Gajah dipelupuk mata tak tampak
Semut diseberang lautan tampak
Semasa kecil
telinga saya terbiasa mendengar peribahasa. Meski tidak paham, saya dan teman
sepermainan menikmati itu. Bahkan, tidak jarang kami mengucapkan satu
peribahasa dalam suatu konteks yang sama sekali tidak berhubungan. Apa ini efek
dari guru Bahasa Indonesia yang rupawan itu? Atau mungkin karena saya besar di lingkungan
yang masih kental akan budaya, norma, maupun agama?Atau karena rumah saya dulu sempat
menjadi tempat nyantri dua orang Madiun yang dikelola oleh Bapak dan kakaknya? Atau
karena berdirinya pondok pesantren dengan santri dari berbagai daerah yang tidak
jauh dari rumah, sekira tiga puluh meter ? dugaan demi dugaan muncul. Tidak ingin
buta akan fakta, saya mencoba menyusun fakta historis dari kehidupan serta lingkungan
saya tinggal.
Saya mengenal
syair-syair yang tertulis dalam kita Ta’lim al-Muta’alim karangan Zarnuji sejak
kelas empat SD. Sempat protes terhadap Bapak soal kelas empat SD kok sudah
mengaji kitab kuning. Waktu itu saya berusia sembilan tahunan. “Mboten nopo-nopo.
Sing penting ngaji. Masalah ngerti perkoro wengkeng (tidak apa-apa. Yang penting
ngaji. Soal paham itu urusan belakang)” ucap Bapak sambil terkekeh.
Sejak itu pula
saya terbiasa menghapal puluhan bahkan ratusan nadhom dari kitab-kitab yang
berisikan syair. Tidak ada yang membuat saya bangga kecuali menjadi anak yang
paling banyak hapalan. Hari-hari masa kecil saya habiskan untuk menghapal
syair. Namun benar, saya hanya hapal dan tidak paham maksud maupun isi syair
itu. Semacam gembala kerbau di ladang yang bebas ditarik kemana saja oleh
juragan atau petani. Setelah tujuh tahun berjalan, saya baru sedikit paham
maksud dari syair-syair itu.
Kini, soal syair
tidak segampang masa kecil saya; membaca, menghapal, membacakan ulang tanpa
melihat kitab di depan ustadz. Ada tanda-tanda yang harus dipahami sebagai patokan
syair sebagai karya sastra. Tujuan nya agar tidak semua orang dengan mudah
membuat karya sastra sembari mengatakan karyanya yang otonom. Ada metafor yang
sudah disusun rapi bak ayat suci. Tidak seperti yang saya bayangkan soal ‘karya
sastra itu ungkapan personal dan suka-suka Gue mau nulis apa’. Begitu rumit. Seperti
perdebatan antara kelompok Boemipoetra dengan Salihara. Sampai muncul ungkapan
sastra kelamin, sastra selakangan. Hidup itu tidak gampang bung!
Perdebatan muncul
entah sejak kapan. Situs web boemipoetra.wordpress.com terdaftar sejak 2000. Sedangkan
salihara.org terdaftar pada 2008. Kawan-kawan saya yang paham soal sastra ada
yang mengatakan perdebatan itu semata pertarungan dua poros besar antara
Jogjakarta dan Jakarta. Antara Saut Situmorang dengan Goenawan Mohamad. Tidak hanya
perdebatan sastra, tapi juga umpatan maupun makian. Sebagai orang awam yang
rendah hati dan budiman, saya tidak memberikan komentar. Aku mung rakyat cilik
kok kak...
Mengaji di
pesantren itu tentrem. Tidak ada protes macam perkuliahan di kampus saya yang
barbar. Dosen saja dihalalakan darahnya untuk diminum, apalagi sesama
mahasiswa. Ngeri pokoke. Pesantren
saya menggunakan sistem pendidikan tanya jawab atawa dialog searah. Ustadz adalah
maha tahu, murid kopong alias tidak
tahu. Apapun yang disampaikan oleh ustadz semacam wahyu yang harus didengarkan
dengan hemat dan semestinya.
Beda dengan
dunia akademisi yang idealnya sangat terbuka dengan kritik. Siapapun yang
didebat oleh Saut Situmorang adalah bentuk kritik atas karya sastra. Namun ada
yang menganggap bahwa yang dilakukan Saut tak lain adalah umpatan. Porsi kritik
dan umpatan jomplang dengan lebih
banyak umpatan. Posisi kritik dan umpatan masih buram. Tidak hanya Salihara. Kritik
terbaru dan berujung pada meja hijau melibatkan Fatin Hamama, seorang penyair
dengan kadar relijiusitas tinggi oleh wikipedia.
Apa yang disampaikan
oleh Saut dalam kritiknya tak menyinggung soal sastra, melainkan hanya posisi
kekuasaan saja. Sebagaimana Roland Barthes dalam Membedah Mitos-Mitos Budaya
Massa, ada yang beranggapan bahwa Saut sedang berada dipuncak
eksistensialismenya, Saut sedang narsis dengan gerakan #SaveSaut, Saut menjadi
lembek saat dijemput oleh Polda Metro Jaya yang sangat berbeda dengan
kelantangan suaranya selama ini, atau ini hanya pertarungan politis antara
Jogjakarta dengan Jakarta.
Tujuan di
pesantren tak lain hanya untuk mendapat pujian dari orang tua karena sudah
menjadi anak yang baik secara agama. Tidak keluar dari norma setempat. Mendapat
pengertian dari hasil di pesantren itu urusan belakang. Saat seorang santri
sudah mendapat pujian dari ustadz atau pengasuh pondok pesantren, maka
tuntaslah ia dimata masyarakat dan orang tua.
Laiknya gerakan
#SaveSaut yang mempunyai tujuan. Menurut fungsinya, tagar sangat mudah untuk
dicari di media sosial. Hal ini dikenalkan oleh Twitter sejak 2 Juli 2009 untuk
memberi tautan pada tagar dan mudah dalam pencarian. Ada tujuan tertentu. Jika tak
salah ingat, saat mengaji kitab kuning saya biasa menggunakan ruju’ untuk menandai hal-hal tertentu.
Makhluk awam
akan berbahaya saat menulis karena rentan menyesatkan. Maka dari itu, saya
sudahi saja. Sebelumnya, saya mengecam keras siapapun yang menggunakan
kekuasaan untuk menyiderai demokrasi, membungkam kebebasan berekspresi dengan
alasan apapun. Dan saya berdoa semoga dia lebih lama di neraka berpuluh kali
lipat daripada saya.