Senin, 24 Februari 2014

Amplop



Pagi ini cukup melelahkan. Bangun dari tidur pinggang sudah pegal-pegal semua. Tak tahu apa sebabnya. Waktu masih terlalu pagi – sekitar pukul 06.00 – untuk beranjak dari tempat tidur. aku putuskan untuk tidur lagi.
Entah pukul berapa, dari arah luar ruangan sudah ada wanita kecil yang teriak-teriak. “Mas, mas,” kurang lebih seperti itu ucapanya. Peduli siapa. Aku acuhkan suara itu. Sampai aku melihat jam di Hp sudah pukul 08.07. Aku lupa ada kuliah pukul delapan lewat lima belas menit. Bangun pagi memang musuh (pagi? aih, ini sudah siang tauk!).
Singkatya, kuliah hari ini tak ada dosen. Brengsek, si dosen tak masuk. Gak ngerti kali yak. Aku sudah susah-susah bangun pagi hanya untuk kuliah. Effak lah. Tak apalah, aku putuskan untuk ngopi di salah satu warung yang cukup jadi langganan.
Huer,,,,,, aku sudah sampai di tujuan. Intinya aku sarapan, minum kopi, rokok an, ngobrol tentang sepeda motor teman yang dipinjam orang tak dikenal saat dia tidur, dan hal-hal yang tidak penting. Hehehehe. serampung itu, aku dan teman-teman kelas kembali ke kampus untuk kuliah pada pukul 10.30.
Sebelum berangkat pulang aku mendapat pesan dari “Raup”. Isinya kurang lebih seperti ini “mas, nangdi? digoleki Lia. penting!”. Yah, tepat banget dengan tujuan ku ke kampus – karena mereka berada di sekret.
Saat di tengah jalan menuju ruangan kuliah, aku minta diturunkan oleh teman ku.
“Kamu gak masuk?” tanya teman ku.
“Gak ngerti,” jawabku sambil tertawa.
Aku berjalan menuju sekret. di sana sudah ada Raup dan Lia. Baru masuk ke sekret si Lia sudah teriak kagak karuan. Dia bercerita mendapat amplop berisi uang dari salah satu birokrat kampus. “Huem, asik nih,” pikir ku, hehehehe. Dia bingung kagak karuan.
Lia menceritakan, saat selesai ngobrol dengan salah satu birokrat kampus, dia mendapat “salam tempel” darinya untuk dia dan Raup. Mereka sudah berusaha untuk tidak menerimannya. Tapi sang birokrat tidak menyerah. “Si .......... memberikan uangnya secara paksa. padahal udah aku tolak mas. sampai ampolpnya jatuh dan ditinggal masuk ke ruangannya. aku kan gak enak mas mau masuk lagi, karena banyak dosen dan alumni di dalam ruangan itu. Hih, pokok aku jijik mas. Apalagi banyak orang lo mas,” kata Lia. Si Raup manggut-manggut sambil tersenyum. Ya dia menguatkan omongan si Lia gitu wes.
Aku belum menemukan jawaban atas perlakuan birokrat terhadap Lia dan Raup. Apa modusnya? Kenapa? Mengapa? Bagaimana? Dimana? Kapa? (hehehehe, kayak mau wawancara aja yak?)
Kemudian aku mendapat masukan dari salah satu kawan yang sekarang ada di Jakarta untuk segera mengembalikan uang itu (fuh, dowo tenan. males ngedit). Aku dan Ulum berangkat menuju rumah sang birokrat. Di sana tak bertemu dengan yang bersangkutan dan, hanya bertemu dengan istrinya saja. Hah, ya udah lah besok aja lah. Hehehehe

(20/02/2014)

Mi Ayam vs Politik



Suasana politik menyelimuti daerah Jember. Musim penghujan tak tentu. Pedagang mi ayam, cilok, bakso atau dagangan yang lainnya sibuk berjuang menjajakan dagangannya. (aih, ngomong apa. kok gak karuan).
Sore ini, 10 Februari 2014, hujan cukup deras dengan awan yang buram. Para kawan-kawan baru sekret sedang berkumpul membahas PJTD. Ruangan yang kecil dengan menampung beberapa orang saja, membuat beberapa anggota harus keluar dari ruangan. Kali ini, terpenting kawan-kawan baru berada di sekret dan “ngobrol” tentang PJTD.
Pedagang mi ayam menjajakan dagangannya di depan UKM. Dia mengeluh dengan kondisi dagangannya yang belum laku. Sampai obrolan tentang kehidupannya dia bawa dalam obrolan yang tak bertema ini.
Dia bercerita, tahun politik adalah lahan basah untuk beberapa masyarakat. “Jika teringat beberapa tahun yang lalu, Saya geli sendiri. Delapan orang yang diantaranya Saya berkunjung ke salah satu rumah calon tokoh politik. Karena di sana mendapat makan, rokok dan pastinya uang,” ucapnya tertawa.
Meski begitu, tambahnya, tidak cukup satu calon tokoh politik. Satu sampai lima orang calon tokoh politik yang di datangi dalam satu malam. “Tiap rumah mendapat uang paling tidak Rp 50.000,” katanya. Tapi, hal itu lama dia tinggalkan karena dirasa tidak baik. Dia lebih memilih dagang mi ayam dengan hasil yang halal. “Sekarang Saya sudah tidak pernah begituan (berkunjung ke calon tokoh politik, red). Mending dagang mi ayam,” tegasnya.


(20/02/2014)

Crut or Der



Aku suka padamu. Tapi aku tak punya hak atas mu. Tak ada paksaan untuk kau jawab ungkapanku. Semua tergantung padamu. Kau jawab atau pun tidak itu hakmu.


(07/02/2014)