Aku mendapat pelajaran baru dari si Mbah
dalam menjalani kehidupan. Pelajaran dari interpretasiku sendiri. Hal ini tidak
mutlak dan masih terbuka ruang dialog yang panjang dan lebar. Jika nantinya
ditemukan hal tidak cocok dan tidak layak untuk dipakai.
Belajar dewasa
1.
Menampung,
merespon perspektif orang lain
“Bibikmu kerjo dek Bali. Emboh opo sing digoleki. Kurang sugih paling.
Wong dek umah garek masak, resik-resik. Jek kerjo dek Bali (bibikmu kerja
di Bali. Tidak tahu apa yang dicari. Kurang kaya mungkin. Wong di rumah tinggal
masak, bersih-bersih. Masih kerja di Bali),”
kata si Mbah.
“Nggeh boten ngertos Mbah.
Katah tiyang sugih tapi milih kerjo soro. Kan senengane tiyang benten-benten
(ya tidak tahu Mbah. Banyak orang kaya tapi memilih kerja yang sulit. Kan
kesukaan orang beda-beda),” sahutku.
Si Mbah diam sebentar. Iyo
paling, (iya mungkin)sahut si Mbah.
2.
Tidak
egois
Ketika aku datang di rumah
si Mbah dia baru bangun dari tidur. Mungkin dia terbangun setelah aku memanggilinya
dari luar. Rehat sebentar sekitar lima menit si Mbah bilang, “duh mari turu
ijeh ngantuk. Turuo le. Istirahat (duh sudah tidur masih ngantuk. Tiduro nak.
Istirahat),” kata si Mbah.
Saat aku datang kakek sedang
pergi ke sawah. Datangnya sore setelah aku terbangun dari tidur. Saat aku
bangun dia sedang bersih-bersih rumah dan mencangkul halaman rumahada
halaman kosong yang ditanami sayuran. Setelah bangun dan cuci muka aku langsung
di suruh makan. Karena semuanya sudah disiapkan aku langsung makan. Anehnya,
nasi masih utuh. Ini si Mbah dari sawah kok belum makan ya. Waktu aku nawari
makan, dia nyuruh aku makan duluan.
Ya seperti itulah. Mungkin dari percakapan
di atas bisa ditarik kesimpulan tentang belajar dewasa. Kalau aku
mengartikannya ya sebagai orang yang sudah dewasa dan matang. Terlepas dari
usia mereka yang sudah tua dan mempunyai cucu aku. Begitulah menurutku.
Menurutmu? Hehehehe
(09/05/2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar