Rabu, 9 September 2015 menjadi hari yang cukup begitu
panjang. Banyak tragedi yang bejibun kali ini. Tentunya akan jadi noktah dalam perjalanan
hidup kedepan nya. Soal prinsip hidup ―atau orientasi hidup menurut Raf, salah
satu teman saya, keluarga, pendidikan, pekerjaan bahkan asmara.
Saya meminjam sepeda Yuda untuk pulang ke rumah kali ini. seperti
biasa, jenuh dengan suasana kampus dan ingin melihat suasana pedesaan. Tempat tinggal
saya di Kabupaten Jember bagian ujung selatan. Butuh 60 menit perjalanan darat
dari rumah sampai kantor pemkab Jember.
Tiba di rumah tak ada yang istimewa. Orang tua sudah pulas tidur
begitupun dengan adik keempat saya. Sempat kaget karena sepeda motor sedang tak
ada ditempatnya. Tak begitu kaget saat adik ketiga saya tak ada di rumah. “Mungkin
si Ulul lagi keluar,” pikir saya.
Membawa kantong plastik berisi tahu bakso dengan bumbu cilok,
sedikit kecap dan caos ditambahi cabai. Ya begitulah cara mengkonsumsi tahu
bakso bagi anak-anak disekitar rumah saya. Tak ada yang istimewa. “Kenapa
pulang mas?” tanya Ulul. Saya hanya ingin pulang saja, begitulah kiranya
jawaban untuknya.
Dia mengendarai motor berboncengan dengan teman nya, Tohir. Mereka
menjadi teman akrab untuk seusianya sejak sebelum sekolah, duduk dibangku
sekolah dasar (SD) sampai SMP. Menyenangkan bukan mempunyai teman sedari kecil
sampai sekarang di usianya yang sudah duduk dibangku SMP. Tak begitu banyak
kami mengobrol. Dia asyik dengan bungkus makanan nya sambil menonton TV. Saya? Lebih
baik main gem untuk kondisi pikiran yang lagi runyam. :)
Televisi sudah berubah. Dia menonton Ulul dan malam sudah semakin
larut. Saya memutuskan untuk mengisi perut terlebih dulu sebelum tidur. Pada saat
yang sama ibu terbangun.
Selesai makan saya mengobrol banyak hal soal pendidikan saya.
“Bagaimana KKN nya?”
“Bagaimana kuliahnya?”
“Enam bulan lagi selesai kuliahmu?”
Dan puluhan pertanyaan soal kehidupan pribadi, mendiang ayah saya,
dan lika liku kehidupan keluarga kami. Maklum, saya anak pertama dalam keluarga
ini.
Ada yang menarik dalam obrolan malam lalu itu. Saya mempunya sifat
kutukan dari mendiang ayah saya. ‘Jika
menghendaki sesuatu tak bisa digoyahkan’. Setelah saya pikir-pikir memang
betul adanya. Begitulah, setiap sifat ada kelemahan dan kekurangan. “Ayahmu itu
sifat dan sikapnya sedikit melunak pada ibu saat dia mau meninggal. Dan itu
rasanya percuma,” kata ibu. Betapa terkutuknya saya ini. Mempunyai sikap yang
belakangan saya tahu kebenarannya, terkutuk dari mendiang ayah.
Sebelumnya saya berterima kasih kepada ibu. Atas obrolan kemarin
malam, ijinkan anak mu ini mengambil beberapa keputusan bulat ini.
Pertama, anak mu tak ingin pulang ke rumah sebelum lulus dari
jenjang pendidikan dan dapat membantu adik-adiknya menuntaskan jenjang studi
mereka.
Kedua, tak akan hidup total dalam organisasi seperti yang kamu
bilang. “Jika organisasi tak memberikan apa-apa ya sudah, tinggal kan saja”. Dan
anak mu sekarang ini merasakan itu. Organisasi yang diikutinya sekarang ini tak
seperti yang dibayangkan anakmu. Masih banyak hal yang ditutup-tutupi dari
teman-temannya. Padahal anak mu ini sudah memposisikan diri sebagai ‘jongos’
bagi anggota organisasi se profesi yang membutuhkannya. Namun apalah daya. Rahasia
dan tak ada kejujuran dari orang-orang yang ada didalamnya membuat anak mu ini
merasa sia-sia.
Ketiga, orientasi hidup anak mu ini berbeda. Sangat berbeda dengan
mendiang suami mu itu. “Mendedikasikan hidupnya untuk kepentingan bersama;
masarakat, mungkin juga umat J”
orientasi hidup seperti itu sangat menyiksa. Iya, menyiksa. Kali ini, ijinkan
anak mu ini untuk tak peduli terhadap kebutuhan suatu masyarakat tertentu. Ada yang
membutuhkan, anak mu nilai, baru keputusan; terima atau tolak.
Keempat, maaf untuk beberapa poin yang sudah saya tulis di atas
ibu. Maaf untuk keputusan yang aku ambil bersifat kokok dan tak bisa
digoyahkan. Maaf untuk masih mempunyai sifat dan sikap dari mendiang suamimu
itu. Tapi untuk sifat dan sikap terkutuk lainnya sudah aku hapus dan buang
jauh-jauh.
Kelima, maaf untuk telah membuatmu menangis kesekian kalinya. Air
mataku sudah habis atas beberapa sebab. Jadi semalam tak bisa menemani air
matamu itu. Maaf.
Keenam, tulisan ini akan edit saat diperlukan.
*diksi yang digunakan banyak yang berubah dan tak menggunakan
bahasa jawa. Seperti ayah yang seharusnya bapak. Ini untuk kepentingan
kemudahan dalam membaca.