Rabu, 16 Oktober 2013

Kekuasaan

Halaman di belakang rumah sepupu sudah habis. Tak ada kenangan tentang kita dulu yang tersisa. Saat Aku sembunyi dari permainan sepak tekong dulu. Ingin Aku hentikan mereka Rin, tapi Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya saudara yang masih duduk di bangku kuliah dan belum mengerti kehendak orang dewasa. “Biarkanlah mereka. Kita ikut saja yang menjadi kehendak mereka,” ucap Mu lirih.
Malam ini sepi. Tak ada beda kuburan dengan rumah sepupuku, Rozi. Tiga saudara sedang rapat harta warisan, Rozi si bungsu, dan Ram adik Raji. Mereka berdiskusi berjam-jam untuk bagian rinci. Satu angka-pun tak lewat dari pandangan. “Aku takut jika mengingat malam itu,” anganku.
Rozi keluar dengan mata basah, sepertinya habis menangis. Aku takut untuk bertanya padanya. Takut ketahuan dua kakaknya yang masih serius di dalam rumah. Si bungsu berjalan menuju arahku dengan tangan mengepal. “Din, ayo melu aku tuku bakso (Din, ayo ikut aku beli bakso),” katanya. “Yo (Ya),” jawabku dengan mengambil sepeda ontel di timur rumah.
Tidak seperti biasa. Rozi kehilangan nafsu gilanya akan makanan. Satu sendok kuah bakso masuk ke mulut butuh waktu dua menit untuk sendok selanjutnya. Matanya yang masih basah mencegah diriku untuk bertanya. “Din, aku di kongkon garap sawah dewe. Aku gak ngerti tur gurung sanggup. Piye iki? (Din, aku di suruh mengolah sawah sendiri. Aku tidak paham dan belum siap. Bagaimana ini?),” katamu bingung. “Opo maneh aku. Wong aku ijek sekolah SMA (apalagi aku. Aku saja masih sekolah SMA),” ucapku. Obrolan kali ini menahan liurku untuk melumat makanan.
 Dua bulan lagi Ujian Nasional (UNAS) dan aku sudah jarang bermain di rumah Rozi. Ingin aku fokus pada ujian sekolahku saja. Meski sebenarnya tidak tega pada Rozi untuk menanggung beban itu. Benar kata orang tua dulu, “Lak seneng ngerosone diluk (jika senang rasanya sebentar)”. Ujian nasional sudah selesai. “Setelah ini kuliah dimana?” tanya kepala sekolah. “Masih tidak tahu pak,” jawabku. “Kuliah di Jember saja,” katanya. “Insyaallah pak,” timpalku.
Beberapa teman satu kelas berniat kuliah di Jember. Arin, kordinator rombongan mengurusi segala sesuatu yang diperlukan untuk kuliah di Jember. Hanya Arin dan Nurul –kakak kelas kami- yang mengurusinya. Sisanya menunggu info dari mereka. Sebelum registrasi, yang lolos seleksi hanya saya dan satu teman saja. Arin, mbak Nurul, dan lainnya tidak lolos.
Kegiatan kuliah aku lewati dengan santai di pondok pesantren, Ajung. Meski dekat rumah rasa ingin pulang ke rumah tidak ada. Pulang ketika mendapat sms atau hari raya saja. Dan itu sampai aku semester 4. Untuk hari raya Idul Adha aku putuskan untuk pulang ke rumah Rozi. Rasanya kangen tidak mengobrol dengannya.
Tiba di rumah Rozi tak banyak beda dengan dulu. Pohon mangga yang berdiri tepat di pintu masuknya masih lebat. Meski beberapa ranting pohon sudah dipotong. Timur, barat rumah tak ada beda. Satu yang tampak beda. Di halaman belakang rumah Rozi sudah berdiri bangunan megah, rumah Raji. Itu yang membuat Rozi terkadang sms aku kalau dia tidak nyaman lagi di rumah.
Harta warisan. Aih, apa itu. Membuat hati tumpul saja.
Kita menjadi budak di rumah kita sendiri.
Tak ada kenangan untuk kita ber-nostalgia.
Hah, lagi-lagi mungkin ini yang tepat.
Bangsat!

Bekal Cerita Rantau


Saya pulang ke rumah diberikan cerita, bukan memberikan cerita setelah beberapa bulan tidak pulang ke rumah. Gaya hidup anak muda, hubungan anak dengan orang tua, sampai pada pilihan hidup yang harus diambil. “Bosan,” mungkin kata itu yang tepat.
Perjalanan menuju rumah bersama Budi, teman ngopi saya. Hari ini cukup panas. Dia tidak begitu suka dengan matahari. “Mata tidak bersahabat,” katanya. Dan memaksa saya untuk memboncengnya. Selama mengendarai motor tidak ada suatu yang berbeda. Masih sama persis dengan beberapa bulan lalu. Mungkin hanya rasa bosan yang masih tetap ada.
Jarak yang tak jauh antara Mangli sampai Wuluhan menurunkan Saya diperempatan Masjid Agung Wuluhan. Beberapa menit salah satu teman datang menghampiri dan mengajak ke sebuah warung kopi. Saya tidak pesan kopi, rokok, atau mi instan seperti yang mereka pesan. “Hanya menatap lebih baik,” batin Saya. Tak ada obrolan penting yang muncul. Mereka saling bercerita pengalaman di Banyuwangi yang sekadar ngopi dan langsung pulang. “Itupun sekitar 15 menit saja,” ucap Roni, salah satu teman Saya. Sikap cuek Saya membuat mereka memutuskan untuk pulang ke rumah.
Panas matahari dan rasa muak dengan obrolan di warung kopi menambah rasa kantuk. Setiba di rumah teman. “Aku gak diwehi duwek sewane sawah karo kange. Mangkel tok aku (saya tidak diberi uang sewa sawah oleh kakak. Emosi saja saya),” cerita Roni. “Aku tak tidur dulu ya. Untuk nanti malam,” ungkap Ku. Sekitar pukul 18.00 ada teman mengajak membeli cilok tahu. Awalnya berniat membeli lima ribu dan berhubung orangnya ada 4, maka membeli sebelas ribu.
Cilok tahu sudah habis dan waktu masih sore untuk istirahat. Saya dan teman-teman memutuskan untuk ngopi di Ambulu. Kopi murah dan tempat cukup santai. Harga untuk satu cangkir kopi Rp. 1000. Tidak hanya jualan kopi, kerupuk, kacang goreng, aneka minuman hangat juga dijual di sini. Pukul 22.35 menyudahi acara cangkruk santai dengan ngopi berakhir. “Ayo segera pulang. Ada acara mister tukun jalan-jalan di TV, lokasinya Ambulu,” kata Jawad, teman Roni.
Rencana Jawad untuk menonton Tukul gagal. Sepeda motor –Atok- yang membonceng Roni rusak tempat kran bensin. Inisiatif Atok untuk di dorong saja sepedanya. Diantara kami berempat yang bisa mendorong motor adalah Jawad.
Sebelum kami belok menuju rumah, di pertigaan, teman-teman kami lainnya sedang main domino. Acaranya cukup sederhana. Rokok, domino, dan sebotol air dalam botol bekas air mineral satu liter. “He Wad, awakmu gelem nyumet mercon? (hai Wad, kamu mau menyalakan petasan?),” kata salah satu teman Jawad. “Iyo wes. Endi mercone? (iya wes. Mana petasannya?),” timpal Jawad.
Dia membawa tujuh petasan rakitan sendiri dengan diameter sekitar tujuh cm. petasan dinyalakan di berbagai tempat di tengah sawah yang tersebar di beberapa dusun. “Jangan di daerah sana. Banyak anak kecil,” ujar Roni. Dan malam tidak begitu sepi dengan suara petasan.
Pada siangnya, Saya bersama Roni mencuci karpet di sungai Bedadung. Airnya cukup jernih. “Wah tepak. Wes suwi pisan ora ados kali (wah kebetulan. Sudah lama juga tidak mandi sungai),” kata Saya. Roni membawa sepupunya, Alif, untuk mencuci karpet. Kami yang keasyikan lupa jika Alif ada jadwal mengaji di TPQ (Taman Pembelajaran Quran).
Sampai dirumah, Alif sudah ditunggu ibunya untuk persiapan mengaji. “Le, gak usah ngaji yo. Kadong ngaji njalok sangu nang wong liyo ae yo (Nak, tidak usah mengaji ya. Kalau mengaji minta uang saku ke orang lain ya),” ucap ibunya dengan geram. “Cangkem mu tak apakne yo (Mulutmu tak apakan ya),” sahut Alif dengan menangis.
Hahahaha. Lucu sekali Alif.


(14/10/2013)

Selasa, 08 Oktober 2013

Lupa Istilah


Bukankah benar?
Semakin tinggi pohon, semakin kencang anginya
Bukankah benar?
Dekat sumur, pasti ada saluran pembuangan air
Bukankah benar?
Tidak ada sesuatu yang abadi

Istilah manalagi yang kau dustakan?

(18/07/2013)*



*Pusis yang lolos seleksi penerbitan buku antologi 'Puisi Menolak Korupsi'

Lampu Pertigaan

lampu dipertigaan kita bertemu sekarang redup, sejak
kepergian-m-u lampu-lampu penerang jalan hancur, setiap
malam para preman, perampok melemparinya dengan batu
'ah,' hanya kata itu yang tersisa

mungkin kau ingat. saat
pak Rois, kepala dusun kita berpidato
tangannya mengepal geram, suaranya keras
menyibakkan daun bambu di belakang "gandok"
'ah,' teringat saat bibir-m-u bersatu dengan mulutku

#

anak-m-u persis dari tubuh ibunya
saat kulihat bibirnya, ya
mirip dengan bibir-m-u

beda dulu
beda sekarang

lampu-lampu penerang jalan sangat terang
"gandok" dan kepala dusun suaranya lirih, terlebih
tubuhnya menggigil seperti lagi sakau karena narkotika
'ah,' dalam pikirku beda

satu yang masih sama, para
perampok, preman, semakin eksis dan nyentrik gayanya
di bawah lampu penerang jalan, sesekali
mereka mesum dan minum air keras
'ah,' pikirku biasa
#

bangsat!
mereka tambah profesi, menjadi
pemerkosa Ris. dan anak-m-u
merintih keras malam itu
itu aku dengar dari para warga

bibir indah warisan-m-u kini lebam
oleh jeritan-jeritan tawa lelaki bejat itu

sama sekali tidak menyesal hariku tanpa
bibir-m-u. tapi
anak-m-u Ris!
dia belum pernah merasakan mulut lelaki yang tulus mencintainya.
 
 
(06/10/2013)

Sabtu, 05 Oktober 2013

Eheh



He he hehehehe
Hua hua huahahahahaha
Huwa hahahahaha
Ehehehe ehe eheheheheh
Ahek ahekahekahekahek
Eheh

                                Kamu siapa?
                                Aku tak kenal kamu!
                                Jika kenal, pergi! Tak ingin
                                Kenal lagi

Ahek ahekahekahekahek
Eheh
                                                                Kaki ku lumpuh
                                                                Tangan ku tak
                                                                Punya’ hanya gips buatan manusia
                                                                Pikir ku?
                                                                Musnah bareng nafsumu
                                                                Bangsat!

Ahek ahekahekahekahek
Eheh

Kamu bilang masa depan?
Aku tak punya kaca untuk sekadar menengoknya
Bangsat!
Kaca peninggalanmu?
Buram Ris. Setiap aku melihatnya ada bayangan bayi tak berkepala, kaki, dan tangan
Aku tak ingin punya anak. Kaca saja bilang kalau punya anak akan menyusahkan urip
Belum dengan bangkai yang berjalan itu. Mereka hanya pintar ngomel seperti pembantu gembel jembatan
Bangsat!

Diri sudah tak berharga
Dan orang lain
Haruslah berharga
Dengan harga normal
Bukan belas kasihan, atau
Diskon dari warung remang-remang.


(05/10/2013)

Rabu, 02 Oktober 2013

Jalang



Jalang
Jalang
Jalang
Jalang


Hanya kau wanita
Jalang

Bajingan
Bangsat

Setelah puas bersetubuh dengan ku
Kini dengan ayah ku
Bajingan
Jalang



(02/10/2013)