnya masyarakat yang berkualitas (khaira ummah), dan negara yang aman, damai, adil dan makmur rohaniah dan jasmaniah yang diridhai Allah SWT (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).
Terinspirasi sebuah buku karangan Hartono Ahmad Jaiz yang berjudul ‘Aliran dan Paham Sesat di Indonesia’. Buku ini menceritakan beberapa paham yang menurutnya sesat. Diantaranya Ahmadiyah, Syiah, LDII. Deskripsi soal sesat nya paham minim dan terbilang prematur sekali. Karena untuk menggambarkan dan menjelaskan kondisi kesesatan Ahmadiah, misalnya, hanya setengah halaman dengan beberapa poin. Untuk itu, saya juga akan menulis beberapa keluh kesah tentang MUI sebatas permukaannya saja. Tak lain berharap tulisan saya menjadi penetralisir atau semacam obat dari tindakan MUI yang terkadang ngawur. Karena dalam buku itu tertulis betapa buku itu menjadi rujukan diskusi bagi para kalangan ulama, kyai, pesantren maupun organisasi keagamaan. Betapa bahagiannya saya jika tulisan saya menjadi rujukan orang menyikapi fatwa dan segala macam tindakan yang dilakukan oleh MUI. Sebentuk dan serupa refleksi diri lah.
1.       Badan Lisensi Halal Haram
Sungguh tak bijak MUI ini. Meskipun sudah menjadi gerutu sejak dulu namun tak pernah selesai persoalan ini. Tujuan MUI mewujudkan masyarakat yang berkualitas dan diridhai Allah misalnya. Bukankah Allah tak pernah berharap seluruh manusia ini memeluk Islam sebagai agama panutannya? Malahan, saat saya nyantri di taman pendidikan Quran (TPQ) dulu, diajarkan bahwa agama ini terpecah. Tak hanya satu. Yahudi, misalnya. Akan ada sampai dunia kiamat. Sungguh, betapa egois satu lembaga negara ini. Tersirat ingin melakukan Islamisasi terhadap masyarakat Indonesia yang majemuk ini.
2.       Fatwa Haram
Segala hal menjadi cakupan MUI. Ini lembaga negara urusan apa sih sebenarnya? Haruskah saya ikut pesimis dengan beberapa teman saat melihat hukum, peraturan, sistem yang tak jelas, ambigu, molor.
BPJS, misalnya. Mendapat sebentuk keharusan untuk merubah sistemnya sesuai syariah. Betapa kurang pekerjaan badan lembaga negara ini. Ada  berita yang bilang ini soal rebutan nasabah BPJS. Entahlah. Saya masih (mencoba) khusnudzon kepada badan lembaga negara ini. Daging babi haram. Alah-alah. Njuk piye iki coba gae wong2 Bali. Ngingik
Saya tak mau list lebih banyak. Karena tulisan ini lebih panjang dari tulisan inspirator saya, Hartono Ahmad Jaiz yang membuat daftar paham agama sesat di Indonesia. njuk piye cobak?
Saya teringat obrolan dengan teman soal kebutuhan dan hasrat. Sepertinya MUI sedang dalam tahap hasrat, ngaceng. Karena dia sebagai lembaga negara tidak memberikan kebutuhan masyarakat melainkan sekadar hasrat. Fatwa-fatwa dibuat menghabiskan anggaran makan soto untuk sidang pleno, misalnya. Bukankah masyarakat tak butuh fatwa itu. soal pertambangan yang ramah lingkungan misalnya. tak jauh beda dengan uu pertambangan pada umumnya yang harus mengikuti proses AMDAL , misalnya. namun itu masih mending dibanding sekarang yang mengeluarkan fatwa BPJS haram dan menjadi harus syariah. Dia sibuk mencari citra untuk dirinya sendiri. Alah-alah, entahlah. Saya kok jadi malas menulis yang serius soal MUI ini. Terlalu untung. Nanti malah dapat dengan mudah untuk mereka cari alibi. Mentok saya difatwa sesat. Huffttt

*goyang drible ala duo serigala tak jadi fatwa atau geger. Inul Daratista aja sempat dicekal oleh Roma Irama. Ini sing pentilnya ra karuan mental mentul malah gembrandul kamana-mana. Sungguh. Pingin bunuh diri saja rasanya.