Kamis, 10 November 2016

Kopi Pangku


Arek wedok ngene iki lo penak diajak urip soro bareng”
Urip wes soro malah diajak soro maneh to mas-mas”


Depan rumah ada bangku berukuran besar dari bambu muat sepuluh orang. Setelah parkir sepeda motor dan duduk, saya robek bagian sudut plastik lalu mengeluarkan satu persatu pentol cilok yang sudah tercampur kecap dan sambal. Tiba-tiba anjing berukuran kecil jalan menuju tempat duduk saya dari dalam rumah. Sesekali dia ingin merebut satu bungkus cilok yang sedang saya makan.

Pesen opo mas?”
Aku podo karo kanca-kancaku,” jawab saya

Tiga buah meja panjang ukuran dua meter ditata membentuk huruf ‘L’. Satu buah televisi dua puluh inch, DVD dan sound ukuran sepuluh untuk memutar lagu-lagu dangdut koplo, khas Banyuwangi dan beberapa lagu pop yang sudah digubah menjadi remix. Fasilitas yang jamak didapat oleh pengunjung warung kopi di Kabupaten Jember bagian selatan. Uniknya, ruang tamu berukuran 4 x 3 meter persegi menjadi tempat pengunjung warung kopi. Selain itu pemilik warung tidak menyediakan cahaya selain pantulan dari televisi dan lampu led dengan nyala aneka warna dipasang di atas pintu masuk.

Pemilik warung menyediakan kamar mandi dan WC dengan penerangan lampu 5 watt. Untuk menuju ke kamar mandi, dua anjing kecil lalu lalang di dalam rumah sebagai pasukan keamanan. Acik, salah satu karyawan mengatakan, keberadaan dua anjing di warung setelah ada segerombolan pemuda dari salah satu perguruan silat yang tidak mau membayar. Parahnya mereka sempat mengancam akan membakar rumah sekaligus warung ini. Akibatnya, pihak warung rugi beberapa gelas minuman yang sudah dipesan oleh perguruan silat yang sedang banyak digandrungi pemuda Jember bagian selatan. “Mereka takut sama anjing. Ya sudah, anjing diikat di depan pintu saat mereka datang atau tidak mau membayar kembali,” kata Acik.

***

Saya masuk dalam rumah ini setelah menghabiskan satu bungkus cilok. Tiga teman saya sudah duduk diantara dua perempuan karyawan warung. Rata-rata usia mereka dua puluh tiga tahun. Namanya Acik, perempuan bertubuh kecil daripada karyawan lain yang paling banyak bicara. Potongan rambutnya sebahu dicat blonde dan memiliki suara melengking. Saat mengikuti lirik lagu yang muncul di televisi otot lehernya mengeras. Dia mencoba mengimbangi kerasnya suara sound. Hasilnya tidak enak untuk didengar.

Malam itu ia mengenakan celana ukuran sejengkal seperti Reni, karyawan lain yang baru bekerja setengah bulan lalu. Menurut Acik, pertemuan mereka di lapangan Kecamatan Balung. “Waktu itu teman saya yang membawa Reni dari Semboro, Jember,” ucap Acik.

Awal buka warung, Acik sudah menjadi karyawan. Ia mengatakan, sebelumnya dia dan pemilik warung yang sekaligus kakaknya itu pekerja di warung daerah Tamansari, Wuluhan, Jember. Menjadi karyawan dari warung dengan konsep remang-remang sudah Acik jalani selama lima bulan. Kerapkali ada gergebekan dari warga, deretan warung remang-remang di Desa Tamansari kini gulung tikar. Sebutan untuk warung dengan konsep remang-remang oleh warga dikenal sebagai “kopi pangku”.

Berkerja di sebuah kafe di Pulau Papua menjadi pilihan dari tidak mendapatnya pekerjaan. Tidak betah dengan lingkungan sekitar, rekan kerja sampai upah menjadi motif beberapa karyawan kopang. Seperti Reni, perempuan asal Semboro, Jember memlih untuk berhenti kerja di pabrik plastik di kawasan Surabaya dan menjadi karyawan kopi pangku (kopang). “Sebelum kerja di sini (kopang) saya kerja di pabrik plastik,” jawab Reni saat saya tanya alasan kerja di kopang. Reni merasa tidak nyaman dengan beberapa pertanyaan tentang motifnya bekerja di kopang. Kemudian memilih untuk pergi dari tempat duduk kami dan menemani pengunjung kopang yang lain.

Belakangan saya tahu penyebab Reni dan Acik pergi dari tempat duduk kami. Temanmu, kata Acik kepada teman saya, mbledos ta? Mereka menganggap saya sedang dalam pengaruh alkohol atau obat-obat terlarang. Lantaran obrolan muncul bukan obrolan panas tapi motif para karyawan bekerja di kopang.

***

Majalah Millenium produk pers mahasiswa kampus IAIN Jember edisi IX membuat laporan menarik tentang fenomena warung kopang. Mereka menghadapkan fenomena itu dengan banyaknya jumlah pesantren di kawasan Jember selatan. Hasilnya, menurut Ayu Sutarto budayawan Jember, fenomena kopang tidak bisa ditarik garis lurus dengan banyaknya jumlah kopang dan pesantren. Bahwa pengunjung adalah subyek yang berdiri sendiri atas dasar hak asasi manusia. “Hal seperti ini kan transaksional, siapa yang ingin dibelai (di warung kopi pangku) ya mereka akan datang ke sana,” kata Ayu seperti dikutip dalam majalah Millenium.

Laporan itu turun pada akhir 2012. Ada pola yang sama dengan laku karyawan kopang dalam menghadapi pengunjung. Meladeni obrolan seksis dari pengunjung, boleh memangku para karyawan kopang yang kesemuanya perempuan, memegang seluruh tubuh karyawan tanpa terkecuali. Bedanya, seiring ketatnya peraturan terhadap keberadaan kopang para karyawan dilarang mengonsumsi alkohol dan obat-obat terlarang. Begitupun dengan para pengunjung.

Jaka, salah satu pengunjung kopang mengatakan bahwa tahun-tahun sebelumnya di dalam warung masih dapat dijumpai minuman beralkohol jenis bir. “Sekarang jarang dan nyaris tidak ada. Kalau ingin konsumsi obat-obat terlarang tidak boleh di dalam warung,” terang Jaka.

Selain larangan mengonsumsi alkohol, motif dari karyawan tidak terbatas pada minimnya lapangan pekerjaan. Meli, karyawan kopang asal Lumajang menganggap pekerjaan yang sedang ia jalani terbatas pada penyaluran hobi. “Saya sekolah SMA berhenti saat masih kelas satu,” kata Meli. Pada masa itu, ia sudah kerap memasuki warung remang-remang.

Saya masih perawan waktu itu,” imbuh Meli.
Kalau sekarang?” sahut Jaka
Ya sudah tidak,” jawab Meli sambil berkelakar

Keluarga Meli tahu pekerjaan yang sedang ia jalani. Prinsip yang dipegang, ungkap Meli, tidak boleh membuat masalah dengan masyarakat sekitar. Tidak membuat malu keluarga. Untuk itu dia tidak menjadi pekerja seks di daerah Pasirian, Lumajang. “Sebelum ke lesehan ini (sebutan lain untuk kopang) saya kerja di Sudat. Di sana gajinya cuma enam ratus,” ucap Meli.

Sudat itu, tambah Meli, bos pekerja seks komersial di kawasan Wuluhan. Meski bekerja delapan bulan Meli tidak mendapat kenaikan upah. Hal itu yang menjadi alasan bekerja di kopang di bilangan Silir, Wuluhan. “Di sini gajinya tujuh ratus. Akan dinaikan setelah beberapa bulan,” ungkap Meli.

***

Banyak pandangan miring terhadap karyawan kopang. Bahwa mereka sekaligus menjadi pekerja seks komersil adalah mutlak adanya. Meski tidak dapat dipungkiri, pemilik kopang melakukan transaksi jasa seks untuk pengunjung. “Jika ingin membawa karyawan harus merunding pada bosnya,” kata Atok salah satu pengunjung kopang.

Mendengar itu Meli menolak anggapan itu. Di tempat ia bekerja tidak menyediakan jasa seks. “Di sini anak-anaknya gabisa dibuat ‘cabutan’ mas,” kata Meli. Atok menganggap mustahil karyawan kopang tidak menerima ‘cabutan’. Istilah ini dipakai untuk transaksi membawa salah satu karyawan untuk berhubungan seks di manapun selain di dalam warung. Setelah mendengar jawaban Atok, Meli pindah ke tempat duduk pengunjung yang lain.

Pandangan miring yang bekembang di masyarakat tentang praktik ‘grepe’. Yaitu menyentuh seluruh badan karyawan kopang tanpa terkecuali. Mereka menyimpulkan bahwa tubuh mereka rela di grepe. “Mustahil tidak melayani jasa seks,” komentar yang berkembang di masyarakat.

Saya mengajukan pertanyaan yang sama tentang motif bekerja di kopang terhadap empat karyawan kopang. Saat satu karyawan sedang mengobrol dengan saya, Reni sedang di grepe oleh teman saya. Namanya Ratih, pemilik kopang yang juga duduk bersama pengunjung yang datang. Salah satu teman mengatakan bahwa Reni terlihat cocok untuk hubungan serius.

Arek wedok ngene iki lo penak diajak urip soro bareng,” katanya sambil menunjuk Reni
Urip wes soro malah diajak soro maneh to mas-mas,” timpal Ratih kepada teman saya.

Ratih mengatakan, jika dia dan semua karyawan kopang anak orang kaya. Tidak mungkin dan perlu bagi mereka untuk bekerja di kopang.

***

Setelah kopi kami habis, salah satu teman bertanya harga yang harus kami bayar. “Kopi papat, pat likur ewu mas,” ucap Acik. Kopi sudah kami bayar dan pulang. Di dekat pintu, Reni dipangku dan dipeluk oleh pengunjung yang baru datang. Ia menjulurkan tangan kepada kami sembari berpesan untuk kembali datang di warung ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar