Kau terlahir di dunia lebih dulu daripada
aku. Tuhan menciptakanmu sebagai kumpulan dari lembaran-lembaran ayat-ayatnya.
“kau adalah ciptaanku yang suci. Bebas dari debu jalanan yang tersentuh
kotoran-kotoran sapi,” kata tuhan.
Tercipta lebih dulu bukan berarti tahu
tentangku, bangkai yang direndam minyak zaitun oleh Tuhanku. Aku ingat betul
saat mata kita beradu di bawah atap Musola Ampel. Aku yang tak cukup dewasa
waktu itu malu meramu tatapan kita yang lugu. Seperti hari sebelumnya, hari ini
kau ada janji bersama kawanku, Derojat untuk mengkaji ayat-ayat Tuhan yang ada
padamu. Tiap lembaranmu yang dibuka Derojat tercium zaitun dari tubuhmu. Kau
tenangkan setiap orang yang membaca dirimu.
Aku gagap membacamu, mengertimu, menafsirmu,
lebih menerapkannya. Aku bisa di bilang gagal atas itu. Kau, membawa aku yang
hina ini ke pantai. Lari dari orang-orang yang mengejekku atas ketidakbecusanku
memahamimu. Pasir, debur ombak yang menampar bebatuan mengoyak isi kepalaku.
Terasa di cuci, diganti isinya, dan dijahit ulang tempurung kepalaku.
Kita saling berpegangan erat. Aku
memahamimu semampuku. Aku menjagamu agar lembaran-lembaranmu tidak basah oleh
ombak yang berpacu dengan merdu. Aku tutp sampulmu yang terciprat ombak. Kau
sedikit lusu.
Hari aku jalani dengan rajin dan tekun
untuk memahamimu. Takut tafsir yang aku lakukan menyeleweng dari jalannya.
Itu dulu, saat aku belum menjadi atheis.
Menyendiri atas diri sendiri.
Menyentuhmu tak pernah aku punya wudu.
Memahamimu tak pernah aku punya bekal yang cukup. Hingga tafsir yang aku
lakukan sekadar pengetahuanku yang terbatas atasmu. Sampai kita mengangkat
bendera jaga jarak. Kau marah karena sikapku yang ‘sembrono’. Kalimat umpatan
yang biasa aku rapalkan lebur dengan sendirinya. Tapi, jahitan tempurung
kepalaku robek. Dengan luka yang menganga.
Pernah aku berjanji atasmu untuk selalu
menjaga ayat-ayat yang terkandung atas lembaran-lembaranmu. Kini, setelah aku
menjadi atheis, janji itu berubah menjadi belatung yang menggerogoti lukaku.
Otakku membusuk. Bau anyir menusuk. Otakku terkatung-katung termakan belatung.
Tiap kali aku mengingat janji itu, belatung
bertambah jumlahnya. Aku mencoba memahamimu tak lagi bau anyir. Nanah dan darah
meleleh dari kepalaku. Aku tidak ingin menjadi atheis. Tapi aku juga tidak mau
terbatas untuk memahamimu sebagai ayat-ayat Tuhan yang tertulis di
lembaran-lembaran suci. Aku hanya tidak ingin memahamimu seperti yang dilakukan
bajingan-bajingan busuk itu. Mereka atas nama agama, bersurban, kopyah, rajin
wudu, dan berdakwah sana-sini tanpa bukti. Hanya itu.
“AKU TIDAK INGIN MEMAHAMIMU SEPERTI YANG
DILAKUKAN BAJINGAN BUSUK ITU”.
Mungkinkah bendera jarak yang telah kita
angkat akan turun? Menjalani hari dengan saling memahami? Atau sekadar beradu
mata saat kau di rak Musola Ampel ? Kini, kau memilih duduk rapi di dalam rak
berteman debu musola dan penjaganya.
Jember, 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar