Selasa, 26 Februari 2013

Ekonomi: Penting



“Setiap saya melihat anak yang ingin kuliah tapi tidak mampu saya merasa kasihan. Teringat dulu, saat masih susah,” kata salah satu teman sekelas di STAIN Jember yang bertempat tinggal di daerah Ambulu. Dia sudah mengalami nasib susah sudah bertahun-tahun semenjak sekolah dasar. Baru merasakan hidup layak saat duduk di sekolah menengah kejuruan akhir (mengambil jurusan jaringan dan telekomunikasi).
Kehidupan yang berkaitan dengan ekonomi terkadang membuat beberapa orang, bahkan kebanyakan bingung dan susah jika dihadapkan dengan perkara itu. Teman saya membenarkan itu. Dia menceritakan, betapa tidak enaknya hidup dengan ekonomi yang kurang. Apalagi dengan gaya anak yang ingin sesuatu yang bermacam-macam. “Jika mendengar cerita orang tua dulu, saat saya masih kecil sering meminta yang aneh-aneh. Beberapa hari makan bakso, mi, dan makanan-makanan lainnya yang waktu itu masih sulit. Untuk makan besok bapak mencarinya sekarang. Jika tidak mendapat pekerjaan, ya tidak makan,” kata teman saya yang sekarang bekendaraan motor honda Bead.
Dalam keseharianya, ayahnya bekerja sebagai pedagang jamu serbuk, dan ibunya sebagai ibu rumah tangga. Pendapatan perhari dari hasil dagang tidak pasti, pun dengan ibunya yang mendapat gaji satu bulan sekali. Pada waktu dia masih kecil, bangsa ini masih dihadapkan dengan permasalahan krisis ekonomi. Sekitar tahun 1997-an, tepat pada pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Pebisnis mulai banyak yang bangkrut, lebih-lebih pengusaha kecil seperti orang tua teman saya ini.
Rezim Soeharto sudah tumbang dan berganti. Namun pada kepemimpina selanjutnya yang dipimpin oleh BJ Habibi masih belum juga stabil semua permasalahan, termasuk ekonomi. Masa ke masa, dari pemimpin satu pindah ke pemimpin selanjutnya telah membawa sedikit perubahan perekonomian kelurga teman saya ini. “Baru saat saya sudah sekolah menengah kejuruan mulai ada perbaikan,” ujarnya.
Setelah dia masuk kuliah di STAIN Jember dengan beasiswa delapan semester yang di dapatnya dari pihak Jurusan. Dia menghabiskan waktunya untuk mengajar di salah satu mushola di dekat rumahnya. Adalah kegiatan sampingan di kampus sebagai ustadz di mushola. Berbagai latar belakang dia temui di tempat mengajarnya. Tingakat menengah ke bawah, menengah ke atas, mapan, bahkan ada yang menengah ke bawah bawahnya lagi. “Ada salah satu anak yang latar belakang ekonominya sangat parah. Saya kasihan setiap melihatnya,” ujarnya.
Dia menjelaskan, prihatin dengan mereka yang tidak mampu, apalagi mereka ingin kuliah namun terhalang oleh dana yang tidak ada. Menjadikannya teringat waktu susahnya dulu. “Ada teman saya tawari kuliah dengan pendaftarannya saya tanggung. Namun dia tidak menolaknya. Tidak tahu alasannya,” katanya dengan muka yang lusuh dan mata yang mulai memerah.
Kami mengakhiri perbincangan di warung dekat jembatan Mangli, tepat utara jembatan sebelah timur jalan dari arah utara. Setelah memesan dua es degan, satu bungkus rokok Djarum Super, dan satu makanan ringan. Saya tidak tahu berapa harga semuanya itu, karena teman saya yang membayarinya.


(26/02/13)

Senin, 25 Februari 2013

Kuliah Pertama Masuk



Masuk kuliah pada hari pertama banyak kesan yang belum saya dapat pada semester sebelumnya. Ada saling menjatuhkan antara mahasiswa satu dengan lainnya. Lewat argumen mereka beradu. Argumen yang tidak lebih saya anggap sebagai  penunjuk diri absurd. Dan beberapa kata-kata yang sama sekali tidak penting dalam perkuliahan kali ini.
Berawal dari curhat terkait akademik yang dinilai oleh beberapa mahasiswa merugikan dan tidak stabil. Dan terkesan sebuah borok yang berkelanjutan dari masa ke masa. Terungkap lewat mereka yang memberikan contoh pada era jauh sebelum mereka. Menilai itu, saya berfikir mereka hidup pada masa sekarang.
Dilanjutkan pada salah satu mahasiswa yang ikut semester saya. Dia adalah mahasiswa semester dua yang kebetulan beruntung mengambil mata kuliah yang sama dengan saya. dia mengungkapkan beberapa gagasan filsafat dasar yang dia tempuh pada semester satu. Persis dengan apa yang saya dapat dulu. Yang mengungkapkan dengan kata “universal” lah, atau kata-kata yang lain tidak sesuai konteks pembicaraan kali ini.
Menyusul salah satu teman yang berbicara soal hukum. Dia tampil sebagai orang yang paling dan bisa mengerti hukum. Namun, lagi-lagi tidak mengena konteks. Mungkin mereka selama ini tidak mendapat mata kuliah penempatan teks terhadap konteks, (meski, di kampus ini tidak mata kuliah seperti itu). Minimal mereka mendapatkan sesuatu yang bersinggungan dengan itu. Sejarah hukum Islam, misalnya. Kan ada penyesuaian teks dan konteks. Begitu juga mata kuliah lain, saya rasa itu ada meski secara implisit.
Dari obrolan GJ itu, saya berfikir untuk menengahi mereka minimalnya. Saya mengungkapkan, tradisi kuliah di sini adalah pertemuan pertama di isi dengan perkenalan dan kontrak perkuliahan. Tapi mengapa mereka harus mengisi dengan hal-hal GJ seperti ini. Dan saya menegaskan, jika bicara teknis ya harus tepat. Menempatkan teks kok tidak sesuai dengan konteks-nya. J
Dari situ, sang dosen memutuskan untuk mengakhiri pertemuan dan dilanjutkan untuk pertemuan selanjutnya pada Minggu depan.


*Dalam tulisan ini, saya menghilangkan obrolan GJ lainnya. Karena pada intinya sama. Sebatas sahut-sahutan ocehan saja. J


(25/02/13)

Jumat, 22 Februari 2013

Analisis Framing



Hawa panas jumat (22/02) masih terasa. Saya dan dua teman, Budi dan Ulum tidak bicara sepatah kata apapun. Kami berdiam diri sibuk dengan urusan masing-masing. Budi sibuk otak-atik komputer, sedang Ulum sibuk membaca koran. Dan saya tidak melakukan apapun hanya bermain Hp, karena baru datang di sekret.
Satu jam berlalu. Pukul 14.54 Ulum mengingatkan saya pada diskusi yang akan dimulai. “Sudah hamper jam tiga. Temen-temen kok belum datang ya?” Tanya Ulum. Saya acuh pada pertanyaan Ulum. Kemudian dia menambahkan, jika Richa salah satu calon anggota baru akan datang. Dia mengetahui itu dari status facebooknya. Mendengar itu saya hanya tertawa dan meninggalkan Ulum di sekret bersama Budi untuk keluar ke toilet.
Setelah selesai dari toilet. Masih belum juga datang teman-teman. Hingga Ulum memutuskan mencari nasi sembari menunggu teman-teman. Selang beberapa menit mereka datang. Febri, Lia, Richa, dan beberapa teman yang menyusul di belakangnya.
Budi membuka diskusi kali ini dengan tujuh calon anggota baru. Diantaranya: Rauf, Bunga, Lia, Febri, Fitri, Rere, Richa. Budi melanjutkan diskusi jumat kemarin terkait “Analisis Framing”. Dia memberikan kertas satu lembar kepada masing-masing peserta diksusi. Itu adalah tulisan Budi yang berjudul “Mencetak Jurnalis Muda”. Pertama, Budi menjelaskan, perbedaan antara positivis dengan konstruksionis. Dalam penjelasan itu dia menerangkan, pandangan yang digunakan dalam framing adalah kontruksionis. Bukan sekadar pada positivis. Karena positivis lebih mangarah pada kebenaran yang di dapatnya sendiri, tanpa melalui sebuah konstruksi oleh diri.
Diskusi semakin mengalir setelah beberapa teman baru yang bertanya. Richa, misalnya. Dia bertanya masalah subyektif seorang wartawan yang tidak obyektif. Dalam kesempatan itu, Budi menjawab, sesungguhnya seorang wartawan memang subyektif. Namun, setelah dia mengungkapkan kebenaran sesuai yang terjadi. Itu akan menjadi sebuah ke-obyektifan seorang wartawan. Mereka masih bingung dengan masalah itu. Dan saya hanya menambahi, dalam pemberitaan yang terpenting adalah “cover both side”. Maksudnya berita harus berimbang dan tidak berat sebelah. Berat di sini lebih condong pada suatu kelompok atau golongan.
Guna memperjelas kebingungan teman-teman. Budi menambahkan, misalnya dalam tulisannya itu. Yang memang pada awal diskusi belum dibahas. Karena dia masih memberikan pengantar diskusi saja, sebelum membahas isi tulisan itu. Budi menjelaskan, tulisan yang sudah kami pegang adalah sebuah konstruksi terhadap sebuah lembaga yang bagus. Terbukti tidak ada kata-kata yang membuat citra lembaga itu buruk. “Dan itulah yang dinamakan framing,” katanya. Framing adalah sebuah pembingkaian terhadap suatu peristiwa sesuai wartawannya. Dia mencontohkan, dalam tulisan itu terdapat kutipan dari salah satu perserta yang ikut acara pelatihan jurnalistik. Dalam kutipan itu peserta sangat antusias terhadap acara pelatihan jurnalistik. Ini yang kemudian membentuk sudut pandang pembaca bahwa acara itu memang di ikuti oleh peserta secara antusias.
Namun, Rere, salah satu orang yang ikut dalam pelatihan itu menyanggah pernyataan Budi. Dia mengungkapkan, tidak semua orang yang mengikuti acara itu antusias. Terbukti beberapa orang tidak hadir untuk mengikuti kegiatan pelatihan itu. Menanggapi pernyataan Rere. Budi menjawab, lagi-lagi dia mengatakan itulah yang disebut dengan framing. Yaitu membuang sisi lain dari suatu peristiwa dan menonjolkan satu sisi saja. Mendengar itu, Lia menyambung, “berarti dalam framing memang membuang satu sisi dan menonjolkan satu sisi saja ya mas?”. Dan Budi membenarkan pernyataannya itu.
Memperjelas pernyataannya itu. Budi member gambaran pada sebuah media yang mengabarkan teroris. Pasti yang di beritakan orang yang memakai baju gamis. Pakai kopyah, dan beberapa atribut yang dapat menggiring pembaca pada sebuah asumsi kalau teroris adalah orang Islam. Pada kenyataanya adalah ada beberapa teroris yang berasal dari agama Kristen. Itulah yang kemudian menonjolkan satu sisi. Saya hanya menambahkan kalau media itu punya nilai, unsur, dan aturan yang harus di patuhi dalam pemberitaan. “Dan itu sudah kalian dapatkan waktu PJTD dulu,” ujar saya.
Diskusi kali ini membuat saya kesimpulan, framing menjunjung satu sisi namun masih tetap pada kode etik jurnalistik. Juga beberapa unsur, nilai, dan aturan dalam berita.


(23/02/13)

Liputan


Saya dan teman-teman sekret ada janji hari ini, 20 Februari 2013. Akan liputan berita di daerah sekitar kampus. Adalah yang membuat janji saya pada teman-teman. Pukul 09.00 kami akan kumpul di sekret membicarakan berita untuk media kami, Buletin kampus.
Datang pertama menjadikan saya harus menunggu beberapa teman. Budi, Ulum, misalnya. Mereka masih belum kelihatan batang hidungnya di depan sekret. Padahal waktu sudah menunjukkan sembilan lewat. Dan sekret masih dalam tertutup pintu dan jendelanya. Mereka lagi-lagi terlambat datang. Bertemu dengan anak pecinta alam dan olahraga kami saya mengobrol dengan mereka. Sembari menunggu Budi dan Ulum datang, karena kunci di bawa Budi.
Selang beberapa menit Ulum tersenyum melihat saya di atas laju sepeda motornya. Dan Budi datang dari arah utara, tepat di timur ruang 6 Jurusan Tarbiyah. Saya yang duduk di tempat parkir hanya menyapa mereka dan tidak langsung ke sekret. Mereka berdua masuk bersama. Anak PA kembali ke gedung UKM dan anak olahraga ikut saya masuk ke sekret. “Aku ikut kamu ya, sambil nunggu temen-temen datang,” ujarnya. Saya tidak menolak dia untuk ikut masuk ke sekret bersama. “Ayo,” kata saya.
Masuk sekret Budi sedang mengoperasikan komputer, membuka akun facebook. Dan Ulum membaca koran harian yang sudah menjadi langganan kami. Budi bertanya pada saya terkait agenda anggota baru dan liputan berita untuk media kami. Obrolan kecil terbentuk, sedangkan anak olahraga berada di luar sekret setelah tahu kami sedang ngobrol yang mungkin agak penting, J. Tidak tahu sedang apa. Budi mengatakan, jika dia sekarang tidak dapat bantu liputan. Disebabkan ada tugas yang belum selesai. Setahu saya dia sedang mengikuti PPL di sebuah media lokal di Jember. “Kamu liputan dengan Ulum dulu ya. Aku masih ada tugas ini,” ujarnya. Saya dan Ulum mengolok-olok Budi. Terlalu cepat lulus, sok aktif, dan beberapa hujatan yang kami lontarkan padanya.
Perut ini masih belum terganjal makanan. Saya memutuskan untuk mencari sarapan lebih dulu. Menggunakan sepeda motor Ulum saya berangkat. “Tidak titip apa?” tanya saya pada mereka. “Tidak usah. Sudah sarapan kok,” jawab Budi.
Lauk tempe, tahu, kerupuk, dan tahu isi menjadi menu kali ini. Dengan harga empat ribu rupiah. Tempatnya di pojok utara arah menuju perpustakaan kampus. Selesai makan saya membicarakan terkait liputan. Tidak panjang lebar dan kami berangkat menuju tempat liputan dengan jalan kaki. Lewat jalan sebelah timur asrama putri lurus selatan gerbang ada jalan setapak arah barat. Nanti akan menghubungkan dengan salah satu pondok di daerah Mangli ini. Rata-rata di huni oleh para mahasiswa, laki maupun perempuan.
Sampai di pertigaan di depan fotocopy saya bertanya pada Ulum. “Dimana rumah pemilik usaha itu yang sudah diberikan oleh ketua RT kemarin?” tanya saya. “Itu- sambil menunjuk rumah pada deretan pertama dari kami berdiri- yang ada orangnya,” jawabnya. Kami berjalan menuju tempat orang berkumpul di depan rumah yang terdiri dari tiga orang. Salah satu dari mereka adalah yang memiliki usaha tersebut.
“Apa betul ini rumah pak Sunaryo?” tanya Ulum.
“O, yang itu dek. Yang ada sepeda motornya di belakang,” jawab salah seorang ibu.
Mendapat informasi keberadaan pak Sunaryo kami langsung menuju rumahnya. Sampai di rumah dia sedang mencari sesuatu. Tidak tahu pastinya. Dan kektika mendapati saya dan Ulum ada di belakangnya langsung mempersilakan kami masuk ke rumahnya. Ulum langsung memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud tujuan datang ke rumahnya. Selagi Ulum memperkenalkan diri saya menyiapkan alat rekam yang kebetulan Hp. Dan menaruhnya di meja yang letaknya agak jauh dari tempat duduk pak Sunaryo. Saya tidak minta ijin secara kata-kata. Karena Ulum sedang memperkenalkan dirinya. Menggunakan bahasa tubuh sebagai isyarat ingin merekam saya lakukan pada pak Sunaryo dan dia membalas dengan menganggukkan kepala.
Pertanyaan mendasar kami lontarkan sampai pada pertanyaan yang agak penting. Beliau menceritakan semua yang ada tanpa ada ragu atau meralat omonganya. Begitu mengalir wawancara kami. dia yang sudah menua terkadang mengambil nafas dalam karena pertanyaan kami yang sampaikan bertubi-tubi tanpa ada jeda. “Mumpung dia mau jawab,” pikir saya.
Informasi terkahir dan penting sudah kami kantongi. Sebelum pamitan kami meminta kepadanya agar jika ada kekurangan data atau informasi dengan terbuka memberikan informasi itu. Dengan terbuka dia mempersilakan kami untuk itu. “Iya, tidak apa-apa main ke sini lagi,” ujarnya dengan berdiri saat kami pamitan.
Kami melanjutkan perjalanan ke rumah ibu Suwati yang menurut pak Sunaryo adalah pemilik usaha yang dikelolanya dan lebih paham terkait data yang kami butuhkan. Kami tidak menyangka jika ibu yang memberti tahu rumah pak Sunaryo adalah Suwati. Hanya pertanyaan penting yang kami lontarkan padanya. Sekitar lima menit kami di rumah Suwati.
Berdasarkan keterangan pak RT, orang yang paling sukses dalam usaha itu adalah pak Tris. Rumahnya terletak di depan sebuah warung yang biasa menjadi tongkrongan sebagian golongan mahasiswa. Sampai di sana pak Tris tidak ada di rumah. Kami memutuskan untuk kembali ke sekret dan melanjutkan pada esok hari.
Waktu masih panjang. Kami berangkat lagi ke rumah pak RW yang ada di daerah Mangli sebelah utara, dusun Krajan. Jalan menuju rumahnya adalah gang-gang kecil yang harus kami lalui. Tidak tahu pasti rumah pak RW kami bertanya pada warga sekitar. Saya tidak tahu pasti apa yang dibicarakan Ulum pada seorang bapak yang kebetulan berada di depan rumah. Saya menunggu Ulum di dekat pemakaman umum umat muslim. Dia diantarkan bapak itu ke rumah pak RW. Setelah tahu Ulum mengajak saya ke rumahnya langsung.
Tiba di depan rumah. Pintu tertutup rapat. Dan jalan yang menuju pintu rumahnya ada gerbang yang terbuat dari bambu berukuran tinggi selutut dan lebar tiga jengkal tangan orang dewasa. Kami memutuskan untuk pulang. Ada seorang warga lain mencegah kami. “Mau mencari pak RW ya mas. Sebentar, mungkin lagi menggoreng,” ujar orang yang memakai topi dan berkumis itu. Setelah memastikan orang yang ada di dalam rumah. Bapak itu menghampiri kami. “Pak RW sedang keluar mas. Ke sini lagi nanti setelah magrib saja mas. Pasti ada kok, sekarang masih keluar,” tuturnya.
Kali ini kami mendapatkan narasumber satu dengan informasi yang masih minim. Beberapa data masih belum berimbang. Dan membutuhkan narasumber yang memang mempunyai cara berbeda dengan pengusaha yang pertama. Itulah yang menyebabkan kami butuh narasumber yang ke dua ini. Semoga berita kami berimbang dan tidak berat sebelah.
Lewat pukul 09.00 saya berangkat ke sekret dengan jalan kaki. Pertengahan jalan saya menjumpai sebuah truk yang rusak. Salah satu ban sebelah kanan belakang copot. Tidak tahu pasti penyebabnya. Karena tidak ada kerumunan orang di sekitar itu saya tidak menanyakan apa yang sedang terjadi. Membawa kamera digital inventaris sekret saya mengambli gambar. Malu ketahuan orang mengambil gambar. Cepret! Saya ambil gambar dengan berjalan. Kiri jalan ada sebuah toko yang di depanya ada dua orang wanita. Salah satunya sudah penuh putih rambutnya. Mereka mendapati saya mengambil gambar secara berjalan. Dan menertawakan apa yang saya lakukan. Hanya saya balas dengan senyum pula.
Di pintu gerbang kampus saya mengirim pesan lewat telepon seluler kepada Budi. Intinya bertanya padanya apa sudah ada di sekret. Selang beberapa detik Hp berbunyi. Dia menjawab pesan dan sudah ada di sekret. Tiba di sana Ulum belum datang. Terbentuk obrolan GJ. Sampai beberapa calon anggota magang berdatangan ke sekret. Pun dengan Ulum.
Keputusan kemarin, hari ini adalah liputan lanjutan dan pembahasan teknis lanjutan magang. Saya mengambil baju seragam sekret berwarna hitam yang dari kemarin ada di tempat saya. Baju itu terdiri dari dua tulisan dan satu lambang. Tulisan itu adalah NPM lembaga dan nama lembaga dan lambang lembaga. Biasanya di gunakan untuk acara resmi atau hendak liputan ke luar kampus.
Beberapa calon anggota sudah kumpul dan beberapa tidak hadir. Mungkin mereka masih ada di rumah menikmati masa liburan mereka. Sosialisasi teknis lanjutan magang di buka oleh Budi dan Ulum yang menulis keterangan teknis di papan. Rampung sosialisai mereka di beri tugas untuk rapat redaksi kecil-kecilan dengan jumlah kelompok kurang di dalam sekret ataupun di luar. Tidak ada ikatan.
Semua calon anggota rared di luar. Saya dan Budi memutuskan liputan lanjutan. Sedangkan Ulum tetap di sekret takut ada tamu atau mereka masih ada yang bingung terkait teknis magang tadi. Budi yang memakai seragam sekret membonceng saya menuju rumah pak Muhaimin salah satu pengusaha juga.
Di depan rumah pak Muhaimin kami melihat pintu rumah yang tertutup. Tapi gerbang terbuka sekitar setengah meter. Kami masuk dan bingung apakah ada orang atau tidak. Acap kali Budi melihat ke belakang rumah yang menurutnya tempat produksinya di belakang. Dia berpikiran jika pak Muhaimin sedang ada di belakang sibuk memproduksi usahanya.
Tiba-tiba pintu rumah terbuka. Muncul seorang perempuan dan mempersilakan kami masuk. Kami pun masuk. Budi menjelaskan identitas, dan maksud tujuan datang ke rumah pak Muhaimin ini. Ibu itu menanggapi dengan baik setiap apa yang ditanyakan Budi padanya. Ibu itu adalah istri dari pak Muhaimin.
Ibu menjelaskan, bapak masih di luar, mengajar di sekolahan. Datangnya tidak pasti, namun jam dua sudah ada. Dia juga menyarankan, jika datang ke sini pagi-pagi saja. Tapi sebelum pukul 07.00, karena mengajar. Budi meminta nomor yang dapat digunakan untuk menghubungi pak Muhaimin. Rampung memberikan nomor, kami berpamitan pada ibu itu. “Nanti, saya hubungi langsung ke pak Muhaimin saja buk,” kata Budi. “Iya mas,” jawab ibu yang memakai kerudung cokelat.
(22/02/13)

Koes Plus


Pulang sekolah tidak pulang ke rumah. Kebiasaan ini mulai saya kelas tiga sekolah menengah atas di salah satu sekolahan di daerah Wuluhan. Nama sekolahan itu adalah MA ALMA’ARIF 03. Sekolah yang berdiri di bawah yayasan lembaga ma’arif. Tapi saya tidak pernah mengerti apa dan bagaimana tugas dari yayasan itu. Karena saya tergolong dengan orang yang tidak begitu memerhatikan segala sesuatu yang sifatnya formal. Merasa sesuatu yang non-formal lebih asik dan bebas. Tapi masih tetap berkualitas. Hahaha
Perjalanan sekolah sampai pada rumah membutuhkan waktu setengah jam perjalanan sepeda ontel. Sudah terbiasa panas-panasan, sampai jika sempat pulang ke rumah acap kali mendapatkan semacam ceramah dari orang tua. “Kok tambah ireng to le (kok tambah hitam to le?)” kata ibu saya. Hal seperti itu saya acuh. Karena belajar adalah hal penting, maka berkorban penting juga. Hahaha
Lewat pukul 13.00 saya sampai di rumah kakak. Tepatnya bukan kakak kandung, melainkan kakak dari anak mbak ayah saya. Tidak tahu pasti sebutan terkait silsilah keluarga. Tetap pada biasa. Lagu Koes Plus memenuhi ruangan kamar yang berukuran 2x2 meter. “Lagu ini pernah menjadi tren dulu pada eranya,” kata mas yang lahir pada tahun 80-an ini.
Perkara populer bukan ukuran saya menyukai sebuah lagu. Tapi enaknya. Satu lagu yang sering di putar dan saya dengar. Adalah “Kolam Susu” yang menjadi salah satu lagu favorit untuk mas. Begitupun dengan saya. Lagunya lucu dan menghibur. Setiap mampir ke sini, meminta mas untuk memutarkan lagu ini secara berulang. Soalnya masih belum hafal.
Setelah lulus sekolah menengah atas saya melanjutkan studi di salah satu perguruan tinggi di daerah Kaliwates. STAIN Jember namanya. Detailnya di Jurusan Syariah, Program Studi Al-Ahwal Al-Syakhsiyah angkatan 2011. Meski banyak orang atau teman mahasiswa menyangka saya adalah mahasiswa yang hampir lulus. Acap kali saya tertawa sendiri dengan mereka yang semesternya lebih atas ketika bertemu menundukkan kepala secara berlebihan. Hahaha, parah. Orang-orang menyebutnya jurusan hukum. Pada awalnya tidak mengerti akan jurusan yang saya pilih. “Asal pilih saja, perkara setelahnya ya dihadapi selanjutnya,” pikir saya.
Beberapa minggu di sini ada sebuah organisasi yang membuka pendaftaran bagi calon anggota baru. UPM Millenium, namanya. Jalan atau bentuknya yaitu media dan pers mahasiswa. Organisasi yang berkecimpung pada jurnalistik ini di bawa oleh orang-orang yang aktif di beberapa organisasi. Intra, misalnya. Ada mahasiswa yang dari pecinta alam, resimen mahasiswa, dan beberapa orang lain yang aktif di organisasi intra lainnya.
Pamflet penerimaan anggota baru tersebar di beberapa mading kampus. Pembelajaran puisi, salah satu isi pamflet itu. ini membuat saya ingin masuk dan mendalami bidang puisi, sekadar kesukaan saja. Selebihnya tidak begitu suka. Membuat karya ilmiah, berita, dan beberapa yang terkait dengan jurnalistik, misalnya. Lebih memilih menghindar dengan hal seperti itu. Karena terasa sangat kaku, tidak kalem seperti puisi. Yang kebanyakan dan bisa membuat orang merinding dan sedih ketika mendengar seseorang membacakan puisi. Dan lebih dapat mengungkapkan perasaan diri.
Akan tetapi, setelah masuk di UPM Millenium bertemu dengan orang-orang yang militan dan keren. Membuat saya betah dan mulai menyukai bidang jurnalistik. Ya meski ada teman Unej yang bilang, “saya masuk di persma karena terpaksa dan terlanjur.  Masuk di persma berharap mendapatkan ilmu fotografi. Setelah masuk, tidak ada. Ya saya berpikir untuk mulai mengadakan fotografi saja”. Di UPM MIllenium ada yang ahli puisi, dan juga ahli berbahasa inggris sampai memenangkan beberapa lomba tingkat perguruan tinggi. Hanya dua orang pada waktu itu yang membuat saya termotivasi. Selebihnya belum tahu. Dia adalah Fais dan Afwan.
Bulan-bulan berlalu menanggalkan kalender yang ada dalam handphone Smart saya. Dalam masa yang cukup singkat itu, saya diperkenalkan dengan teman-teman pers mahasiswa unej. Sama halnya Fais dan Afwan. Mereka yang di Unej lebih pada suka baca buku lucu-lucu. Filsafat, jurnalistik, dan beberapa buku bagus lainnya. Hadir selalu menemani keseharian mereka.
Pada tanggal 21 Februari 2013 saya membaca buku “Jurnalisme Sastrawi Antologi Liputan Mendalam dan Memikat” yang di tulis oleh beberapa wartawan sangar. Diantaranya, Andreas Harsono, Alfian Hamzah, Agus Sopian, Eriyanto, Chik Rini, Coen Hosain Pontoh, Linda Christanty, dan Budi Setiyono-mirip nama anggota UPM Millenium angkatan 2009. Dalam buku itu, Budi Setiyono menulis hasil liputannya berjudul “Ngak-Ngik-Ngok” yang dimuat dalam majalah Pantau, Oktober 2001. Dalam tulisannya mengisahkan grup band Koes Bersaudara-nama awal Koes Plus- pada masa awal sampai pada nama Koes Plus ada pada tahun 1969. Ini menceritakan perangnya pada rezim Orde Lama dengan berbagai alasan budaya yang sebenarnya saya nilai sebagai sebuah politik belaka. Angkernya tulisan itu. Saya diajaknya berjalan-jalan pada masa lampau dengan begitu kejam dan kuasanya seorang pemimpin pada masa itu.
Rasa salut dan tersanjung pada grup band “Koes Plus” yang membawa lagu-lagu lucu dan enak tapi tetap mengandung makna lebih. Seperti dijelaskan dalam reportase Budi-wartawan, lirik bukan lautan hanya kolam susu. Di sana tertulis, “menggendong bayinya dan memberi minum susu saja enggak bisa kok mas Yok bilang kolam susu,” halaman 258. Yok (Koesrojo)adalah salah satu personel grup band Koes Bersaudara yang merupakan anak dari Koeswojo dari Sembilan bersaudara. Dari lirik itu bangsa ini mendapatka peringatan dari Koes Bersaudara. Juga pada lirik tongkat yang diartikan sebagai sebuah lambang begitu kaya dan makmurnya negeri kita ini. Namun, pada zaman sekarang tongkat itu dialih fungsikan sebagai tongkat estafet yang menjadi rebutan para penguasa. Hahaha, J
Rampung membaca tulisan Budi, saya semakin suka dengan lagu-lagu Koes Plus. Karena dia berjuang demi bangsa dan Negara ini. Bukan sekadar popularitas yang mereka kejar. Membuat saya iri dengan mereka. Salutnya lagi, Cuma masalah lagu mereka harus mendekam di bui. Wow,,, sungguh zaman yang sangat bebas sekarang. Tidak seperti dulu. Banyak orang kritis harus mendapat ancaman setiap harinya dari pihak pemerintah. Meski, sekarang juga masih ada praktik seperti itu. tapi, sudah tidak terlalu fulgar. Kita kan sekarang hidup di zaman demokratis. Pernah saya membaca tulisan orang kita masih belum pada masa itu, demokratis secara utuh. Hahaha.
Saya ucapkan terima kasih buat mereka yang memperjuangkan bangsa ini menjadi demokrasi. Tidak terbayang jika sekarang masih pada rezim Orde Lama atau Baru. Menakutkan,,, hahaha 


(21/02/13)

Rabu, 20 Februari 2013

Ramadhan

Pintu gerbang terbuat dari kayu. Yang disebelah kanan dan kiri terdapat patung semacam singa duduk. Saya lupa nama patung itu. Meski sudah di beritahu oleh pemilik rumahnya. Setelah masuk halaman dipenuhi dengan tumbuh-tumbuhan. Beberapa macam bunga tersedia. Ada yang dibiarkan merambat. Ada yang ditanam di pot bunga. Bunga yang merambat banyak dihuni oleh ular. “Jika tanaman yang itu mas (sambil menunjuk tanaman merambat), sering ular jalan-jalan di jalanan ini,” kata orang yang tinggal di daerah dekat DIY ini. Jalan yang dimaksud adalah jalan setapak menuju ruang kerjanya. Tepat utara garasi mobil.
Sangkar burung menggantung di bawah pohon kenanga. Beberapa sangkar digantung di depan rumahnya. Tepat di atas tempat duduk santai di waktu siangnya. Dia adalah seorang pelukis, karikaturis, dan orang tua dari dua buah anaknya.
Di sebelah selatan berdiri bangunan rumah Jepang. Tidak tahu seberapa besar ukuran rumah itu. Siang itu, pintunya terbuka. Saya melihat lukisan perempuan di dalamnya. Mungkin mengandung arti lebih bagi dia. Karena sampai di taruh di dalam tempat yang sering digunakan untuk merenung, dan santai. Lebih enaknya, saat galau atau menyendiri. Hahaha. “Bapak sering ke sana ketika merenung dan melukis. Biasanya waktu santai bapak di lakukan di sana,” ujar salah seorang pembantu rumah tangga.
Bapak itu ramah dan terbuka sekali. Cerita keluarga, karir, masa muda, dan beberapa masalah yang dia sedang hadapi. Ancaman, misalnya. Tak jarang mendapat ancaman dari pihak pemerintah tatkala menggambar sesuatu yang sangat mendalam. “Sering mas saya mendapat ancaman. Ya, gambar ini tidak boleh terbit, terlalu kritiknya, macam-macamlah,” ujar lelaki yang duduk di kursi kayu di depan ruangan kerjanya ini. Dia juga bercerita, kasihan teman-teman media. Memaksa gambarnya terbit dan mendapat tekanan dari pemerintah. Takutnya seperti pada masa Soeharto dulu, banyak media yang stok kertas di batasi. Sehingga beberapa media tak bisa terbit. Beberapa urusan lain dipersulit. “Kan kasihan,” kata lelaki yang rambutnya mulai memutih ini.
Dia mengatakan, sukses seperti ini. Bekerja di media nasional, beberapa tahun hidup di luar negeri, Jepang. Tidak serta merta. Butuh waktu puluhan tahun untuk mencapai posisi seperti sekarang ini. “Kalau menjadi pelukis karbitan mudah sekali untuk zaman sekarang ini  mas. Seperti ada teman saya. Dia dalam beberapa bulan mendapatkan uang dari lukisan yang laku sangat. Tapi setelah itu, dia tidak mendapat masukan dari lukisannya karena tidak ada yang membeli lukisannya itu,” katanya. Dia menambahkan, butuh waktu lama dan telaten untuk mencapai sukses. Tidak cepat. Semua itu butuh proses lama. Dalam pencapaian karirnya membutuhkan waktu puluhan tahun. “Tapi ya lumayan mas. Pada waktu tua ini, tinggal menikmati hasil jerih payahnya mas,” ujarnya sambil tersenyum lepas.
Matahari mulai meninggi. Sekitar pukul 10.00. Ada laki-laki yang usianya sekitar tiga puluhan berjalan ke arah kami ngobrol. Perawakanya pendek. Perutnya agak buncit. Mereka berbicara layaknya juragan dengan majikan. Ada yang mendapat instruksi dan pemberi instruksi. Namun, mereka tampak akrab. Jika saya melihat, seperti saudara sendiri. Begitu halus instruksi yang dikeluarkan. Saya tidak menghiraukan pembicaraan jelasnya mereka. Tetapi, mereka membicarakan persiapan melukis untuk lomba yang akan di selenggarakan di DIY.
Kami melanjutkan obrolan. Dia bercerita, mempunyai dua istri. Istri yang pertama beragama Kristiani. Dan yang kedua Islam. Pada awalnya dia beragama Kristen. Beragama Islam masih beberapa tahun ini. “Saya dulu umat Kristiani,” ujarnya. Dia sudah melaksanakan ibadah haji. Tetapi, dalam hajinya mengalami kejadian yang dianggapnya merupakan balasan.
“Waktu muda, saya pekonsumsi MIRAS, narkotika, dan semacamnya,” katanya. Pada waktu haji, dia menambahkan, mengalami masalah-masalah yang ruwet. Mulai dari paspor yang hilang tiba-tiba. Tertinggal kendaraan di padang pasir pada jalan yang menanjak, dan beberapa masalah lain yang berkaitan dengan kesehatan. “Pernah saya mengalami batuk yang tidak seperti biasa. Namun saya meminta pada tuhan jika memang saya sakit di rumah saja. Jangan di sini,” ungkapnya.
Ibadah haji selesai. Beberapa hari di rumah dia jatuh sakit parah. Dia muntah sesuatu yang kotor yang menurutnya disebabkan oleh debu padang pasir sewaktu di Arab. Beberapa bulan terbaring di atas ranjang rumah sakit menghasilkan sebuah lukisan. Dalam lukisan itu, dia sedang membawa boneka di tangan kananya sedangkan tangan kirinya tidak memegang suatu apapun. Baju hitam membalut tubuhnya yang keriput, pucat.
Pada 08 Agustus 2012 saya dan salah satu teman berangkat menuju DIY dengan kereta dari stasiun Pasuruan. Adalah Udin teman akrab mulai kami duduk di bangku sekolah dasar sampai SMA. Akan tetapi, SMP kami tidak sama. Dia sekolah di SMP Negeri 1 Wuluhan. Saya di SMP Ma’arif 08 Ampel. Dan kami menjadi satu sekolahan kembali waktu SMA. Ini membuat saya semakin akrab denganya, maupun keluarganya. Hari libur sekarang, saya memilih untuk jalan-jalan bersama Udin di DIY. Tak ada tujuan pasti antara kami. Yang penting, adalah mampir di rumah seorang pelukis hebat di daerah dekat DIY.
Kami berangkat pagi dari Pasuruan dan tiba di stasiun Klaten pada waktu Duhur hampir Asar. Berteduh di mushola dekat stasiun menjadi pilihan. Tempatnya sejuk. Ada dua kamar mandi yang lengkap dengan sabunnya. Bekal sabun dari rumah yang kami pakai lengkap dengan sampo yang terbungkus dengan plastik. Selesai mandi dan istirahat kami melanjutkan perjalan mencari rumah seorang pelukis yang terkenal itu.
Kembali ke daerah stasiun mencari angkutan umum sekaligus menanyakan alamat yang kami dapat dari pelukis itu. Buntung kami tidak mendapatkan angkutan umum. Beruntungnya informasi yang kami butuhkan muncul dari tukang becak yang berjejer di utara stasiun. “Kalau alamat ini saya tahu mas,” kata salah seorang tukang becak.
Akhirnya kami memutuskan untuk naik becak. Perjalanan cukup nyaman. Meski terkadang suara nafas yang terengah-engah muncul dari belakang kami, sopir becak. Membuat saya tidak tega dengan sopirnya. Karena jalanan yang kami tempuh naik turun.
Tiba di depan rumah dekat masjid, kami diturunkan. “Sudah sampai mas,” kata tukang becak. Kami turun dan membayar ongkos becak dua puluh ribu rupiah. sebelum tukang becak itu kembali, dia memanggil seorang tukang kebun yang ada di dalam rumah tepat kami diturunkan. “Pak, ini ada dua anak dari Jember mau ketemu bapak. Sampean ajak masuk saja,” tuturnya. Tukang kebun itu tidak mengijinkan kami masuk. Dengan alasan yang punya rumah belum datang. “Bapak masih ke Yogya, berobat mas. Besok saja mas ke sini lagi,” ujar tukang kebun yang berbicara lewat lubang kecil, di dinding pagar rumah bagian depan.
Mendengat itu, kami memutuskan beristirahat di Masjid selatan rumah yang kami tuju. Sembari menunggu bapak pelukis itu datang dari Yogya. Komunikasi lewat telepon seluler saya lakukan. Nomor pelukis itu sewaktu saya hubungi tidak ada jawaban. Sering rasa, pasrah dan lelah menghinggapi saya.
Speaker masjid sudah mulai ramai. Pertanda buka sudah di putar. Kami berjalan menyusuri kota ini dengan jalan kaki. Mencari sesuatu untuk buka kali ini. Berbuka dengan satu mangkuk mi ayam dengan minum es cendol mengganjal perut kami. Setelah magrib kami kembali melihat rumah pelukis itu. Sepi. Rumah yang cukup besar ini tak ada suara ramai orang. Lampu yang remang-remang membuat kesan angker. Kami memutar menjelajahi jalanan yang ada di komplek perumahan.
Anjing melonglong dengan kerasnya. Kami takut hewan itu mengejar. Karena tak ada rantai atau kendali di lehernya. Lari secepat mungkin kami lakukan menghindari kejaran anjing itu. Pagar yang ada di depan rumah menghalangi anjing untuk mengejar dan kami selamat dari kejarannya.
Berlarian malam-malam membuat perut kami merasa lapar. Jalan kami putar menuju tempat buka puasa tadi. Sekitar satu setengah kilo jalan yang harus kami tempuh. Sepanjang jalan yang kami lalui tidak ada warung buka. Hanya pedagang mi ayam dan sate. Dengan perut lapar, mondar-mandir kami lakukan. Sampai di depan bengkel, ada warung kecil penjual jajanan goreng seperti pisang goreng, tahu, dan ote-ote.
“Pak, ada nasi bungkus?” tanya Udin.
“Ada, seribuan dik,” jawab pedagang itu.
“Ini pak uangnya,” kata Udin dengan memberikan uang enam ribu rupiah kepada pedagang itu.
Bungkusan yang berukuran satu kepal anak SD ini kami bawa ke Masjid yang tadi. Di tengah jalan, kami membeli air mineral 600 ml di dekat jalan raya. Duduk santai di depan toko tutup yang tidak terjamah cahaya lampu membuat setiap orang yang lewat melihat kami.
Masalah hampir mampir pada kami. ada anak yang kehilangan sepeda sewaktu kami berjalan menuju Masjid. Beruntung kami tidak di curigai. Mungkin wajah yang terlalu polos membuat orang berpikiran baik pada saya. Hahaha
Sampai di Masjid kami langsung makan. “Ini merangkap dengan sahurnya,” kata teman saya sambil tertawa pelan karena waktu sudah larut malam. Malam ini kami tidur nyenyak di atas karpet Masjid yang tak ada dindingnya ini. Hanya pagar dengan tinggi setengah meter mengelilingi masjid. Setelah Subuh saya mendapat telpon dari pelukis itu.
“Ada dimana sekarang mas?” tanya dia.
“Saya ada di Masjid selatan rumah bapak,” jawab saya.
“Langsung ke sini saja mas. Saya sudah ada di rumah”
“Iya pak”
Jarak Masjid dengan rumahnya hanya sekitar lima meter. Masuk rumah dia sudah berdiri di depan rumah mengenakan sarung dan baju hitam. Waktu jabat tangan dia bergumam, wah para facebooker ini. Mungkin karena kami kenal lewat akun facebook kali ya. Ngobrol santai di depan rumah terbentuk. Tidak berapa lama kami di ajak pindah di rumah sebelah utara. Tepatnya di utara garasi mobil. Ada tiga kursi duduk dan satu lagi yang bentuknya memanjang.
Obrolan seputar kabar, dan kisah kami sewaktu datang dan dia tidak ada di rumah. Yang intinya dia meminta maaf karena oleh penjaga kebunnya tidak diperkenankan masuk rumah. Dikarenakan baru kemarin ini burung peliharaan kesayangannya hilang. “Kemarin itu halaman saya ini penuh dengan burung (yang saya tidak hafal nama burung yang dia sebutkan). Burung-burung ini saja (sambil menunjuk beberapa burung yang menggantung di pohon dan teras rumah) baru beli lagi kok mas,” katanya.
Dia juga menceritakan seputar keluarganya, pengalamannya, penyakitnya, dan beberapa masa lalu yang suram pada masa mudannya. Singkatnya, dia adalah pemuda yang suka minum-minuman keras, pengguna narkotika. Namun tidak untuk bermain dengan wanita. Banyak kata-kata motivasi yang dia ucapkan. Juga bimbingan pada saya jika ingin sukses. Betapa pentingnya sebuah bahasa. “Bahasa itu penting lo mas. Bener ini,” tegasnya.
Pukul 11.00 dia bicara pada saya jika ada tugas yang belum selesai, karikatur. Dia meminta menyiapkan tempat untuk saya istirahat di dalam ruangan kerjanya yang penuh dengan lukisan hasil tangannya sendiri. Meski ada beberapa lukisan orang lain, Rendra, misalnya. Dia juga mengajak saya keliling melihat hasil lukisan tanganya di dalam ruang itu. Termasuk lukisan beberapa orang yang diam di bawah sutet dengan mulut yang terjahit. Dia nampak sedih ketika menunjukkan lukisan itu. Namun, disela-sela mukanya yang sedih, dia tertawa kecil dengan apa yang terjadi pada bangsa ini, pemerintah.
Selesai keliling melihat gambar, dia pamit pada saya dan Udin untuk menggarap tugasnya yang belum selesai. Tampak serius di bawah lampu kuno lurus dengan jendela rumahnya yang menhadapap ke depan. Tampak jelas saat saya berjalan menuju kamar mandi. Karena kamar mandi yang ada di luar tepat di samping depan rumahnya. Sering saya mendengar dia memainkan musik gitar yang katanya asli dari spanyol. Indah sekali alunan musik itu. Dalam ceritanya, dia dulu pernah menjadi musisi pada masa mudanya.
Mulai pukul 12.00 sampai 02.00 saya jarang melihat dia tidak sedang duduk di tempatnya menggambar. Sungguh membuat saya iri. Orang yang tidak bisa apa-apa saja, dalam menggambar hanya beberapa menit. Tanpa memerhatikan makna dan tujuan gambar tersebut. Beda dengannya, yang waktu sepanjang itu digunakan untuk memikirkan satu gambar saja. Karena, saya melihat beberapa kertas di tumpuk disampingnya. Mungkin beberapa gambar yang salah. Tampak tidak digunakan lagi.
Saya bermalam di rumah ini hanya satu malam. Pada siangnya saya melanjutkan perjalanan liburan saya bersama Udin. Dengan pertimbangan keluarganya yang cemas akan kabar Udin. Takut terjadi apa-apa. Selama saya di sini, beberapa buku tentang teori melukis di sediakan untuk saya baca. Macam-macam cat, kanvas yang bagus saya pelajari. Tapi, mungkin kurangnya minat akan seni lukis tidak membuat saya mudeng dengan buku yang saya baca.
Banyak ilmu dan motivasi yang saya dapat. Juga beberapa kenalan dari banyak kalangan. Meski hanya satu profesi, pekerja rumah. Sopirnya adalah orang yang pintar. “Dia akan menjadi seorang pendeta,” kata pelukis itu. Lelaki yang buncit dengan anaknya yang sukses bekerja di sebuah perusahaan elektronik. Dan orang yang ada tatonya dalam tubuh sebagai penjaga rumah waktu malam. Dia mempunyai satu anak perempuan yang duduk di bangku TK. Dan anak dari pelukis yang kuliah di DIY. Saya lupa nama Universitasnya. Dia perempuan, tinggi sedang, kulit putih, dan rambutnya ikal. Tak tahu namanya. Semua orang yang aku kenal di sini adalah bentuk muka dan tubuhnya. Masalah nama sebagian saya lupa dan tidak tahu. Kecuali denga pelukis itu, saya hafal nama dan gaya bicaranya.
Ilmu penting yang saya dapat darinya adalah toleransi. Banyak unsur agama yang ada di lingkunganya. Umat Kristiani, Islam, Hindu, dan Budha. Dia menjadi penyatu beberapa agama yang ada di situ. Hidup berdampingan dengan agama yang berbeda bukanlah suatu masalah. “Meski dulu pada awalnya saya banyak dibenci oleh golongan saya sendiri, Islam. Tapi saya mencoba memahamkan dan menyatukan mereka,” kata pelukis itu.
Saya berharap dapat ketemu lagi dengannya. Modelnya yang ngangenin, terkadang membuat saya kangen. “Jika saya sudah tidak ada. Rumah ini saya kasihkan kepada negara. Supaya digunakan tempat budaya. Karena anak-anak saya sudah punya rumah sendiri. Tapi, jika mau meneruskan atau menempati rumah ini ya tidak apa-apa,” katanya.


 (20/02/13)