Kamis, 14 Maret 2013

Tragedi Nutfah


Film orang barat dengan gaya busananya yang khas menurut saya, telah diputar. Baju yang mini, dan tonjolan-tonjolan dada menjadi selingan jenuh, pun dengan rok ataupun celana yang pendek dengan benjolan kecil yang terapit oleh paha. Membuat penonton, terutama kaum lelaki pada kebanyakan merasa nyaman dan tenang ketika menontonnya. Beda dengan kaum wanita, seperti teman saya. Perempuan itu malu, katanya, jika melihat gambar atau film dengan perempuan yang menonjolkan bentuk tubuhnya. 
Separoh bulan yang lalu, saya bermain di salah satu kamar teman saya. dia sedang asik melihat film barat, bukan porno. Namun, segala yang terpakai di tubuh pemain wanita, sedikit banyaknya mengundang nafsu kaum lelaki, seperti saya J. Disekelilingnya ada beberapa teman yang umurnya di bawah saya, mungkin. Mereka tampak tenang menontonnya, tak ada suara gemuruh, mereka anteng di depan layar laptop.
Adegan demi adegan berjalan dengan santai. Alunan riuh percakapan di luar kamar terdengar samar, hampir tak terdengar, para penonton sangat khidmat menikmatinya. Ada dengan duduk, tengkurap, bersandar, cara mereka berkhidmat. Sampai kamar teman saya tak muat lagi. Ada yang menonton film di tengah pintu masuk kamar.
Film tak tuntas, baterai laptop habis. Ada teman yang ingin menyalakan dengan mengecas laptop, tapi teman saya enggan, karena takut cepat rusak. Tak ada yang di tonton, beberapa teman mulai ke luar kamar. Sampai akhirnya, hanya saya sendiri di kamar. Suasana ngantuk menghampiri, mata mulai terpejam perlahan dan tak ada sisa cahaya, hanya gelap J.
Hari-hari selanjutnya tak pernah sambang lagi di kamar teman. Tapi, sepertinya rutinitas nonton film masih berlanjut. Tampak ada diskusi kecil-kecilan setiap saya berpapasan dengan mereka di depan kamarnya. Tak lain adalah diskusi terkait film yang mereka tonton pada malam harinya.
Kemarin, saat saya sedang cuci muka di kamar mandi. Tepat dipojokan, tampak putih pekat bergelantungan di saluran pembuangan air. Seperti pernah tahu. Cairan itu bergoyang dengan gayanya yang bersentuhan dengan air yang mengalir. Semakin deras air, semakin cepat goyanganya. Lucu, menjijikkan.
Satu menit sebelumnya, saat saya masuk kamar mandi berpapasan dengan anak laki-laki dengan muka merah dan bingung. Seperti orang yang sedang kehilangan sesuatu. Dia yang tidak cerita masalahnya, tidak saya hiraukan. Acuh. Karena saya tidak mengenalnya.
Tak pikir panjang, selesai cuci muka kembali ke sekret. Di sana ada Budi, Ulum, Habibah. Saya pilih untuk diam dengan apa yang baru saja terjadi. “Ngobrol GJ lah asik,” pikir saya. mengobrol dengan mereka semakin asik ketika cerita masalah masing-masing. Asmara, keluarga, misalnya. GJ-lah pokoknya.
Waktu sore tiba, tinggal saya dan Budi di sekret. Saya cerita apa yang terjadi hari ini. Cerita cairan putih pekat, tidak asing, lucu, bisa goyang, dll. “Hahaha, itu kan nutfah,” kata Budi. “Ha, masak sih. Menjijikkan sekali berarti anak itu ya,” kata saya. Ngerasani kami mulai. Mulai dari ciri-ciri anak itu, waktu, dan hal-hal lain yang tidak terlalu mengarah kepadanya. Karena saya anggap sebagai privasi seseorang. Hormat! J

(14/03/13)

Ini Rumah Budi


Bangun tidur langsung melakukakan rutinitas bangun tidur. Cuci muka, misalnya. Agar kesan mandi langsung menempel meski belum mandi. Kamar mandi Budi cukup simpel, antara kamar mandi dan WC gabung menjadi satu.

Saya berangkat dari sekret menuju rumah Budi pada Sabtu sore. Rencananya kami akan menghadiri acara Diklat Lapang Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Aktualita di Watu Pecah, Ambulu. Sebelum berangkat, kami mampir ke rumahnya untuk mengambil jatah uang Mingguan. “Uangku sudah habis, mampir ke rumah dulu ya,” katanya. Aku yang diajaknya, cukup menerima apa yang akan dilakukannya, pasrah. J

Tiba di rumahnya, di daerah Purwojati, Kecamatan Wuluhan, Kabupaten Jember, hampir magrib. Beberapa menit duduk suara adzan sudah terdengar ramai di beberapa masjid. Beda dengan rumah Budi, hanya ada ayahnya sedang sibuk mengoperasikan HP di genggamanya. “Assalamualaikum,” ujar Budi. “Waalaikum salam,” sahut ayahnya. Giliran saya, gaya ikum paling tepat menurut saya pada seseorang yang sudah tua.

Kami duduk santai sambil menikmati suara adzan yang mulai berseru. Lewat waktu magrib, kami ngobrol santai terkait rencana keberangkatan ke acara Aktualita. Tubuh budi tidak bersahabat dengan rencana kami. “Berangkat tidak ya. Tubuhku terasa capek semua,” katanya sambil memegang pundak dan perutnya. Dia memiliki sakit yang agak parah dengan perut, tidak tahu pasti apa sakitnya. J

Setelah rencana awal gugur, dia memutuskan untuk ke warnet terdekat, mencari uang. “Aku lagi butuh uang sekarang, cari-cari sesuatu yang menghasilkan uang,” tuturnya. Saya juga tidak menanyakan buat apa, karena tidak penting itu, J. Sampai di warnet yang dituju Budi, tempat parkir penuh dengan motor dan sedikit sepeda ontel. Kami tetap masuk, beruntung ada dua yang masih kosong.

Login berhasil, saya membuka akun Twitter, Facebook, dan Blog. Rampung memasukkan sandi Twitter dan Facebook, terlintas dari kejauhan Budi sedang berbincang dengan bagian server-nya. Setelah meng-klik beranda, dia menghampiri saya. “Ayo pindah ke warnet yang lain. Di sini tidak bisa,” ungkapnya. Rasa jengkel pasti ada, tapi tak saya tampakkan. Saya lihat penghitung waktu dan tarif, sudah menunjukkan tarif seribu dalam dua menit. Kemudian saya mematikan waktu dengan keluar dari akun jejaring sosial dulu.

Tak ada arah pasti yang kami tuju. Tepat di depan masjid agung Wuluhan Budi memutar arah sepeda. “Bud, ada warnet di jalan masuk depan masjid. Enak posisinya kok,” kata saya. Tiba di warnet yang kedua, kondisi lebih sepi dari yang pertama. Dari beberapa komputer yang tersedia, hanya dua yang ada orangnya. Kami pun bebas memilih tempat yang nyaman dan jauh dari server.

Tidak terasa rasa krasan ini menggerus waktu kami di warnet ini. Hingga pukul 21.30 tiba, Budi menghampiri tempat saya. “Ayo pulang wes, atau jalan-jalan dulu,” tuturnya. Mumpung asik bermain Twitter, saya tidak meng-iyakan ajakan Budi. Tiga menit kemudian, saya logout akun Twitter dan menghentikan laju tarif di komputer bagian atas.

Rampung di warnet, kami melanjutkan jalan-jalan tanpa tujuan di sekitar Wuluhan. Beberapa pedagang kaki lima kami lewati, diantaranya penjual kopi, es, cilok, dan makanan gorengan. “Ayo beli es, saya haus sekarang. Mungkin jika ditambah dengan cilok, enak kayaknya,” gumam Budi. Dia menghentikan sepedahnya di samping Kapolsek Wuluhan tepat di depan pedagang es buah dan cilok bakar.
“Pak, beli cilok bakar,” kata Budi.
“Wah, habis mas ciloknya. Ini tinggal es buah dan tahu petis,” kata pedagang itu.
Budi membeli es buah saja. Tidak ada camilan, Budi membeli keripik singkong di sebelah timur pedagang es buah yang menghadap ke barat.

Malam semakin larut. Saya menyudahi obrolan dengan membayar es. Tapi membayar sendiri-sendiri. Perjalanan yang harus kami tempuh sampai di rumah Budi adalah sekitar satu kilometer. Dari Kapolsek menuju ke utara untuk rumahnya. Melewati empat sekolahan umum. Dua sekolah menengah pertama, dan dua sekolah menengah atas.

(11/03/13)

Senin, 04 Maret 2013

Dosen Politis



Pagi ini, Kamis (28/02) terasa membosankan. Saya yang sudah tidur sejak sore pukul 22.00 sudah baru bangun pukul 06.00. Tubuh terasa pegal semua. Namun, setelah bangun tidak ada teman yang di ajak ngobrol bareng dan buku yang ingin dibaca. Akhirnya saya memutuskan untuk tidur kembali.

Tidur tidak terasa nyaman. Setiap setengah jam sekali saya bangun melihat jam waktu yang ada di HP. Takut terlambat datang kuliah, karena hari ini masuk pukul 08.15. tepat pukul 07.30 saya mencoba mandi yang dari kemarin belum mandi. Rampung mandi langsung berangkat ke kampus dengan jalan kaki. Biasanya saya nebeng ke teman, kali ini mereka tidak ada kuliah. Terpaksa jalan kaki.

Jarak dua ratus meter dari pondok, ada kendaraan bermotor yang hampir di tabrak dari belakang. Sepedah itu milik Yamaha, tahun keluaran 2005, tulisan merek berwarna merah dengan lainnya putih. Ternyata dia adalah teman satu kampus beda kelas. Satu Jurusan dan Prodi di STAIN Jember. Berangkat ke kampus tidak jalan kaki, naik sepeda motor dengan teman mengurangi rasa panas matahari yang menyengat.

Sampai di kampus saya diturunkan di dekat gerbang masuk. Dia berjumpa temannya satu kelas saat memasuki gerbang. “Saya hendak jalan-jalan ke rumah teman,” ujarnya dengan memutar arah sepeda motornya. Saya melanjutkan ke kelas dengan jalan kaki tapi mengambil lebih dulu baju di sekret, karena yang saya pakai adalah kaos, dan itu dilarang di dalam kelas.

Sekret masih tutup. Kunci di bawa Budi dan Ulum, untuk sekarang mereka masih belum datang. Tidak tahu sedang apa. Sewaktu saya mengirim SMS tidak ada balasan dari mereka. Karena tidak segera datang, memutuskan untuk masuk ke kelas terlebih dulu dan meminjam jaket pada teman seperti yang biasa saya lakukan.

Meninggalkan sekret bertemu dengan Taufik, dia adalah teman satu kelas yang ikut di organisasi pramuka. “Kenapa kamu tidak membawa baju? Di sanggar (sebutan kantor pramuka) ada baju lo!” Saya tidak ambil pusing langsung putar badan menuju sanggar yang tepat di sebelah selatan sekret. Dia mengambilakan baju lengan panjang dengan motif bintik-bintik hitam. Selesai mengenakan baju. Kami melangsungkan jalan untuk berangkat ke kelas.

Tiba di depan kantor Jurusan Dakwah teman-teman masih duduk santai. Saya ikut nimbrung dengan mereka. Membahas sesuatu yang sebenarnya tida penting dan GJ. Itu tradisi kelas kami sembari menunggu dosen. Sangat jarang ada teman yang meluangkan waktu menunggu dosen dengan membaca, termasuk saya. J

Selang beberapa menit. Dosen kami sudah datang dari arah barat menuju kelas kami di ruang 18 Syariah. Dan saya masih tidak paham wajah dosen itu. Ini adalah pertemuan pertama kalinya. Setelah kami semua masuk kelas dosen itu langsung menjelaskan beberapa inti dari mata kuliah yang di ajarnya. Adalah mata kuliah wakaf yang menjadi mata kuliah hari ini.

Sesekali dia bercerita tentang organisasi yang pernah di ikutinya dulu saat menjadi mahasiswa, PMII. ini karena teman-teman memintanya. Dan tidak aneh jika mereka hanya terdiam dan menganggap dia sebagai orang yang hebat. Kelas yang saya tempati di dominasi oleh mahasiswa yang sama dengan apa yang pernah dosen ikuti. Tak jarang sanjungan dan anggukan kepala mereka lakukan. Aneh!

Kelas semakin tidak kondusif ketika dosen ini membiarkan teman-teman curhat masalah-masalah mereka. Cinta, jodoh, misalnya. Permasalahan ini mendapat tanggapan positif dari dosen dan pembicaraan semakin tidak karuan, ruwet. Tampak beberapa mahasiswa yang tidur, dan memasang headset di telinganya, dan ada yang ngobrol sendiri.

Juga ada beberapa teman HMI yang duduk di pojok kelas dengan muka masam dan memerah. Tidak tahu apa sebabnya. Tiba-tiba dosen itu menyinggung pengalamannya yang pernah dekat dengan aktivis HMI di daerah Jakarta. “Sampai dulu ada yang menganggap kalau saya aktivis HMI. Mungkin saking akrabnya,” kata dosen dengan berjenggot panjang tapi tidak lebat itu. Setelah dosen mengungkapkan itu, teman saya HMI berubah wajah seketika. Tampak seperti robot yang Kendali, penuh di pegang oleh seorang dosen. J

Obrolan semakin rancu dan tak terarah pada dunia akademis, bahkan obrolan GJ sekalipun. Lebih pada persoalan penyampaian politis yang dilakukan oleh sang dosen. Dia begitu kuasa dalam kelas ini. Teringat film yang merepresentasikan seorang sejarawan, Gie. Dalam filmnya ada guru yang mempunyai kendali penuh terhadap sekumpulan murid. Tidak pada Gie yang menentang dan berakhir pada hasil nilainya yang anjlok, akibat melawan guru yang salah dalam menyampaikan materi. Sekadar permasalahan sok kuasa dan tidak mau terbuka terhadap pengatahuan murid. Tragis! J



(28/02/13)