Selasa, 08 September 2020

Yasu dan Kondisi Pangan Hari Ini

 Ada pesan WA masuk dari Ulil pada 23 Agustus, Minggu pagi hari lalu. Ia kawan dari organisasi pers mahasiswa bernama Ideas di Jember. 

"ngko sore ngopi," katanya. Orang sekitarku tentu sudah tahu jawaban apa yang kuberikan. 

Esok sorenya saya bermain ke Jenggawah. Tujuannya melihat kebun mini Ulil. Penasaran, bagaimana sosok Ulil bisa dengan percaya diri memamerkan kebun mininya pada saya. La wong saya ini lahir dari himpitan sawah petani.

Kebun Ulil berisi aneka macam tanaman. Seledri, sawi, padi, semangka, stroberi, sampai tanaman bulu kucing. Sebagai petani urban yang lahir dari ketiadaan lahan, saya tidak merasa takjub dengan kebun Ulil. Meski begitu, ada satu sudut dari kebun Ulil yang cukup menyita perhatian. Ia melakukan budidaya ikan dalam ember (budikdamber). Satu ember berisi lele, satu ember lainnya berisi belut. 

Budikdamber ini punya ciri khas, menurut saya. Ember berisi ikan dan atasnya berisi tanaman: kangkung, selada air, cabai, stroberi, tomat atau tanaman lain yang ringan. Kalau menanam pepaya nanti embernya bisa-bisa roboh. La pohon nya aja gede gitu.

Secara teknis, yang menjadi media tanam dari tanaman itu bisa dari gelas plastik air mineral atau pipa air ukuran 3 Inch (menyesuaikan kebutuhan). Ulil menggunakan gelas plastik air mineral dan minuman rasa-rasa macam lealea sisa Idul Fitri. Ia isi gelas plastik itu dengan sekam yang sudah gosong (belum jadi abu) sebagai tempat berpijak akar tanaman. Mantap dan mudah kan?

***

Adzan Magrib berkumandang. Saya dan Ulil berjamaah di musola keluarganya. Yang jadi imam bukan salah satu di antara kami. Melainkan tokoh lokal kerakjatan. Kalau penasaran main saja ke Jenggawah hehe.

Selepas Magrib kami melanjutkan ngopi di dekat lampu merah Ambulu. Di sana kami bertemu Basit yang sudah tidak begitu gapleki. Kami bertiga ngobrol banyak hal. Nasib petani kubis yang sekarat karena harganya sangat begitu murah. Atau nasib pekerja yang gajinya dipotong beberapa persen, dirumahkan, sampai di PHK. Ngopi tidak sampai larut. Karena pedagangnya pamit mau pulang lebih awal.

26 Agustus, saya ke Jenggawah lagi. Kali ini bermalam. Ulil cerita banyak hal yang menjadi cita-cita dan harapan. Salah satunya punya tanaman konsumsi tanpa harus beli. Konsepnya menarik. Ini yang bikin saya takjub dari kebun mini milik Ulil. 

Bagaimana tidak, menanam padi cukup di polybag atau ember. Selain sayuran dengan metode budikdamber, juga bisa menggunakan polybag. Dari sini, urusan perut sudah bisa terpenuhi secara mandiri. Bahwa 'tidak perlu berharap pada negara' itu nyata. Toh brengsek juga negara kan?

Jika setiap orang melakukan pola tanam ini, saya rasa negara tidak akan melakukan impor beras. Karena permintaan konsumsi beras tiap keluarga terpenuni oleh kebun mini dan produksi beras di sawah tetap jalan. Artinya bukan tidak mungkin Indonesia kembali bisa swasembada beras.

Indonesia pernah swasembada beras pada 1984 karena beberapa faktor. Salah satunya tingkat permintaan konsumsi minim sedangkan tingkat produksi tinggi. Itupun karena kondisi lahan pertanian masih produktif dan masih bisa mengimbangi agresifnya pupuk kimia ala Revolusi Hijau Orde Baru. 

Sedangkan sekarang lahan pertanian sudah tidak produktif. Ia terlalu mabok pupuk kimia macam urea. Sudah jatuh tertimba tangga. Alih-alih menyelamatkan lahan pertanian yang kritis karena bahan kimia, pemerintah mengkonversi lahan pertanian menjadi lahan industri yang tidak berkelanjutan. Menurut Bunga Rampai Ekonomi Beras yang dikeluarkan LPEM FE UI 2001 lalu, 56% produksi beras di Pulau Jawa. Sisanya tersebar di Pulau Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. 

Saya tidak tahu nalar apa yang digunakan oleh pemerintah. Konversi lahan besar-besar an terjadi di Pulau Jawa. Ini lahan produktif pertanian lo. Lalu masihkah ingat tragedi penggulingan nalar akal sehat oleh pemerintah dengan rencananya membuka sejuta hektar lahan pertanian di Papua? Tidak saja dikebiri, pemerintah tidak segan membuat mati petani. Pun semua masyarakatnya. La wong sudah tahu lahannya tidak cocok untuk menghasilkan beras masih ngeyel.

Bukan pemerintah Indonesia kalau tidak pintar bikin dagelan. Setelah agresif konversi lahan pertanian jadi industri, saat pandemi covid-19 pemerintah bikin kebijakan cetak sawah di lahan gambut. Jembut to?

Keinginan yang tidak dibarengi aksi nyata itu basi. Masalah pangan negeri ini karena lahan pertanian dikonversi. Solusinya hentikan konversi lahan dan industri yang tidak berkelanjutan untuk kehidupan. Contohnya mengelola lahan pertanian yang sudah tidak produktif efek mabok pupuk kimia menjadi produktif. Gimana mau surplus kalau lahan sempit dan sudah tidak produktif? Meski intensitas menanam tinggi hasilnya akan jalan di tempat karena lahanya mabok kimia.

***

Yasu adalah sosok penyelamat bagi penduduk Kota Ebisu, yang menurut mitologi Jepang berarti nelayan yang selalu tersenyum meski menghadapi berbagai masalah. Sedangkan menurut Eiichiro Oda, penduduk Ebisu hanya punya emosi untuk tersenyum dan tertawa karena efek dari konsumsi buah SMILE yang dibawa oleh Kaido. Nyatanya, meski penduduk Ebisu dilanda kemiskinan dan kelaparan mereka hanya bisa tertawa. Tawa mereka bukan satir. Tawa mereka adalah tawa yang teramat getir. 

Seperti penduduk Lojejer, tempat saya lahir dan besar. Masyarakatnya tetap bisa tertawa meski kemiskinan menyerang. Regulasi-regulasi pemerintah bak buah SMILE yang dikonsumsi penduduk Ebisu. Revolusi hijau, agraria, hingga industri semen yang sedang berjalan hari ini, oleh masyarakat disambut dengan tawa. Hasil panen petani jalan di tempat karena kondisi tanah yang stres. Ketergantungan yang tinggi pada pupuk, membuat petani kelabakan saat pupuk langka seperti yang terjadi sekarang. Hasil panen petani yang tidak begitu terserap dengan baik oleh pemerintah. Ini semua rangkaian narasi pemerintah yang menyakitkan. Jika waras, penduduk Lojejer (secara khusus) atau penduduk Indonesia (secara umum) tidak punya kesempatan untuk tertawa. Mereka hanya bisa menangis. 

Kebijakan pemerintah soal pangan tidak pernah menyentuh rakyat meski mereka menjadi subjek yang terdampak langsung oleh kebijakan. Jika Dahlan Iskan punya buku 'Dua Tangis dan Ribuan Tawa' (dan masuk dalam jejeran oligarki Indonesia), maka rakyat Indonesia secara otomatis (meski mereka tidak mengarang) punya buku 'Dua Tawa dan Ribuan Tangis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar