Jumat, 09 Mei 2014

Oleh-oleh singgah dari rumah si Mbah

Aku mendapat pelajaran baru dari si Mbah dalam menjalani kehidupan. Pelajaran dari interpretasiku sendiri. Hal ini tidak mutlak dan masih terbuka ruang dialog yang panjang dan lebar. Jika nantinya ditemukan hal tidak cocok dan tidak layak untuk dipakai.

Belajar dewasa
1.       Menampung, merespon perspektif orang lain
Bibikmu kerjo dek Bali. Emboh opo sing digoleki. Kurang sugih paling. Wong dek umah garek masak, resik-resik. Jek kerjo dek Bali (bibikmu kerja di Bali. Tidak tahu apa yang dicari. Kurang kaya mungkin. Wong di rumah tinggal masak, bersih-bersih. Masih kerja di Bali),” kata si Mbah.
“Nggeh boten ngertos Mbah. Katah tiyang sugih tapi milih kerjo soro. Kan senengane tiyang benten-benten (ya tidak tahu Mbah. Banyak orang kaya tapi memilih kerja yang sulit. Kan kesukaan orang beda-beda),” sahutku.
Si Mbah diam sebentar. Iyo paling, (iya mungkin)sahut si Mbah.
2.       Tidak egois
Ketika aku datang di rumah si Mbah dia baru bangun dari tidur. Mungkin dia terbangun setelah aku memanggilinya dari luar. Rehat sebentar sekitar lima menit si Mbah bilang, “duh mari turu ijeh ngantuk. Turuo le. Istirahat (duh sudah tidur masih ngantuk. Tiduro nak. Istirahat),” kata si Mbah.
Saat aku datang kakek sedang pergi ke sawah. Datangnya sore setelah aku terbangun dari tidur. Saat aku bangun dia sedang bersih-bersih rumah dan mencangkul halaman rumahada halaman kosong yang ditanami sayuran. Setelah bangun dan cuci muka aku langsung di suruh makan. Karena semuanya sudah disiapkan aku langsung makan. Anehnya, nasi masih utuh. Ini si Mbah dari sawah kok belum makan ya. Waktu aku nawari makan, dia nyuruh aku makan duluan.
Ya seperti itulah. Mungkin dari percakapan di atas bisa ditarik kesimpulan tentang belajar dewasa. Kalau aku mengartikannya ya sebagai orang yang sudah dewasa dan matang. Terlepas dari usia mereka yang sudah tua dan mempunyai cucu aku. Begitulah menurutku. Menurutmu? Hehehehe


(09/05/2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar