Minggu, 10 Januari 2016

#SaveSaut, Gerakan yang Butuh Kaji Ulang

Gajah dipelupuk mata tak tampak
Semut diseberang lautan tampak

Semasa kecil telinga saya terbiasa mendengar peribahasa. Meski tidak paham, saya dan teman sepermainan menikmati itu. Bahkan, tidak jarang kami mengucapkan satu peribahasa dalam suatu konteks yang sama sekali tidak berhubungan. Apa ini efek dari guru Bahasa Indonesia yang rupawan itu? Atau mungkin karena saya besar di lingkungan yang masih kental akan budaya, norma, maupun agama?Atau karena rumah saya dulu sempat menjadi tempat nyantri dua orang Madiun yang dikelola oleh Bapak dan kakaknya? Atau karena berdirinya pondok pesantren dengan santri dari berbagai daerah yang tidak jauh dari rumah, sekira tiga puluh meter ? dugaan demi dugaan muncul. Tidak ingin buta akan fakta, saya mencoba menyusun fakta historis dari kehidupan serta lingkungan saya tinggal.

Saya mengenal syair-syair yang tertulis dalam kita Ta’lim al-Muta’alim karangan Zarnuji sejak kelas empat SD. Sempat protes terhadap Bapak soal kelas empat SD kok sudah mengaji kitab kuning. Waktu itu saya berusia sembilan tahunan. “Mboten nopo-nopo. Sing penting ngaji. Masalah ngerti perkoro wengkeng (tidak apa-apa. Yang penting ngaji. Soal paham itu urusan belakang)” ucap Bapak sambil terkekeh.

Sejak itu pula saya terbiasa menghapal puluhan bahkan ratusan nadhom dari kitab-kitab yang berisikan syair. Tidak ada yang membuat saya bangga kecuali menjadi anak yang paling banyak hapalan. Hari-hari masa kecil saya habiskan untuk menghapal syair. Namun benar, saya hanya hapal dan tidak paham maksud maupun isi syair itu. Semacam gembala kerbau di ladang yang bebas ditarik kemana saja oleh juragan atau petani. Setelah tujuh tahun berjalan, saya baru sedikit paham maksud dari syair-syair itu.

Kini, soal syair tidak segampang masa kecil saya; membaca, menghapal, membacakan ulang tanpa melihat kitab di depan ustadz. Ada tanda-tanda yang harus dipahami sebagai patokan syair sebagai karya sastra. Tujuan nya agar tidak semua orang dengan mudah membuat karya sastra sembari mengatakan karyanya yang otonom. Ada metafor yang sudah disusun rapi bak ayat suci. Tidak seperti yang saya bayangkan soal ‘karya sastra itu ungkapan personal dan suka-suka Gue mau nulis apa’. Begitu rumit. Seperti perdebatan antara kelompok Boemipoetra dengan Salihara. Sampai muncul ungkapan sastra kelamin, sastra selakangan. Hidup itu tidak gampang bung!

Perdebatan muncul entah sejak kapan. Situs web boemipoetra.wordpress.com terdaftar sejak 2000. Sedangkan salihara.org terdaftar pada 2008. Kawan-kawan saya yang paham soal sastra ada yang mengatakan perdebatan itu semata pertarungan dua poros besar antara Jogjakarta dan Jakarta. Antara Saut Situmorang dengan Goenawan Mohamad. Tidak hanya perdebatan sastra, tapi juga umpatan maupun makian. Sebagai orang awam yang rendah hati dan budiman, saya tidak memberikan komentar. Aku mung rakyat cilik kok kak...

Mengaji di pesantren itu tentrem. Tidak ada protes macam perkuliahan di kampus saya yang barbar. Dosen saja dihalalakan darahnya untuk diminum, apalagi sesama mahasiswa. Ngeri pokoke. Pesantren saya menggunakan sistem pendidikan tanya jawab atawa dialog searah. Ustadz adalah maha tahu, murid kopong alias tidak tahu. Apapun yang disampaikan oleh ustadz semacam wahyu yang harus didengarkan dengan hemat dan semestinya.

Beda dengan dunia akademisi yang idealnya sangat terbuka dengan kritik. Siapapun yang didebat oleh Saut Situmorang adalah bentuk kritik atas karya sastra. Namun ada yang menganggap bahwa yang dilakukan Saut tak lain adalah umpatan. Porsi kritik dan umpatan jomplang dengan lebih banyak umpatan. Posisi kritik dan umpatan masih buram. Tidak hanya Salihara. Kritik terbaru dan berujung pada meja hijau melibatkan Fatin Hamama, seorang penyair dengan kadar relijiusitas tinggi oleh wikipedia.

Apa yang disampaikan oleh Saut dalam kritiknya tak menyinggung soal sastra, melainkan hanya posisi kekuasaan saja. Sebagaimana Roland Barthes dalam Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa, ada yang beranggapan bahwa Saut sedang berada dipuncak eksistensialismenya, Saut sedang narsis dengan gerakan #SaveSaut, Saut menjadi lembek saat dijemput oleh Polda Metro Jaya yang sangat berbeda dengan kelantangan suaranya selama ini, atau ini hanya pertarungan politis antara Jogjakarta dengan Jakarta.

Tujuan di pesantren tak lain hanya untuk mendapat pujian dari orang tua karena sudah menjadi anak yang baik secara agama. Tidak keluar dari norma setempat. Mendapat pengertian dari hasil di pesantren itu urusan belakang. Saat seorang santri sudah mendapat pujian dari ustadz atau pengasuh pondok pesantren, maka tuntaslah ia dimata masyarakat dan orang tua.

Laiknya gerakan #SaveSaut yang mempunyai tujuan. Menurut fungsinya, tagar sangat mudah untuk dicari di media sosial. Hal ini dikenalkan oleh Twitter sejak 2 Juli 2009 untuk memberi tautan pada tagar dan mudah dalam pencarian. Ada tujuan tertentu. Jika tak salah ingat, saat mengaji kitab kuning saya biasa menggunakan ruju’ untuk menandai hal-hal tertentu.

Makhluk awam akan berbahaya saat menulis karena rentan menyesatkan. Maka dari itu, saya sudahi saja. Sebelumnya, saya mengecam keras siapapun yang menggunakan kekuasaan untuk menyiderai demokrasi, membungkam kebebasan berekspresi dengan alasan apapun. Dan saya berdoa semoga dia lebih lama di neraka berpuluh kali lipat daripada saya.


*untuk Writing Challenge V. Baca, komentar, kritik, edit sekalipun menjadi harapan penting bagi penulis. :)