Bangun tidur langsung melakukakan
rutinitas bangun tidur. Cuci muka, misalnya. Agar kesan mandi langsung menempel
meski belum mandi. Kamar mandi Budi cukup simpel, antara kamar mandi dan WC
gabung menjadi satu.
Saya berangkat dari sekret menuju
rumah Budi pada Sabtu sore. Rencananya kami akan menghadiri acara Diklat Lapang
Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Aktualita di Watu Pecah, Ambulu. Sebelum
berangkat, kami mampir ke rumahnya untuk mengambil jatah uang Mingguan. “Uangku
sudah habis, mampir ke rumah dulu ya,” katanya. Aku yang diajaknya, cukup
menerima apa yang akan dilakukannya, pasrah. J
Tiba di rumahnya, di daerah
Purwojati, Kecamatan Wuluhan, Kabupaten Jember, hampir magrib. Beberapa menit
duduk suara adzan sudah terdengar ramai di beberapa masjid. Beda dengan rumah
Budi, hanya ada ayahnya sedang sibuk mengoperasikan HP di genggamanya.
“Assalamualaikum,” ujar Budi. “Waalaikum salam,” sahut ayahnya. Giliran saya,
gaya ikum paling tepat menurut saya
pada seseorang yang sudah tua.
Kami duduk santai sambil
menikmati suara adzan yang mulai berseru. Lewat waktu magrib, kami ngobrol
santai terkait rencana keberangkatan ke acara Aktualita. Tubuh budi tidak
bersahabat dengan rencana kami. “Berangkat tidak ya. Tubuhku terasa capek
semua,” katanya sambil memegang pundak dan perutnya. Dia memiliki sakit yang
agak parah dengan perut, tidak tahu pasti apa sakitnya. J
Setelah rencana awal gugur, dia
memutuskan untuk ke warnet terdekat, mencari uang. “Aku lagi butuh uang
sekarang, cari-cari sesuatu yang menghasilkan uang,” tuturnya. Saya juga tidak
menanyakan buat apa, karena tidak penting itu, J.
Sampai di warnet yang dituju Budi, tempat parkir penuh dengan motor dan sedikit
sepeda ontel. Kami tetap masuk, beruntung ada dua yang masih kosong.
Login berhasil, saya membuka akun
Twitter, Facebook, dan Blog. Rampung memasukkan sandi Twitter dan Facebook,
terlintas dari kejauhan Budi sedang berbincang dengan bagian server-nya. Setelah meng-klik beranda,
dia menghampiri saya. “Ayo pindah ke warnet yang lain. Di sini tidak bisa,”
ungkapnya. Rasa jengkel pasti ada, tapi tak saya tampakkan. Saya lihat
penghitung waktu dan tarif, sudah menunjukkan tarif seribu dalam dua menit.
Kemudian saya mematikan waktu dengan keluar dari akun jejaring sosial dulu.
Tak ada arah pasti yang kami
tuju. Tepat di depan masjid agung Wuluhan Budi memutar arah sepeda. “Bud, ada
warnet di jalan masuk depan masjid. Enak posisinya kok,” kata saya. Tiba di
warnet yang kedua, kondisi lebih sepi dari yang pertama. Dari beberapa komputer
yang tersedia, hanya dua yang ada orangnya. Kami pun bebas memilih tempat yang
nyaman dan jauh dari server.
Tidak terasa rasa krasan ini
menggerus waktu kami di warnet ini. Hingga pukul 21.30 tiba, Budi menghampiri
tempat saya. “Ayo pulang wes, atau jalan-jalan dulu,” tuturnya. Mumpung asik
bermain Twitter, saya tidak meng-iyakan ajakan Budi. Tiga menit kemudian, saya logout akun Twitter dan menghentikan
laju tarif di komputer bagian atas.
Rampung di warnet, kami
melanjutkan jalan-jalan tanpa tujuan di sekitar Wuluhan. Beberapa pedagang kaki
lima kami lewati, diantaranya penjual kopi, es, cilok, dan makanan gorengan.
“Ayo beli es, saya haus sekarang. Mungkin jika ditambah dengan cilok, enak
kayaknya,” gumam Budi. Dia menghentikan sepedahnya di samping Kapolsek Wuluhan
tepat di depan pedagang es buah dan cilok bakar.
“Pak, beli cilok bakar,” kata
Budi.
“Wah, habis mas ciloknya. Ini
tinggal es buah dan tahu petis,” kata pedagang itu.
Budi membeli es buah saja. Tidak
ada camilan, Budi membeli keripik singkong di sebelah timur pedagang es buah
yang menghadap ke barat.
Malam semakin larut. Saya
menyudahi obrolan dengan membayar es. Tapi membayar sendiri-sendiri. Perjalanan
yang harus kami tempuh sampai di rumah Budi adalah sekitar satu kilometer. Dari
Kapolsek menuju ke utara untuk rumahnya. Melewati empat sekolahan umum. Dua
sekolah menengah pertama, dan dua sekolah menengah atas.
(11/03/13)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar