Debat
Arwah
“Aku ngelindur. Tahu-tahu di tempat
lain,” kata-m-u.
“Bangun dan kembalilah,” kataku.
“Aku telah mati sejak kecil. Kau tau?
Tinggalkan,” kata-m-u.
“Tak peduli. Peduli siapa?” kataku.
“Jangan mengharapkan apa-apa dari mayat kecil,”
kata-m-u.
“Aku tak tega membiarkanmu sendiri, sepi.
Ingin merawat dan me-balsem tubuh-m-u agar awet,” kataku.
“Aku lebih tidak tega membiarkanmu mencium bau
busuk mayat anak kecil dan melihat ia perlahan-lahan menjadi tanah,” kata-m-u.
“Iya. Hanya ingin merasa arwah-m-u tenang dan
bebas dengan jasad-m-u terjaga olehku,” kataku.
“Arwah hasil bunuh diri tidak akan merasa
tenang apalagi bebas. Kau tau itu?” kata-m-u.
“Kata siapa? K-a-u selalu membantu orang dari
frustrasinya. Menjaga. Memegang erat tangan agar tak lari atau nekad jatuh dari
bangunan bertingkat,” kataku.
“Anak kecil ini memutuskan untuk bunuh diri
karena ia tidak ingin tumbuh dengan merelakan yang lain tertusuk karena ulah
tangannya. Kau tau itu?”kata-m-u.
“Tak mungkin! Sudah pasti aku kutuk k-a-u jika
seperti itu,” kataku.
“Kutuk aku semaumu. Ampuni aku,”kata-m-u.
“Tidak! Jangan k-a-u ulang kata ‘kutuk’,”
kataku.
“Aku tidak pernah bisa bertahan untuk sesuatu
yang aku cintai. Aku tidak bisa menjaga mereka yang mencintaiku. Terkutuk
sekali,” kata-m-u.
“Aku tak percaya!” kataku.
“Kebenaranku tidak pernah menjadi kebenaranmu.
Aku tau,” kata-m-u.
“Tetap! Aku tak percaya,” kataku.
“Sejak kapan kau bisa menanyakan banyak hal
pada arwah yang terpisah dari tubuhnya?” kata-m-u.
(18/01/2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar