“Arek wedok ngene iki lo penak
diajak urip soro bareng”
“Urip wes soro malah diajak
soro maneh to mas-mas”
Depan rumah ada bangku berukuran
besar dari bambu muat sepuluh orang. Setelah parkir sepeda motor dan
duduk, saya robek bagian sudut plastik lalu mengeluarkan satu persatu
pentol cilok yang sudah tercampur kecap dan sambal. Tiba-tiba anjing
berukuran kecil jalan menuju tempat duduk saya dari dalam rumah.
Sesekali dia ingin merebut satu bungkus cilok yang sedang saya makan.
“Pesen opo mas?”
“Aku podo karo kanca-kancaku,”
jawab saya
Tiga buah meja panjang ukuran dua
meter ditata membentuk huruf ‘L’. Satu buah televisi dua puluh
inch, DVD dan sound ukuran sepuluh untuk memutar lagu-lagu dangdut
koplo, khas Banyuwangi dan beberapa lagu pop yang sudah digubah
menjadi remix. Fasilitas yang jamak didapat oleh pengunjung warung
kopi di Kabupaten Jember bagian selatan. Uniknya, ruang tamu
berukuran 4 x 3 meter persegi menjadi tempat pengunjung warung kopi.
Selain itu pemilik warung tidak menyediakan cahaya selain pantulan
dari televisi dan lampu led
dengan
nyala aneka warna dipasang di atas pintu masuk.
Pemilik warung menyediakan kamar
mandi dan WC dengan penerangan lampu 5 watt. Untuk menuju ke kamar
mandi, dua anjing kecil lalu lalang di dalam rumah sebagai pasukan
keamanan. Acik, salah satu karyawan mengatakan, keberadaan dua anjing
di warung setelah ada segerombolan pemuda dari salah satu perguruan
silat yang tidak mau membayar. Parahnya mereka sempat mengancam akan
membakar rumah sekaligus warung ini. Akibatnya, pihak warung rugi
beberapa gelas minuman yang sudah dipesan oleh perguruan silat yang
sedang banyak digandrungi pemuda Jember bagian selatan. “Mereka
takut sama anjing. Ya sudah, anjing diikat di depan pintu saat mereka
datang atau tidak mau membayar kembali,” kata Acik.
***
Saya masuk dalam rumah ini
setelah menghabiskan satu bungkus cilok. Tiga teman saya sudah duduk
diantara dua perempuan karyawan warung. Rata-rata usia mereka dua
puluh tiga tahun. Namanya Acik, perempuan bertubuh kecil daripada
karyawan lain yang paling banyak bicara. Potongan rambutnya sebahu
dicat blonde dan memiliki suara melengking. Saat mengikuti lirik lagu
yang muncul di televisi otot lehernya mengeras. Dia mencoba
mengimbangi kerasnya suara sound. Hasilnya tidak enak untuk didengar.
Malam itu ia mengenakan celana
ukuran sejengkal seperti Reni, karyawan lain yang baru bekerja
setengah bulan lalu. Menurut Acik, pertemuan mereka di lapangan
Kecamatan Balung. “Waktu itu teman saya yang membawa Reni dari
Semboro, Jember,” ucap Acik.
Awal
buka warung, Acik sudah menjadi karyawan. Ia mengatakan, sebelumnya
dia dan pemilik warung yang sekaligus kakaknya itu pekerja di warung
daerah Tamansari, Wuluhan, Jember. Menjadi
karyawan dari warung dengan konsep remang-remang sudah Acik jalani
selama lima bulan. Kerapkali ada gergebekan dari warga, deretan
warung remang-remang di Desa Tamansari kini gulung tikar. Sebutan
untuk warung dengan konsep remang-remang oleh warga dikenal sebagai
“kopi pangku”.
Berkerja di sebuah kafe di Pulau
Papua menjadi pilihan dari tidak mendapatnya pekerjaan. Tidak betah
dengan lingkungan sekitar, rekan kerja sampai upah menjadi motif
beberapa karyawan kopang. Seperti Reni, perempuan asal Semboro,
Jember memlih untuk berhenti kerja di pabrik plastik di kawasan
Surabaya dan menjadi karyawan kopi pangku (kopang). “Sebelum kerja
di sini (kopang) saya kerja di pabrik plastik,” jawab Reni saat
saya tanya alasan kerja di kopang. Reni merasa tidak nyaman dengan
beberapa pertanyaan tentang motifnya bekerja di kopang. Kemudian
memilih untuk pergi dari tempat duduk kami dan menemani pengunjung
kopang yang lain.
Belakangan
saya tahu penyebab Reni dan Acik pergi dari tempat duduk kami.
Temanmu, kata Acik kepada teman saya, mbledos
ta?
Mereka menganggap saya sedang dalam pengaruh alkohol atau obat-obat
terlarang. Lantaran obrolan muncul bukan obrolan panas tapi motif
para karyawan bekerja di kopang.
***
Majalah
Millenium produk pers mahasiswa kampus IAIN Jember edisi IX membuat
laporan menarik tentang fenomena warung kopang. Mereka menghadapkan
fenomena itu dengan banyaknya jumlah pesantren di kawasan Jember
selatan. Hasilnya, menurut Ayu Sutarto budayawan Jember, fenomena
kopang tidak bisa ditarik garis lurus dengan banyaknya jumlah kopang
dan pesantren. Bahwa pengunjung adalah subyek yang berdiri sendiri
atas dasar hak asasi manusia. “Hal seperti ini kan transaksional,
siapa yang ingin dibelai (di warung kopi pangku) ya mereka akan
datang ke sana,” kata Ayu seperti dikutip dalam majalah Millenium.
Laporan
itu turun pada akhir 2012. Ada pola yang sama dengan laku karyawan
kopang dalam menghadapi pengunjung. Meladeni obrolan seksis dari
pengunjung, boleh memangku para karyawan kopang yang kesemuanya
perempuan, memegang seluruh tubuh karyawan tanpa terkecuali. Bedanya,
seiring ketatnya peraturan terhadap keberadaan kopang para karyawan
dilarang mengonsumsi alkohol dan obat-obat terlarang. Begitupun
dengan para pengunjung.
Jaka, salah satu pengunjung
kopang mengatakan bahwa tahun-tahun sebelumnya di dalam warung masih
dapat dijumpai minuman beralkohol jenis bir. “Sekarang jarang dan
nyaris tidak ada. Kalau ingin konsumsi obat-obat terlarang tidak
boleh di dalam warung,” terang Jaka.
Selain
larangan mengonsumsi alkohol, motif dari karyawan tidak terbatas pada
minimnya lapangan pekerjaan. Meli, karyawan kopang asal Lumajang
menganggap pekerjaan yang sedang ia jalani
terbatas pada penyaluran hobi. “Saya sekolah SMA berhenti saat
masih kelas satu,” kata Meli. Pada masa itu, ia sudah kerap
memasuki warung remang-remang.
“Saya
masih perawan waktu itu,” imbuh Meli.
“Kalau
sekarang?” sahut Jaka
“Ya
sudah tidak,” jawab Meli sambil berkelakar
Keluarga Meli tahu pekerjaan yang
sedang ia jalani. Prinsip yang dipegang, ungkap Meli, tidak boleh
membuat masalah dengan masyarakat sekitar. Tidak membuat malu
keluarga. Untuk itu dia tidak menjadi pekerja seks di daerah
Pasirian, Lumajang. “Sebelum ke lesehan ini (sebutan lain untuk
kopang) saya kerja di Sudat. Di sana gajinya cuma enam ratus,” ucap
Meli.
Sudat
itu, tambah Meli, bos pekerja seks komersial di kawasan Wuluhan.
Meski bekerja delapan bulan Meli tidak mendapat kenaikan upah. Hal
itu yang menjadi alasan bekerja di kopang di bilangan Silir, Wuluhan.
“Di sini gajinya tujuh ratus. Akan dinaikan setelah beberapa
bulan,” ungkap Meli.
***
Banyak pandangan miring terhadap
karyawan kopang. Bahwa mereka sekaligus menjadi pekerja seks komersil
adalah mutlak adanya. Meski tidak dapat dipungkiri, pemilik kopang
melakukan transaksi jasa seks untuk pengunjung. “Jika ingin membawa
karyawan harus merunding pada bosnya,” kata Atok salah satu
pengunjung kopang.
Mendengar itu Meli menolak
anggapan itu. Di tempat ia bekerja tidak menyediakan jasa seks. “Di
sini anak-anaknya gabisa dibuat ‘cabutan’ mas,” kata Meli. Atok
menganggap mustahil karyawan kopang tidak menerima ‘cabutan’.
Istilah ini dipakai untuk transaksi membawa salah satu karyawan untuk
berhubungan seks di manapun selain di dalam warung. Setelah mendengar
jawaban Atok, Meli pindah ke tempat duduk pengunjung yang lain.
Pandangan
miring yang bekembang di masyarakat tentang praktik ‘grepe’.
Yaitu
menyentuh seluruh badan karyawan kopang tanpa terkecuali. Mereka
menyimpulkan bahwa tubuh mereka rela di grepe.
“Mustahil
tidak melayani jasa seks,” komentar yang berkembang di masyarakat.
Saya
mengajukan pertanyaan yang sama tentang
motif bekerja di kopang terhadap
empat karyawan kopang. Saat satu karyawan sedang mengobrol dengan
saya, Reni sedang di grepe
oleh
teman saya. Namanya Ratih, pemilik kopang yang juga duduk bersama
pengunjung yang datang. Salah satu teman mengatakan bahwa Reni
terlihat cocok untuk hubungan serius.
“Arek
wedok ngene iki lo penak diajak urip soro bareng,” katanya sambil
menunjuk Reni
“Urip
wes soro malah diajak soro maneh to mas-mas,” timpal Ratih kepada
teman saya.
Ratih mengatakan, jika dia dan
semua karyawan kopang anak orang kaya. Tidak mungkin dan perlu bagi
mereka untuk bekerja di kopang.
***
Setelah kopi kami habis, salah
satu teman bertanya harga yang harus kami bayar. “Kopi papat, pat
likur ewu mas,” ucap Acik. Kopi sudah kami bayar dan pulang. Di
dekat pintu, Reni dipangku dan dipeluk oleh pengunjung yang baru
datang. Ia menjulurkan tangan kepada kami sembari berpesan untuk
kembali datang di warung ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar