Rabu, 22 Juli 2015

Optimisme profesional versus pesimisme realistis[1]



Partai politik mempunyai premannya sendiri, begitu juga para pengusaha dan instansi pemerintah. Dan media massa memainkan perannya sendiri, dengan sedikit banyak “mengagung-agungkan“ para preman,” Benedict Anderson.
Saya sebagai masyarakat kelahiran Jawa Timur mempunyai simpati dan empati terhadap musibah yang terjadi di Tolikara beberapa hari lalu. Melakukan unfriend terhadap teman di sosmed yang menyebarluaskan kebencian terhadap musibah tersebut, misalnya. Mengapa langkah penyadaran terhadap mereka yang berbuat seperti itu tidak saya lakukan? Mengapa orang-orang seperti itu masih hidup di dunia ini? Apa alasan mereka berbuat  dan menyebarkan kebencian? Tak ada rasa kemanusiaan kah di hati mereka? Saya tak mampu menjawab itu semua karena saya bukan paranormal yang bisa membaca isi hati. Ataupun Tuhan yang mempunyai rencana atas segala isi kehidupan ini.
Tak mencoba membaca motif-motif kelakuan (yang bejat) seperti yang terjadi di Tolikara menjadikan saya lebih hina daripada hewan. Untuk itu saya hanya akan mencoba menjawab pertanyaan batin saya itu sendiri. Narsis bukan? Itulah saya.
1.       Melakukan penyadaran diri
Tahap ini tidak saya lakukan karena rasa pesimis yang terlalu tinggi seperti yang dialami oleh Henk dan Gerry dalam membaca desentralisasi atau transisi dari Orba ke pasca-Orba (bukan Reformasi, karena penulis mengamini pengamat yang mengungkapkan Reformasi yang terlalu dini dan belum pantas di Indonesia). Nyatanya, teman saya yang mencoba untuk melakukan dialog dengan salah satu jamaah shar- iyah berita-berita kebencian tak membuahkan hasil, mentah. Sebut saja Sadam. Dia mengatakan bahwa jengkel dengan jamaah yang tak bertanggungjawab itu. share berita kebencian dan tak mau melakukan dialog sekadar konfirmasi terkait berita itu. bajingan bukan?
2.       Masih hidup di dunia
Saya melihat kolom komentar dalam status GM tentang agama yang rahmat. Komentarnya beragam dan menjengkelkan. Saya menangkap satu hal, rahmat bagi semua alam. Orang-orang bejat itu hidup di alam nyata ini. Tentunya mereka berhak untuk hidup (secara formal). Beberapa teman menantang  atau bertaruh atas kebencian yang disebarkan oleh orang maca Felix Siaw maupun Jonru. Bahkan ada yang adu bantah dengan mereka. Bukankah yang menantang mereka itu sadar akan jumlah jamaah sosmed nya yang begitu besar? Dan betapa kolot dan fundamental garis abangan abu-abu dan biru (laqob guyon yang diberikan teman di warung kopi) dua orang itu? Sungguh, InsyaAllah khusnul khotimah orang yang masih bersedia meladeni macam dua orang itu.
3.       Alasan sebar kebencian
Mereka menggunakan kitab suci maupun sunnah (tentunya dengan pemahaman yang minim) sebagai dasar mereka. Saya kuliah di kampus yang (hampir) menjadi tumbuh kembangnya orang-orang macam itu. Ketika ada perbedaan tafsir yang disampaikan oleh lawan diskusinya, akan muncul senjata provokatifnya. “Itu kan tafsir anda. Bukan tafsir al-Quran (kitab suci bagi umat Muslim),” kata dosen saya. Sontak seperti kena sihir dan menjadi domba (tak ada tujuan khusus untuk istilah hewan yang saya gunakan). “embeeekkk----embeeeeekkk” itulah suara saya.
Pernah saya membelajari keotentikan suatu tafsir. ‘Bias’ tak bisa dihindarkan. Mengapa? Karena tafsir atas suatu ayat, misalnya, telah ditafsir dengan tafsir yang lain dengan kitab yang lain. Bukankah peluang untuk ‘bias’ begitu besar? Tak perlu menggunakan teori Saussure atau Barthes dalam menganalisis teks kitab suci. Karena saya takut dikira bukan orang Muslim, dikafirkan, lalu dikucilkan atau (lebih ekstremnya) dibunuh oleh massa (awam).
Namun itu hanya temuan saya di lapangan yang tak punya ilmu yang besar soal ilmu tafsir. Lain halnya dengan dosen-dosen saya yang sudah berdakwah kemana-mana nun jauh disana.
4.       Tak ada rasa kemanusiaan
Penelitian Lorraine V. Aragon di Poso, umumnya Sulawesi mengatakan, usaha-usaha pemakluman/perdamaian atas suatu konflik yang terjadi antara dua golongan akan memperlemah penegak hukum untuk mengendalikan dan menghukum salah satu golongan. Alasan itu lah yang digunakan oleh kebanyakan kaum fundamental ektrem dan lembaga keagamaan disatu sisi. Dan alasan kemaslahatan maupun kemakmuran, ketentraman (dan hal yang ayem-ayem lainnya) menjadi pelunak dari sikap anarkisnya (menurut mereka). “Hukum Allah harus tetap tegak”, misalnya, dalam menjawab kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk.
“Hak bagi orang-orang Indonesia, yang ditakdirkan untuk lahir di tanah Indonesia sewaktu menjadi Republik, untuk berpartisipasi secara sukarela, semangat, setara, dan tanpa ketakutan ikut serta dalam proyek bersama Nasionalisme Indonesia,” tulis Ben dalam menjelaskan sikap Nasionalisme yang harus dimiliki oleh masyarakat Indonesia dalam menjaga tali persaudaraan dan menghindari perpecahan. Entah konflik agama entah etnis (yang rentan) dijadikan sebabnya.
*tulisan ini hadir untuk menjawab ajakan salah satu pemilik perusahaan media swasta dan pemimpin partai baru di Indonesia ini. Dalam iklan di stasiun televisinya pihaknya mempertanyakan ‘siapakah Indonesia?’. kemudian memunculkan lima agama yang diakui maupun ‘agama yang lain’. Dan orang berpenghasilan milyaran atau orang yang mampu menghidupi kebutuhan sehari-hari. Kemudian dijawab oleh pihaknya, ‘siapakah Indonesia?’ yaitu orang yang peduli sambil menayangkan pemilik stasiun tv itu dan pemimpin partai yang sedang diusungnya.
Saya optimis secara profesional saat agama tak menjadi sekat untuk menumbuhkan semangat Nasionalisme sebagai Indonesia. namun saya pesimis realitas saat melihat kasus di Tolikara. Janji Jokowi saat pemilu untuk menuntaskan kasus HAM, dan janji-janji pemilu lainnya masih jauh dari tindakan.
Lalu apa saya harus mengamini ungkapan Ben ---Dan media massa memainkan perannya sendiri, dengan sedikit banyak “mengagung-agungkan“ para preman” dalam menjalani kehidupan di tengah banjirnya media (abal-abal nan provokatif).


[1] Sub judul dalam tulisan Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken yang menjadi tulisan pembuka untuk buku ‘Politik Lokal di Indonesia’.