Senin, 20 Januari 2014

Debat Arwah

Debat Arwah

“Aku ngelindur. Tahu-tahu di tempat lain,” kata-m-u.
“Bangun dan kembalilah,” kataku.
“Aku telah mati sejak kecil. Kau tau? Tinggalkan,” kata-m-u.
“Tak peduli. Peduli siapa?” kataku.
“Jangan mengharapkan apa-apa dari mayat kecil,” kata-m-u.
“Aku tak tega membiarkanmu sendiri, sepi. Ingin merawat dan me-balsem tubuh-m-u agar awet,” kataku.
“Aku lebih tidak tega membiarkanmu mencium bau busuk mayat anak kecil dan melihat ia perlahan-lahan menjadi tanah,” kata-m-u.
“Iya. Hanya ingin merasa arwah-m-u tenang dan bebas dengan jasad-m-u terjaga olehku,” kataku.
“Arwah hasil bunuh diri tidak akan merasa tenang apalagi bebas. Kau tau itu?” kata-m-u.
“Kata siapa? K-a-u selalu membantu orang dari frustrasinya. Menjaga. Memegang erat tangan agar tak lari atau nekad jatuh dari bangunan bertingkat,” kataku.
“Anak kecil ini memutuskan untuk bunuh diri karena ia tidak ingin tumbuh dengan merelakan yang lain tertusuk karena ulah tangannya. Kau tau itu?”kata-m-u.
“Tak mungkin! Sudah pasti aku kutuk k-a-u jika seperti itu,” kataku.
“Kutuk aku semaumu. Ampuni aku,”kata-m-u.
“Tidak! Jangan k-a-u ulang kata ‘kutuk’,” kataku.
“Aku tidak pernah bisa bertahan untuk sesuatu yang aku cintai. Aku tidak bisa menjaga mereka yang mencintaiku. Terkutuk sekali,” kata-m-u.
“Aku tak percaya!” kataku.
“Kebenaranku tidak pernah menjadi kebenaranmu. Aku tau,” kata-m-u.
“Tetap! Aku tak percaya,” kataku.
“Sejak kapan kau bisa menanyakan banyak hal pada arwah yang terpisah dari tubuhnya?” kata-m-u.

“Saat aku damai bersanding bersama-m-u dimimpi,” kataku.

(18/01/2014)

Rabu, 08 Januari 2014

Tragedi Toilet



Cerita. Mungkin hal ini yang harus aku lakukan untuk blog-ku. Beberapa hari aku telah meninggalkan dan meng-acuh-kannya begitu saja. Memang aku datang padanya saat aku butuh saja. Apa aku terlalu semena-mena? Apa aku terlalu tak berdaya? Apa memang aku sudah tak punya kawan lagi? Entahlah, aku hanya ingin bercerita pada Karantina Lumpur – nama blogku.
Akhir-akhir ini aku sedang dirundung masalah Karantina Lumpur. Ribet. Aku panggil kamu Tina saja ya agar tampak manis. Tapi aku takut dikata orang yang tak mampu menghadapi masalah untuk diselesaikan sendiri. Istilah cengeng, egois, bodoh, busuk, bahkan hina mudah menempel dipunggungku Tina. Tapi inilah aku. Cucu Adam yang jarang bahkan tak pernah mau bertemu dengan kakeknya sendiri. Bahkan mengingat Dia yang pernah mengajarkan lagu ‘kring bel sepeda’ padaku. Malas. Meski akhirnya aku tak dapat sifat turunan dari-Nya. Kuat.
Sudahlah, kakek sudah wafat dan tenang di alamnya. Pundak ku patah Tina. Beban ini terlalu berat untuk ku. Beban ini, beban itu, beban kamu, beban dia, beban aku, beban . . . . . . . (kamu isi sendiri yang Tina. Aku capek!) semoga dengan cerita beban yang satu ini membuat aku sedikit tenang dan kamu tidak terlalu kepikiran. Amin.
Aku menemukan anak mesum di dalam toilet kantin Tina.
“Apa?” katamu.
“Iya. Aku memergoki anak laki-laki memakai sarung orange keluar dari toilet tanpa sehelai baju,” timpalku.
Aku menceritakan kejadiannya padamu. Saat itu, aku dan ke dua kawanku sedang menyusuri malam mencari kawanku yang hilang. Tepat di depan toilet kantin kampus aku dan kawan-kawanku berniat untuk mencarinya di dalam toilet. Sedang berusaha masuk, ternyata pintu dalam keadaan terkunci. Aneh. Pintu yang rusak dan tak terkunci dan sekarang sebaliknya. Pintunya di kunci, dari tali rafia dan terikat dari dalam. Kucoba menarik pintu sekuat tenaga. Namun tak ada hasil. Kakak yang membawa korek api membakar tali rafia dan ...............
Kami menjerit sekencang-kencangnya. Di dalam sana ada sarung orange berdiri tanpa ada tuannya. Kami bertiga lari tergopoh-gopoh. Salah satu kawan yang panik menyuruh kawan untuk mencari pentungan. Memastikan sarung ber-tuan atau tidak.
Mendengar itu, dari dalam toilet keluar pria kurus memakai sarung orange tanpa memakai baju. Badanya termakan bau busuk wc, kering. Suaranya yang pelan menuju arah kami disertai tangannya mengatung minta belas kasihan. Kami menolak untuk didekati. Dia tak menggubris. Dia malah nekat untuk mendekat. Wajahnya yang pucat mendekati kami di malam yang pekat.
“Lalu?” tanyamu.
“Kami berteriak minta tolong di sekitar kami. Tapi tak ada sahutan dari arah sekitar,” jawabku.
Lelaki bersarung itu mencoba menenangkan kami. “Mas, minta maaf mas. Tolong jangan ramai-ramai. Aku manusia mas. Coba mas pegang tangan aku. Tidak usah takut mas,” katanya sambil mendekat dengan wajah mati dan tubuh kering.
Dia menceritakan kejadian yang sebenarnya. Awalnya dia berniat Facebookan di kampus. Guyuran hujan membasahi birahinya. Tak kuat menahan birahi, dia melakukan gencatan senjata dan memilih toilet kantin sebagai lokasi serangannya. Sungguh darah muda.
Darah muda
Darah yang berapi-api
Yang maunya menang sendiri
Walau salah tak perduli (salah teks sila benarkan sendiri J)
Sebelum dia cerita tentang asal mula gencatan senjata. Dia memperkenalkan si ceweknya untuk memastikan kalau mereka memang manusia. Aneh.
“Sebentar mas, biar cewek aku pakai baju dulu,” kata lelaki itu. Dari dalam toilet ke luar wanita berkerudung dengan beberapa kain dibopongnya menuju sudut banguna yang mata kami tak dapat menjangkaunya.
“Sial. Malam menghalangi mata menembus lekukan demi lekukan dari tubuh bugil,” batin ku.
Aneh. Kenapa ganti baju harus di luar? Mau pamer atau menjajakan tubuh bugil? Percuma saja jika malam tanpa cahaya. Aneh.
Selang beberapa menit, si cowok membawa kami bertiga untuk menemui si cewek. Awalnya dia enggan untuk melihatkan wajah ceweknya. Pintarnya, si cewek memalingkan badan dari kami (mungkin si cewek sering lihat berita kasus asusila. Dari gaya menutupi wajah, menunduk, dia lebih memilih memalingkan badan dari kamera. Meski aku tidak bawa kamera J).
Tidak puas dengan pemalingan wajah yang dilakukan. Aku meminta si cowok untuk dikenalkan pada cewek. “Tapi jangan dibilang-bilang lo mas,” pintanya. Meski berhadap-hadapan, wajahnya remang-remang (kayak kopi pangku aja remang-remang). Kawan yang membawa senter aku pinjam untuk melihat wajahnya. Alamak! Serem juga wajahnya J
Setelah puas, kami bertiga meninggalkan dua pemuda itu tanpa berkata apapun. Kalau mau kami akan minta pada mereka untuk uang tutup mulut. Tapi kami menghindarinya. Daripada uang tutup mulut, mending tutup birahi aja J maksudnya join-an J
Ah, semakin ngelantur saja. Satu yang menjadi catatan. Tidak hanya jilbab hitam yang hebat. Jilbab putih juga hebat (si cewek memakai kerudung putih J)
#cerita ini hanya fiktir belaka. Jika ada kesamaan tempat, kejadian, waktu, mohon maaf. Karena ini hanya hiburan semata
#sisi nyatanya sila saring sendiri J