“Partai
politik mempunyai premannya sendiri, begitu juga para pengusaha dan instansi
pemerintah. Dan media massa memainkan perannya sendiri, dengan sedikit banyak
“mengagung-agungkan“ para preman,” Benedict Anderson.
Saya sebagai
masyarakat kelahiran Jawa Timur mempunyai simpati dan empati terhadap musibah
yang terjadi di Tolikara beberapa hari lalu. Melakukan unfriend terhadap
teman di sosmed yang menyebarluaskan kebencian terhadap musibah tersebut,
misalnya. Mengapa langkah penyadaran terhadap mereka yang berbuat seperti itu
tidak saya lakukan? Mengapa orang-orang seperti itu masih hidup di dunia ini? Apa
alasan mereka berbuat dan menyebarkan
kebencian? Tak ada rasa kemanusiaan kah di hati mereka? Saya tak mampu menjawab
itu semua karena saya bukan paranormal yang bisa membaca isi hati. Ataupun Tuhan
yang mempunyai rencana atas segala isi kehidupan ini.
Tak mencoba
membaca motif-motif kelakuan (yang bejat) seperti yang terjadi di Tolikara
menjadikan saya lebih hina daripada hewan. Untuk itu saya hanya akan mencoba
menjawab pertanyaan batin saya itu sendiri. Narsis bukan? Itulah saya.
1. Melakukan penyadaran diri
Tahap ini tidak
saya lakukan karena rasa pesimis yang terlalu tinggi seperti yang dialami oleh
Henk dan Gerry dalam membaca desentralisasi atau transisi dari Orba ke
pasca-Orba (bukan Reformasi, karena penulis mengamini pengamat yang
mengungkapkan Reformasi yang terlalu dini dan belum pantas di Indonesia). Nyatanya,
teman saya yang mencoba untuk melakukan dialog dengan salah satu jamaah shar-
iyah berita-berita kebencian tak membuahkan hasil, mentah. Sebut saja
Sadam. Dia mengatakan bahwa jengkel dengan jamaah yang tak bertanggungjawab
itu. share berita kebencian dan tak mau melakukan dialog sekadar
konfirmasi terkait berita itu. bajingan bukan?
2. Masih hidup di dunia
Saya melihat
kolom komentar dalam status GM tentang agama yang rahmat. Komentarnya beragam
dan menjengkelkan. Saya menangkap satu hal, rahmat bagi semua alam. Orang-orang
bejat itu hidup di alam nyata ini. Tentunya mereka berhak untuk hidup (secara
formal). Beberapa teman menantang atau
bertaruh atas kebencian yang disebarkan oleh orang maca Felix Siaw maupun Jonru.
Bahkan ada yang adu bantah dengan mereka. Bukankah yang menantang mereka itu
sadar akan jumlah jamaah sosmed nya yang begitu besar? Dan betapa kolot dan
fundamental garis abangan abu-abu dan biru (laqob guyon yang diberikan
teman di warung kopi) dua orang itu? Sungguh, InsyaAllah khusnul khotimah orang
yang masih bersedia meladeni macam dua orang itu.
3. Alasan sebar kebencian
Mereka menggunakan
kitab suci maupun sunnah (tentunya dengan pemahaman yang minim) sebagai dasar
mereka. Saya kuliah di kampus yang (hampir) menjadi tumbuh kembangnya
orang-orang macam itu. Ketika ada perbedaan tafsir yang disampaikan oleh lawan
diskusinya, akan muncul senjata provokatifnya. “Itu kan tafsir anda. Bukan tafsir
al-Quran (kitab suci bagi umat Muslim),” kata dosen saya. Sontak seperti kena
sihir dan menjadi domba (tak ada tujuan khusus untuk istilah hewan yang saya
gunakan). “embeeekkk----embeeeeekkk” itulah suara saya.
Pernah saya
membelajari keotentikan suatu tafsir. ‘Bias’ tak bisa dihindarkan. Mengapa? Karena
tafsir atas suatu ayat, misalnya, telah ditafsir dengan tafsir yang lain dengan
kitab yang lain. Bukankah peluang untuk ‘bias’ begitu besar? Tak perlu
menggunakan teori Saussure atau Barthes dalam menganalisis teks kitab suci. Karena
saya takut dikira bukan orang Muslim, dikafirkan, lalu dikucilkan atau (lebih
ekstremnya) dibunuh oleh massa (awam).
Namun itu hanya
temuan saya di lapangan yang tak punya ilmu yang besar soal ilmu tafsir. Lain halnya
dengan dosen-dosen saya yang sudah berdakwah kemana-mana nun jauh disana.
4. Tak ada rasa kemanusiaan
Penelitian Lorraine
V. Aragon di Poso, umumnya Sulawesi mengatakan, usaha-usaha pemakluman/perdamaian
atas suatu konflik yang terjadi antara dua golongan akan memperlemah penegak
hukum untuk mengendalikan dan menghukum salah satu golongan. Alasan itu lah
yang digunakan oleh kebanyakan kaum fundamental ektrem dan lembaga keagamaan
disatu sisi. Dan alasan kemaslahatan maupun kemakmuran, ketentraman (dan hal
yang ayem-ayem lainnya) menjadi pelunak dari sikap anarkisnya (menurut mereka).
“Hukum Allah harus tetap tegak”, misalnya, dalam menjawab kondisi masyarakat Indonesia
yang majemuk.
“Hak bagi orang-orang Indonesia, yang ditakdirkan untuk
lahir di tanah Indonesia sewaktu menjadi Republik, untuk berpartisipasi secara
sukarela, semangat, setara, dan tanpa ketakutan ikut serta dalam proyek bersama
Nasionalisme Indonesia,” tulis Ben dalam menjelaskan sikap Nasionalisme yang
harus dimiliki oleh masyarakat Indonesia dalam menjaga tali persaudaraan dan
menghindari perpecahan. Entah konflik agama entah etnis (yang rentan) dijadikan
sebabnya.
*tulisan ini hadir untuk menjawab ajakan salah satu
pemilik perusahaan media swasta dan pemimpin partai baru di Indonesia ini. Dalam
iklan di stasiun televisinya pihaknya mempertanyakan ‘siapakah Indonesia?’.
kemudian memunculkan lima agama yang diakui maupun ‘agama yang lain’. Dan orang
berpenghasilan milyaran atau orang yang mampu menghidupi kebutuhan sehari-hari.
Kemudian dijawab oleh pihaknya, ‘siapakah Indonesia?’ yaitu orang yang peduli
sambil menayangkan pemilik stasiun tv itu dan pemimpin partai yang sedang
diusungnya.
Saya optimis secara profesional saat agama tak menjadi
sekat untuk menumbuhkan semangat Nasionalisme sebagai Indonesia. namun saya
pesimis realitas saat melihat kasus di Tolikara. Janji Jokowi saat pemilu untuk
menuntaskan kasus HAM, dan janji-janji pemilu lainnya masih jauh dari tindakan.
Lalu apa saya harus mengamini ungkapan Ben ---› “Dan media massa
memainkan perannya sendiri, dengan sedikit banyak “mengagung-agungkan“ para
preman” dalam menjalani kehidupan di tengah banjirnya
media (abal-abal nan provokatif).
[1] Sub judul
dalam tulisan Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken yang menjadi tulisan
pembuka untuk buku ‘Politik Lokal di Indonesia’.