Rabu, 20 Februari 2013

Ramadhan

Pintu gerbang terbuat dari kayu. Yang disebelah kanan dan kiri terdapat patung semacam singa duduk. Saya lupa nama patung itu. Meski sudah di beritahu oleh pemilik rumahnya. Setelah masuk halaman dipenuhi dengan tumbuh-tumbuhan. Beberapa macam bunga tersedia. Ada yang dibiarkan merambat. Ada yang ditanam di pot bunga. Bunga yang merambat banyak dihuni oleh ular. “Jika tanaman yang itu mas (sambil menunjuk tanaman merambat), sering ular jalan-jalan di jalanan ini,” kata orang yang tinggal di daerah dekat DIY ini. Jalan yang dimaksud adalah jalan setapak menuju ruang kerjanya. Tepat utara garasi mobil.
Sangkar burung menggantung di bawah pohon kenanga. Beberapa sangkar digantung di depan rumahnya. Tepat di atas tempat duduk santai di waktu siangnya. Dia adalah seorang pelukis, karikaturis, dan orang tua dari dua buah anaknya.
Di sebelah selatan berdiri bangunan rumah Jepang. Tidak tahu seberapa besar ukuran rumah itu. Siang itu, pintunya terbuka. Saya melihat lukisan perempuan di dalamnya. Mungkin mengandung arti lebih bagi dia. Karena sampai di taruh di dalam tempat yang sering digunakan untuk merenung, dan santai. Lebih enaknya, saat galau atau menyendiri. Hahaha. “Bapak sering ke sana ketika merenung dan melukis. Biasanya waktu santai bapak di lakukan di sana,” ujar salah seorang pembantu rumah tangga.
Bapak itu ramah dan terbuka sekali. Cerita keluarga, karir, masa muda, dan beberapa masalah yang dia sedang hadapi. Ancaman, misalnya. Tak jarang mendapat ancaman dari pihak pemerintah tatkala menggambar sesuatu yang sangat mendalam. “Sering mas saya mendapat ancaman. Ya, gambar ini tidak boleh terbit, terlalu kritiknya, macam-macamlah,” ujar lelaki yang duduk di kursi kayu di depan ruangan kerjanya ini. Dia juga bercerita, kasihan teman-teman media. Memaksa gambarnya terbit dan mendapat tekanan dari pemerintah. Takutnya seperti pada masa Soeharto dulu, banyak media yang stok kertas di batasi. Sehingga beberapa media tak bisa terbit. Beberapa urusan lain dipersulit. “Kan kasihan,” kata lelaki yang rambutnya mulai memutih ini.
Dia mengatakan, sukses seperti ini. Bekerja di media nasional, beberapa tahun hidup di luar negeri, Jepang. Tidak serta merta. Butuh waktu puluhan tahun untuk mencapai posisi seperti sekarang ini. “Kalau menjadi pelukis karbitan mudah sekali untuk zaman sekarang ini  mas. Seperti ada teman saya. Dia dalam beberapa bulan mendapatkan uang dari lukisan yang laku sangat. Tapi setelah itu, dia tidak mendapat masukan dari lukisannya karena tidak ada yang membeli lukisannya itu,” katanya. Dia menambahkan, butuh waktu lama dan telaten untuk mencapai sukses. Tidak cepat. Semua itu butuh proses lama. Dalam pencapaian karirnya membutuhkan waktu puluhan tahun. “Tapi ya lumayan mas. Pada waktu tua ini, tinggal menikmati hasil jerih payahnya mas,” ujarnya sambil tersenyum lepas.
Matahari mulai meninggi. Sekitar pukul 10.00. Ada laki-laki yang usianya sekitar tiga puluhan berjalan ke arah kami ngobrol. Perawakanya pendek. Perutnya agak buncit. Mereka berbicara layaknya juragan dengan majikan. Ada yang mendapat instruksi dan pemberi instruksi. Namun, mereka tampak akrab. Jika saya melihat, seperti saudara sendiri. Begitu halus instruksi yang dikeluarkan. Saya tidak menghiraukan pembicaraan jelasnya mereka. Tetapi, mereka membicarakan persiapan melukis untuk lomba yang akan di selenggarakan di DIY.
Kami melanjutkan obrolan. Dia bercerita, mempunyai dua istri. Istri yang pertama beragama Kristiani. Dan yang kedua Islam. Pada awalnya dia beragama Kristen. Beragama Islam masih beberapa tahun ini. “Saya dulu umat Kristiani,” ujarnya. Dia sudah melaksanakan ibadah haji. Tetapi, dalam hajinya mengalami kejadian yang dianggapnya merupakan balasan.
“Waktu muda, saya pekonsumsi MIRAS, narkotika, dan semacamnya,” katanya. Pada waktu haji, dia menambahkan, mengalami masalah-masalah yang ruwet. Mulai dari paspor yang hilang tiba-tiba. Tertinggal kendaraan di padang pasir pada jalan yang menanjak, dan beberapa masalah lain yang berkaitan dengan kesehatan. “Pernah saya mengalami batuk yang tidak seperti biasa. Namun saya meminta pada tuhan jika memang saya sakit di rumah saja. Jangan di sini,” ungkapnya.
Ibadah haji selesai. Beberapa hari di rumah dia jatuh sakit parah. Dia muntah sesuatu yang kotor yang menurutnya disebabkan oleh debu padang pasir sewaktu di Arab. Beberapa bulan terbaring di atas ranjang rumah sakit menghasilkan sebuah lukisan. Dalam lukisan itu, dia sedang membawa boneka di tangan kananya sedangkan tangan kirinya tidak memegang suatu apapun. Baju hitam membalut tubuhnya yang keriput, pucat.
Pada 08 Agustus 2012 saya dan salah satu teman berangkat menuju DIY dengan kereta dari stasiun Pasuruan. Adalah Udin teman akrab mulai kami duduk di bangku sekolah dasar sampai SMA. Akan tetapi, SMP kami tidak sama. Dia sekolah di SMP Negeri 1 Wuluhan. Saya di SMP Ma’arif 08 Ampel. Dan kami menjadi satu sekolahan kembali waktu SMA. Ini membuat saya semakin akrab denganya, maupun keluarganya. Hari libur sekarang, saya memilih untuk jalan-jalan bersama Udin di DIY. Tak ada tujuan pasti antara kami. Yang penting, adalah mampir di rumah seorang pelukis hebat di daerah dekat DIY.
Kami berangkat pagi dari Pasuruan dan tiba di stasiun Klaten pada waktu Duhur hampir Asar. Berteduh di mushola dekat stasiun menjadi pilihan. Tempatnya sejuk. Ada dua kamar mandi yang lengkap dengan sabunnya. Bekal sabun dari rumah yang kami pakai lengkap dengan sampo yang terbungkus dengan plastik. Selesai mandi dan istirahat kami melanjutkan perjalan mencari rumah seorang pelukis yang terkenal itu.
Kembali ke daerah stasiun mencari angkutan umum sekaligus menanyakan alamat yang kami dapat dari pelukis itu. Buntung kami tidak mendapatkan angkutan umum. Beruntungnya informasi yang kami butuhkan muncul dari tukang becak yang berjejer di utara stasiun. “Kalau alamat ini saya tahu mas,” kata salah seorang tukang becak.
Akhirnya kami memutuskan untuk naik becak. Perjalanan cukup nyaman. Meski terkadang suara nafas yang terengah-engah muncul dari belakang kami, sopir becak. Membuat saya tidak tega dengan sopirnya. Karena jalanan yang kami tempuh naik turun.
Tiba di depan rumah dekat masjid, kami diturunkan. “Sudah sampai mas,” kata tukang becak. Kami turun dan membayar ongkos becak dua puluh ribu rupiah. sebelum tukang becak itu kembali, dia memanggil seorang tukang kebun yang ada di dalam rumah tepat kami diturunkan. “Pak, ini ada dua anak dari Jember mau ketemu bapak. Sampean ajak masuk saja,” tuturnya. Tukang kebun itu tidak mengijinkan kami masuk. Dengan alasan yang punya rumah belum datang. “Bapak masih ke Yogya, berobat mas. Besok saja mas ke sini lagi,” ujar tukang kebun yang berbicara lewat lubang kecil, di dinding pagar rumah bagian depan.
Mendengat itu, kami memutuskan beristirahat di Masjid selatan rumah yang kami tuju. Sembari menunggu bapak pelukis itu datang dari Yogya. Komunikasi lewat telepon seluler saya lakukan. Nomor pelukis itu sewaktu saya hubungi tidak ada jawaban. Sering rasa, pasrah dan lelah menghinggapi saya.
Speaker masjid sudah mulai ramai. Pertanda buka sudah di putar. Kami berjalan menyusuri kota ini dengan jalan kaki. Mencari sesuatu untuk buka kali ini. Berbuka dengan satu mangkuk mi ayam dengan minum es cendol mengganjal perut kami. Setelah magrib kami kembali melihat rumah pelukis itu. Sepi. Rumah yang cukup besar ini tak ada suara ramai orang. Lampu yang remang-remang membuat kesan angker. Kami memutar menjelajahi jalanan yang ada di komplek perumahan.
Anjing melonglong dengan kerasnya. Kami takut hewan itu mengejar. Karena tak ada rantai atau kendali di lehernya. Lari secepat mungkin kami lakukan menghindari kejaran anjing itu. Pagar yang ada di depan rumah menghalangi anjing untuk mengejar dan kami selamat dari kejarannya.
Berlarian malam-malam membuat perut kami merasa lapar. Jalan kami putar menuju tempat buka puasa tadi. Sekitar satu setengah kilo jalan yang harus kami tempuh. Sepanjang jalan yang kami lalui tidak ada warung buka. Hanya pedagang mi ayam dan sate. Dengan perut lapar, mondar-mandir kami lakukan. Sampai di depan bengkel, ada warung kecil penjual jajanan goreng seperti pisang goreng, tahu, dan ote-ote.
“Pak, ada nasi bungkus?” tanya Udin.
“Ada, seribuan dik,” jawab pedagang itu.
“Ini pak uangnya,” kata Udin dengan memberikan uang enam ribu rupiah kepada pedagang itu.
Bungkusan yang berukuran satu kepal anak SD ini kami bawa ke Masjid yang tadi. Di tengah jalan, kami membeli air mineral 600 ml di dekat jalan raya. Duduk santai di depan toko tutup yang tidak terjamah cahaya lampu membuat setiap orang yang lewat melihat kami.
Masalah hampir mampir pada kami. ada anak yang kehilangan sepeda sewaktu kami berjalan menuju Masjid. Beruntung kami tidak di curigai. Mungkin wajah yang terlalu polos membuat orang berpikiran baik pada saya. Hahaha
Sampai di Masjid kami langsung makan. “Ini merangkap dengan sahurnya,” kata teman saya sambil tertawa pelan karena waktu sudah larut malam. Malam ini kami tidur nyenyak di atas karpet Masjid yang tak ada dindingnya ini. Hanya pagar dengan tinggi setengah meter mengelilingi masjid. Setelah Subuh saya mendapat telpon dari pelukis itu.
“Ada dimana sekarang mas?” tanya dia.
“Saya ada di Masjid selatan rumah bapak,” jawab saya.
“Langsung ke sini saja mas. Saya sudah ada di rumah”
“Iya pak”
Jarak Masjid dengan rumahnya hanya sekitar lima meter. Masuk rumah dia sudah berdiri di depan rumah mengenakan sarung dan baju hitam. Waktu jabat tangan dia bergumam, wah para facebooker ini. Mungkin karena kami kenal lewat akun facebook kali ya. Ngobrol santai di depan rumah terbentuk. Tidak berapa lama kami di ajak pindah di rumah sebelah utara. Tepatnya di utara garasi mobil. Ada tiga kursi duduk dan satu lagi yang bentuknya memanjang.
Obrolan seputar kabar, dan kisah kami sewaktu datang dan dia tidak ada di rumah. Yang intinya dia meminta maaf karena oleh penjaga kebunnya tidak diperkenankan masuk rumah. Dikarenakan baru kemarin ini burung peliharaan kesayangannya hilang. “Kemarin itu halaman saya ini penuh dengan burung (yang saya tidak hafal nama burung yang dia sebutkan). Burung-burung ini saja (sambil menunjuk beberapa burung yang menggantung di pohon dan teras rumah) baru beli lagi kok mas,” katanya.
Dia juga menceritakan seputar keluarganya, pengalamannya, penyakitnya, dan beberapa masa lalu yang suram pada masa mudannya. Singkatnya, dia adalah pemuda yang suka minum-minuman keras, pengguna narkotika. Namun tidak untuk bermain dengan wanita. Banyak kata-kata motivasi yang dia ucapkan. Juga bimbingan pada saya jika ingin sukses. Betapa pentingnya sebuah bahasa. “Bahasa itu penting lo mas. Bener ini,” tegasnya.
Pukul 11.00 dia bicara pada saya jika ada tugas yang belum selesai, karikatur. Dia meminta menyiapkan tempat untuk saya istirahat di dalam ruangan kerjanya yang penuh dengan lukisan hasil tangannya sendiri. Meski ada beberapa lukisan orang lain, Rendra, misalnya. Dia juga mengajak saya keliling melihat hasil lukisan tanganya di dalam ruang itu. Termasuk lukisan beberapa orang yang diam di bawah sutet dengan mulut yang terjahit. Dia nampak sedih ketika menunjukkan lukisan itu. Namun, disela-sela mukanya yang sedih, dia tertawa kecil dengan apa yang terjadi pada bangsa ini, pemerintah.
Selesai keliling melihat gambar, dia pamit pada saya dan Udin untuk menggarap tugasnya yang belum selesai. Tampak serius di bawah lampu kuno lurus dengan jendela rumahnya yang menhadapap ke depan. Tampak jelas saat saya berjalan menuju kamar mandi. Karena kamar mandi yang ada di luar tepat di samping depan rumahnya. Sering saya mendengar dia memainkan musik gitar yang katanya asli dari spanyol. Indah sekali alunan musik itu. Dalam ceritanya, dia dulu pernah menjadi musisi pada masa mudanya.
Mulai pukul 12.00 sampai 02.00 saya jarang melihat dia tidak sedang duduk di tempatnya menggambar. Sungguh membuat saya iri. Orang yang tidak bisa apa-apa saja, dalam menggambar hanya beberapa menit. Tanpa memerhatikan makna dan tujuan gambar tersebut. Beda dengannya, yang waktu sepanjang itu digunakan untuk memikirkan satu gambar saja. Karena, saya melihat beberapa kertas di tumpuk disampingnya. Mungkin beberapa gambar yang salah. Tampak tidak digunakan lagi.
Saya bermalam di rumah ini hanya satu malam. Pada siangnya saya melanjutkan perjalanan liburan saya bersama Udin. Dengan pertimbangan keluarganya yang cemas akan kabar Udin. Takut terjadi apa-apa. Selama saya di sini, beberapa buku tentang teori melukis di sediakan untuk saya baca. Macam-macam cat, kanvas yang bagus saya pelajari. Tapi, mungkin kurangnya minat akan seni lukis tidak membuat saya mudeng dengan buku yang saya baca.
Banyak ilmu dan motivasi yang saya dapat. Juga beberapa kenalan dari banyak kalangan. Meski hanya satu profesi, pekerja rumah. Sopirnya adalah orang yang pintar. “Dia akan menjadi seorang pendeta,” kata pelukis itu. Lelaki yang buncit dengan anaknya yang sukses bekerja di sebuah perusahaan elektronik. Dan orang yang ada tatonya dalam tubuh sebagai penjaga rumah waktu malam. Dia mempunyai satu anak perempuan yang duduk di bangku TK. Dan anak dari pelukis yang kuliah di DIY. Saya lupa nama Universitasnya. Dia perempuan, tinggi sedang, kulit putih, dan rambutnya ikal. Tak tahu namanya. Semua orang yang aku kenal di sini adalah bentuk muka dan tubuhnya. Masalah nama sebagian saya lupa dan tidak tahu. Kecuali denga pelukis itu, saya hafal nama dan gaya bicaranya.
Ilmu penting yang saya dapat darinya adalah toleransi. Banyak unsur agama yang ada di lingkunganya. Umat Kristiani, Islam, Hindu, dan Budha. Dia menjadi penyatu beberapa agama yang ada di situ. Hidup berdampingan dengan agama yang berbeda bukanlah suatu masalah. “Meski dulu pada awalnya saya banyak dibenci oleh golongan saya sendiri, Islam. Tapi saya mencoba memahamkan dan menyatukan mereka,” kata pelukis itu.
Saya berharap dapat ketemu lagi dengannya. Modelnya yang ngangenin, terkadang membuat saya kangen. “Jika saya sudah tidak ada. Rumah ini saya kasihkan kepada negara. Supaya digunakan tempat budaya. Karena anak-anak saya sudah punya rumah sendiri. Tapi, jika mau meneruskan atau menempati rumah ini ya tidak apa-apa,” katanya.


 (20/02/13)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar