Halaman di belakang rumah sepupu sudah habis. Tak ada
kenangan tentang kita dulu yang tersisa. Saat Aku sembunyi dari permainan sepak
tekong dulu. Ingin Aku hentikan mereka Rin, tapi Aku bukan siapa-siapa. Aku
hanya saudara yang masih duduk di bangku kuliah dan belum mengerti kehendak
orang dewasa. “Biarkanlah mereka. Kita ikut saja yang menjadi kehendak mereka,”
ucap Mu lirih.
Malam ini sepi. Tak ada beda kuburan dengan rumah sepupuku,
Rozi. Tiga saudara sedang rapat harta warisan, Rozi si bungsu, dan Ram adik
Raji. Mereka berdiskusi berjam-jam untuk bagian rinci. Satu angka-pun tak lewat
dari pandangan. “Aku takut jika mengingat malam itu,” anganku.
Rozi keluar dengan mata basah, sepertinya habis menangis.
Aku takut untuk bertanya padanya. Takut ketahuan dua kakaknya yang masih serius
di dalam rumah. Si bungsu berjalan menuju arahku dengan tangan mengepal. “Din,
ayo melu aku tuku bakso (Din, ayo ikut aku beli bakso),” katanya. “Yo (Ya),”
jawabku dengan mengambil sepeda ontel di timur rumah.
Tidak seperti biasa. Rozi kehilangan nafsu gilanya akan
makanan. Satu sendok kuah bakso masuk ke mulut butuh waktu dua menit untuk
sendok selanjutnya. Matanya yang masih basah mencegah diriku untuk bertanya.
“Din, aku di kongkon garap sawah dewe. Aku gak ngerti tur gurung sanggup. Piye
iki? (Din, aku di suruh mengolah sawah sendiri. Aku tidak paham dan belum siap.
Bagaimana ini?),” katamu bingung. “Opo maneh aku. Wong aku ijek sekolah SMA
(apalagi aku. Aku saja masih sekolah SMA),” ucapku. Obrolan kali ini menahan
liurku untuk melumat makanan.
Dua bulan lagi Ujian
Nasional (UNAS) dan aku sudah jarang bermain di rumah Rozi. Ingin aku fokus
pada ujian sekolahku saja. Meski sebenarnya tidak tega pada Rozi untuk
menanggung beban itu. Benar kata orang tua dulu, “Lak seneng ngerosone diluk
(jika senang rasanya sebentar)”. Ujian nasional sudah selesai. “Setelah ini
kuliah dimana?” tanya kepala sekolah. “Masih tidak tahu pak,” jawabku. “Kuliah
di Jember saja,” katanya. “Insyaallah pak,” timpalku.
Beberapa teman satu kelas berniat kuliah di Jember. Arin,
kordinator rombongan mengurusi segala sesuatu yang diperlukan untuk kuliah di
Jember. Hanya Arin dan Nurul –kakak kelas kami- yang mengurusinya. Sisanya
menunggu info dari mereka. Sebelum registrasi, yang lolos seleksi hanya saya
dan satu teman saja. Arin, mbak Nurul, dan lainnya tidak lolos.
Kegiatan kuliah aku lewati dengan santai di pondok
pesantren, Ajung. Meski dekat rumah rasa ingin pulang ke rumah tidak ada.
Pulang ketika mendapat sms atau hari raya saja. Dan itu sampai aku semester 4.
Untuk hari raya Idul Adha aku putuskan untuk pulang ke rumah Rozi. Rasanya
kangen tidak mengobrol dengannya.
Tiba di rumah Rozi tak banyak beda dengan dulu. Pohon mangga
yang berdiri tepat di pintu masuknya masih lebat. Meski beberapa ranting pohon
sudah dipotong. Timur, barat rumah tak ada beda. Satu yang tampak beda. Di
halaman belakang rumah Rozi sudah berdiri bangunan megah, rumah Raji. Itu yang
membuat Rozi terkadang sms aku kalau dia tidak nyaman lagi di rumah.
Harta warisan. Aih, apa itu. Membuat hati tumpul saja.
Kita menjadi budak di rumah kita sendiri.
Tak ada kenangan untuk kita ber-nostalgia.
Hah, lagi-lagi mungkin ini yang tepat.
Bangsat!
perlu banyak baca lagi, mas...
BalasHapusoya, salam kenal ya...
sekali-kali nyemplung ke kali....
oya, pembaca jadi bingung dg apa yg anda lakukan setelah mencuci karpet atau sebelum mencuci karpet, sehingga tak ada pilihan lagi selain mencuci karpet...
apa telah terjadi "tragedi nuthfah"?
wahahahahahahaha....
maaf mas,,,,
BalasHapusmungkin anda kurang jeli untuk posting komentar di tulisan ini....
mana itu mencuci karpet?
wekawekaweka