Pulang sekolah tidak pulang ke
rumah. Kebiasaan ini mulai saya kelas tiga sekolah menengah atas di salah satu
sekolahan di daerah Wuluhan. Nama sekolahan itu adalah MA ALMA’ARIF 03. Sekolah
yang berdiri di bawah yayasan lembaga ma’arif. Tapi saya tidak pernah mengerti
apa dan bagaimana tugas dari yayasan itu. Karena saya tergolong dengan orang
yang tidak begitu memerhatikan segala sesuatu yang sifatnya formal. Merasa
sesuatu yang non-formal lebih asik dan bebas. Tapi masih tetap berkualitas. Hahaha
Perjalanan sekolah sampai pada
rumah membutuhkan waktu setengah jam perjalanan sepeda ontel. Sudah terbiasa
panas-panasan, sampai jika sempat pulang ke rumah acap kali mendapatkan semacam
ceramah dari orang tua. “Kok tambah ireng to le (kok tambah hitam to le?)” kata
ibu saya. Hal seperti itu saya acuh. Karena belajar adalah hal penting, maka
berkorban penting juga. Hahaha
Lewat pukul 13.00 saya sampai di
rumah kakak. Tepatnya bukan kakak kandung, melainkan kakak dari anak mbak ayah
saya. Tidak tahu pasti sebutan terkait silsilah keluarga. Tetap pada biasa.
Lagu Koes Plus memenuhi ruangan kamar yang berukuran 2x2 meter. “Lagu ini
pernah menjadi tren dulu pada eranya,” kata mas yang lahir pada tahun 80-an
ini.
Perkara populer bukan ukuran saya
menyukai sebuah lagu. Tapi enaknya. Satu lagu yang sering di putar dan saya
dengar. Adalah “Kolam Susu” yang menjadi salah satu lagu favorit untuk mas.
Begitupun dengan saya. Lagunya lucu dan menghibur. Setiap mampir ke sini,
meminta mas untuk memutarkan lagu ini secara berulang. Soalnya masih belum
hafal.
Setelah lulus sekolah menengah
atas saya melanjutkan studi di salah satu perguruan tinggi di daerah Kaliwates.
STAIN Jember namanya. Detailnya di Jurusan Syariah, Program Studi Al-Ahwal
Al-Syakhsiyah angkatan 2011. Meski banyak orang atau teman mahasiswa menyangka
saya adalah mahasiswa yang hampir lulus. Acap kali saya tertawa sendiri dengan
mereka yang semesternya lebih atas ketika bertemu menundukkan kepala secara
berlebihan. Hahaha, parah. Orang-orang menyebutnya jurusan hukum. Pada awalnya
tidak mengerti akan jurusan yang saya pilih. “Asal pilih saja, perkara
setelahnya ya dihadapi selanjutnya,” pikir saya.
Beberapa minggu di sini ada
sebuah organisasi yang membuka pendaftaran bagi calon anggota baru. UPM
Millenium, namanya. Jalan atau bentuknya yaitu media dan pers mahasiswa. Organisasi
yang berkecimpung pada jurnalistik ini di bawa oleh orang-orang yang aktif di
beberapa organisasi. Intra, misalnya. Ada mahasiswa yang dari pecinta alam,
resimen mahasiswa, dan beberapa orang lain yang aktif di organisasi intra
lainnya.
Pamflet penerimaan anggota baru
tersebar di beberapa mading kampus. Pembelajaran puisi, salah satu isi pamflet
itu. ini membuat saya ingin masuk dan mendalami bidang puisi, sekadar kesukaan
saja. Selebihnya tidak begitu suka. Membuat karya ilmiah, berita, dan beberapa
yang terkait dengan jurnalistik, misalnya. Lebih memilih menghindar dengan hal
seperti itu. Karena terasa sangat kaku, tidak kalem seperti puisi. Yang
kebanyakan dan bisa membuat orang merinding dan sedih ketika mendengar
seseorang membacakan puisi. Dan lebih dapat mengungkapkan perasaan diri.
Akan tetapi, setelah masuk di UPM
Millenium bertemu dengan orang-orang yang militan dan keren. Membuat saya betah
dan mulai menyukai bidang jurnalistik. Ya meski ada teman Unej yang bilang,
“saya masuk di persma karena terpaksa dan terlanjur. Masuk di persma berharap mendapatkan ilmu
fotografi. Setelah masuk, tidak ada. Ya saya berpikir untuk mulai mengadakan
fotografi saja”. Di UPM MIllenium ada yang ahli puisi, dan juga ahli berbahasa
inggris sampai memenangkan beberapa lomba tingkat perguruan tinggi. Hanya dua
orang pada waktu itu yang membuat saya termotivasi. Selebihnya belum tahu. Dia
adalah Fais dan Afwan.
Bulan-bulan berlalu menanggalkan
kalender yang ada dalam handphone Smart
saya. Dalam masa yang cukup singkat itu, saya diperkenalkan dengan teman-teman
pers mahasiswa unej. Sama halnya Fais dan Afwan. Mereka yang di Unej lebih pada
suka baca buku lucu-lucu. Filsafat, jurnalistik, dan beberapa buku bagus
lainnya. Hadir selalu menemani keseharian mereka.
Pada tanggal 21 Februari 2013
saya membaca buku “Jurnalisme Sastrawi Antologi Liputan Mendalam dan Memikat”
yang di tulis oleh beberapa wartawan sangar. Diantaranya, Andreas Harsono,
Alfian Hamzah, Agus Sopian, Eriyanto, Chik Rini, Coen Hosain Pontoh, Linda
Christanty, dan Budi Setiyono-mirip nama anggota UPM Millenium angkatan 2009.
Dalam buku itu, Budi Setiyono menulis hasil liputannya berjudul
“Ngak-Ngik-Ngok” yang dimuat dalam majalah Pantau, Oktober 2001. Dalam
tulisannya mengisahkan grup band Koes Bersaudara-nama awal Koes Plus- pada masa
awal sampai pada nama Koes Plus ada pada tahun 1969. Ini menceritakan perangnya
pada rezim Orde Lama dengan berbagai alasan budaya yang sebenarnya saya nilai
sebagai sebuah politik belaka. Angkernya tulisan itu. Saya diajaknya
berjalan-jalan pada masa lampau dengan begitu kejam dan kuasanya seorang
pemimpin pada masa itu.
Rasa salut dan tersanjung pada
grup band “Koes Plus” yang membawa lagu-lagu lucu dan enak tapi tetap
mengandung makna lebih. Seperti dijelaskan dalam reportase Budi-wartawan, lirik
bukan lautan hanya kolam susu. Di sana tertulis, “menggendong bayinya dan
memberi minum susu saja enggak bisa kok mas Yok bilang kolam susu,” halaman
258. Yok (Koesrojo)adalah salah satu personel grup band Koes Bersaudara yang
merupakan anak dari Koeswojo dari Sembilan bersaudara. Dari lirik itu bangsa
ini mendapatka peringatan dari Koes Bersaudara. Juga pada lirik tongkat yang
diartikan sebagai sebuah lambang begitu kaya dan makmurnya negeri kita ini.
Namun, pada zaman sekarang tongkat itu dialih fungsikan sebagai tongkat estafet
yang menjadi rebutan para penguasa. Hahaha, J
Rampung membaca tulisan Budi,
saya semakin suka dengan lagu-lagu Koes Plus. Karena dia berjuang demi bangsa
dan Negara ini. Bukan sekadar popularitas yang mereka kejar. Membuat saya iri
dengan mereka. Salutnya lagi, Cuma masalah lagu mereka harus mendekam di bui.
Wow,,, sungguh zaman yang sangat bebas sekarang. Tidak seperti dulu. Banyak
orang kritis harus mendapat ancaman setiap harinya dari pihak pemerintah.
Meski, sekarang juga masih ada praktik seperti itu. tapi, sudah tidak terlalu
fulgar. Kita kan sekarang hidup di zaman demokratis. Pernah saya membaca
tulisan orang kita masih belum pada masa itu, demokratis secara utuh. Hahaha.
Saya ucapkan terima kasih buat
mereka yang memperjuangkan bangsa ini menjadi demokrasi. Tidak terbayang jika
sekarang masih pada rezim Orde Lama atau Baru. Menakutkan,,, hahaha
(21/02/13)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar