Kamis, 14 Maret 2013

Ini Rumah Budi


Bangun tidur langsung melakukakan rutinitas bangun tidur. Cuci muka, misalnya. Agar kesan mandi langsung menempel meski belum mandi. Kamar mandi Budi cukup simpel, antara kamar mandi dan WC gabung menjadi satu.

Saya berangkat dari sekret menuju rumah Budi pada Sabtu sore. Rencananya kami akan menghadiri acara Diklat Lapang Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Aktualita di Watu Pecah, Ambulu. Sebelum berangkat, kami mampir ke rumahnya untuk mengambil jatah uang Mingguan. “Uangku sudah habis, mampir ke rumah dulu ya,” katanya. Aku yang diajaknya, cukup menerima apa yang akan dilakukannya, pasrah. J

Tiba di rumahnya, di daerah Purwojati, Kecamatan Wuluhan, Kabupaten Jember, hampir magrib. Beberapa menit duduk suara adzan sudah terdengar ramai di beberapa masjid. Beda dengan rumah Budi, hanya ada ayahnya sedang sibuk mengoperasikan HP di genggamanya. “Assalamualaikum,” ujar Budi. “Waalaikum salam,” sahut ayahnya. Giliran saya, gaya ikum paling tepat menurut saya pada seseorang yang sudah tua.

Kami duduk santai sambil menikmati suara adzan yang mulai berseru. Lewat waktu magrib, kami ngobrol santai terkait rencana keberangkatan ke acara Aktualita. Tubuh budi tidak bersahabat dengan rencana kami. “Berangkat tidak ya. Tubuhku terasa capek semua,” katanya sambil memegang pundak dan perutnya. Dia memiliki sakit yang agak parah dengan perut, tidak tahu pasti apa sakitnya. J

Setelah rencana awal gugur, dia memutuskan untuk ke warnet terdekat, mencari uang. “Aku lagi butuh uang sekarang, cari-cari sesuatu yang menghasilkan uang,” tuturnya. Saya juga tidak menanyakan buat apa, karena tidak penting itu, J. Sampai di warnet yang dituju Budi, tempat parkir penuh dengan motor dan sedikit sepeda ontel. Kami tetap masuk, beruntung ada dua yang masih kosong.

Login berhasil, saya membuka akun Twitter, Facebook, dan Blog. Rampung memasukkan sandi Twitter dan Facebook, terlintas dari kejauhan Budi sedang berbincang dengan bagian server-nya. Setelah meng-klik beranda, dia menghampiri saya. “Ayo pindah ke warnet yang lain. Di sini tidak bisa,” ungkapnya. Rasa jengkel pasti ada, tapi tak saya tampakkan. Saya lihat penghitung waktu dan tarif, sudah menunjukkan tarif seribu dalam dua menit. Kemudian saya mematikan waktu dengan keluar dari akun jejaring sosial dulu.

Tak ada arah pasti yang kami tuju. Tepat di depan masjid agung Wuluhan Budi memutar arah sepeda. “Bud, ada warnet di jalan masuk depan masjid. Enak posisinya kok,” kata saya. Tiba di warnet yang kedua, kondisi lebih sepi dari yang pertama. Dari beberapa komputer yang tersedia, hanya dua yang ada orangnya. Kami pun bebas memilih tempat yang nyaman dan jauh dari server.

Tidak terasa rasa krasan ini menggerus waktu kami di warnet ini. Hingga pukul 21.30 tiba, Budi menghampiri tempat saya. “Ayo pulang wes, atau jalan-jalan dulu,” tuturnya. Mumpung asik bermain Twitter, saya tidak meng-iyakan ajakan Budi. Tiga menit kemudian, saya logout akun Twitter dan menghentikan laju tarif di komputer bagian atas.

Rampung di warnet, kami melanjutkan jalan-jalan tanpa tujuan di sekitar Wuluhan. Beberapa pedagang kaki lima kami lewati, diantaranya penjual kopi, es, cilok, dan makanan gorengan. “Ayo beli es, saya haus sekarang. Mungkin jika ditambah dengan cilok, enak kayaknya,” gumam Budi. Dia menghentikan sepedahnya di samping Kapolsek Wuluhan tepat di depan pedagang es buah dan cilok bakar.
“Pak, beli cilok bakar,” kata Budi.
“Wah, habis mas ciloknya. Ini tinggal es buah dan tahu petis,” kata pedagang itu.
Budi membeli es buah saja. Tidak ada camilan, Budi membeli keripik singkong di sebelah timur pedagang es buah yang menghadap ke barat.

Malam semakin larut. Saya menyudahi obrolan dengan membayar es. Tapi membayar sendiri-sendiri. Perjalanan yang harus kami tempuh sampai di rumah Budi adalah sekitar satu kilometer. Dari Kapolsek menuju ke utara untuk rumahnya. Melewati empat sekolahan umum. Dua sekolah menengah pertama, dan dua sekolah menengah atas.

(11/03/13)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar