Rabu, 16 Oktober 2013

Bekal Cerita Rantau


Saya pulang ke rumah diberikan cerita, bukan memberikan cerita setelah beberapa bulan tidak pulang ke rumah. Gaya hidup anak muda, hubungan anak dengan orang tua, sampai pada pilihan hidup yang harus diambil. “Bosan,” mungkin kata itu yang tepat.
Perjalanan menuju rumah bersama Budi, teman ngopi saya. Hari ini cukup panas. Dia tidak begitu suka dengan matahari. “Mata tidak bersahabat,” katanya. Dan memaksa saya untuk memboncengnya. Selama mengendarai motor tidak ada suatu yang berbeda. Masih sama persis dengan beberapa bulan lalu. Mungkin hanya rasa bosan yang masih tetap ada.
Jarak yang tak jauh antara Mangli sampai Wuluhan menurunkan Saya diperempatan Masjid Agung Wuluhan. Beberapa menit salah satu teman datang menghampiri dan mengajak ke sebuah warung kopi. Saya tidak pesan kopi, rokok, atau mi instan seperti yang mereka pesan. “Hanya menatap lebih baik,” batin Saya. Tak ada obrolan penting yang muncul. Mereka saling bercerita pengalaman di Banyuwangi yang sekadar ngopi dan langsung pulang. “Itupun sekitar 15 menit saja,” ucap Roni, salah satu teman Saya. Sikap cuek Saya membuat mereka memutuskan untuk pulang ke rumah.
Panas matahari dan rasa muak dengan obrolan di warung kopi menambah rasa kantuk. Setiba di rumah teman. “Aku gak diwehi duwek sewane sawah karo kange. Mangkel tok aku (saya tidak diberi uang sewa sawah oleh kakak. Emosi saja saya),” cerita Roni. “Aku tak tidur dulu ya. Untuk nanti malam,” ungkap Ku. Sekitar pukul 18.00 ada teman mengajak membeli cilok tahu. Awalnya berniat membeli lima ribu dan berhubung orangnya ada 4, maka membeli sebelas ribu.
Cilok tahu sudah habis dan waktu masih sore untuk istirahat. Saya dan teman-teman memutuskan untuk ngopi di Ambulu. Kopi murah dan tempat cukup santai. Harga untuk satu cangkir kopi Rp. 1000. Tidak hanya jualan kopi, kerupuk, kacang goreng, aneka minuman hangat juga dijual di sini. Pukul 22.35 menyudahi acara cangkruk santai dengan ngopi berakhir. “Ayo segera pulang. Ada acara mister tukun jalan-jalan di TV, lokasinya Ambulu,” kata Jawad, teman Roni.
Rencana Jawad untuk menonton Tukul gagal. Sepeda motor –Atok- yang membonceng Roni rusak tempat kran bensin. Inisiatif Atok untuk di dorong saja sepedanya. Diantara kami berempat yang bisa mendorong motor adalah Jawad.
Sebelum kami belok menuju rumah, di pertigaan, teman-teman kami lainnya sedang main domino. Acaranya cukup sederhana. Rokok, domino, dan sebotol air dalam botol bekas air mineral satu liter. “He Wad, awakmu gelem nyumet mercon? (hai Wad, kamu mau menyalakan petasan?),” kata salah satu teman Jawad. “Iyo wes. Endi mercone? (iya wes. Mana petasannya?),” timpal Jawad.
Dia membawa tujuh petasan rakitan sendiri dengan diameter sekitar tujuh cm. petasan dinyalakan di berbagai tempat di tengah sawah yang tersebar di beberapa dusun. “Jangan di daerah sana. Banyak anak kecil,” ujar Roni. Dan malam tidak begitu sepi dengan suara petasan.
Pada siangnya, Saya bersama Roni mencuci karpet di sungai Bedadung. Airnya cukup jernih. “Wah tepak. Wes suwi pisan ora ados kali (wah kebetulan. Sudah lama juga tidak mandi sungai),” kata Saya. Roni membawa sepupunya, Alif, untuk mencuci karpet. Kami yang keasyikan lupa jika Alif ada jadwal mengaji di TPQ (Taman Pembelajaran Quran).
Sampai dirumah, Alif sudah ditunggu ibunya untuk persiapan mengaji. “Le, gak usah ngaji yo. Kadong ngaji njalok sangu nang wong liyo ae yo (Nak, tidak usah mengaji ya. Kalau mengaji minta uang saku ke orang lain ya),” ucap ibunya dengan geram. “Cangkem mu tak apakne yo (Mulutmu tak apakan ya),” sahut Alif dengan menangis.
Hahahaha. Lucu sekali Alif.


(14/10/2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar