Jumat, 22 Februari 2013

Koes Plus


Pulang sekolah tidak pulang ke rumah. Kebiasaan ini mulai saya kelas tiga sekolah menengah atas di salah satu sekolahan di daerah Wuluhan. Nama sekolahan itu adalah MA ALMA’ARIF 03. Sekolah yang berdiri di bawah yayasan lembaga ma’arif. Tapi saya tidak pernah mengerti apa dan bagaimana tugas dari yayasan itu. Karena saya tergolong dengan orang yang tidak begitu memerhatikan segala sesuatu yang sifatnya formal. Merasa sesuatu yang non-formal lebih asik dan bebas. Tapi masih tetap berkualitas. Hahaha
Perjalanan sekolah sampai pada rumah membutuhkan waktu setengah jam perjalanan sepeda ontel. Sudah terbiasa panas-panasan, sampai jika sempat pulang ke rumah acap kali mendapatkan semacam ceramah dari orang tua. “Kok tambah ireng to le (kok tambah hitam to le?)” kata ibu saya. Hal seperti itu saya acuh. Karena belajar adalah hal penting, maka berkorban penting juga. Hahaha
Lewat pukul 13.00 saya sampai di rumah kakak. Tepatnya bukan kakak kandung, melainkan kakak dari anak mbak ayah saya. Tidak tahu pasti sebutan terkait silsilah keluarga. Tetap pada biasa. Lagu Koes Plus memenuhi ruangan kamar yang berukuran 2x2 meter. “Lagu ini pernah menjadi tren dulu pada eranya,” kata mas yang lahir pada tahun 80-an ini.
Perkara populer bukan ukuran saya menyukai sebuah lagu. Tapi enaknya. Satu lagu yang sering di putar dan saya dengar. Adalah “Kolam Susu” yang menjadi salah satu lagu favorit untuk mas. Begitupun dengan saya. Lagunya lucu dan menghibur. Setiap mampir ke sini, meminta mas untuk memutarkan lagu ini secara berulang. Soalnya masih belum hafal.
Setelah lulus sekolah menengah atas saya melanjutkan studi di salah satu perguruan tinggi di daerah Kaliwates. STAIN Jember namanya. Detailnya di Jurusan Syariah, Program Studi Al-Ahwal Al-Syakhsiyah angkatan 2011. Meski banyak orang atau teman mahasiswa menyangka saya adalah mahasiswa yang hampir lulus. Acap kali saya tertawa sendiri dengan mereka yang semesternya lebih atas ketika bertemu menundukkan kepala secara berlebihan. Hahaha, parah. Orang-orang menyebutnya jurusan hukum. Pada awalnya tidak mengerti akan jurusan yang saya pilih. “Asal pilih saja, perkara setelahnya ya dihadapi selanjutnya,” pikir saya.
Beberapa minggu di sini ada sebuah organisasi yang membuka pendaftaran bagi calon anggota baru. UPM Millenium, namanya. Jalan atau bentuknya yaitu media dan pers mahasiswa. Organisasi yang berkecimpung pada jurnalistik ini di bawa oleh orang-orang yang aktif di beberapa organisasi. Intra, misalnya. Ada mahasiswa yang dari pecinta alam, resimen mahasiswa, dan beberapa orang lain yang aktif di organisasi intra lainnya.
Pamflet penerimaan anggota baru tersebar di beberapa mading kampus. Pembelajaran puisi, salah satu isi pamflet itu. ini membuat saya ingin masuk dan mendalami bidang puisi, sekadar kesukaan saja. Selebihnya tidak begitu suka. Membuat karya ilmiah, berita, dan beberapa yang terkait dengan jurnalistik, misalnya. Lebih memilih menghindar dengan hal seperti itu. Karena terasa sangat kaku, tidak kalem seperti puisi. Yang kebanyakan dan bisa membuat orang merinding dan sedih ketika mendengar seseorang membacakan puisi. Dan lebih dapat mengungkapkan perasaan diri.
Akan tetapi, setelah masuk di UPM Millenium bertemu dengan orang-orang yang militan dan keren. Membuat saya betah dan mulai menyukai bidang jurnalistik. Ya meski ada teman Unej yang bilang, “saya masuk di persma karena terpaksa dan terlanjur.  Masuk di persma berharap mendapatkan ilmu fotografi. Setelah masuk, tidak ada. Ya saya berpikir untuk mulai mengadakan fotografi saja”. Di UPM MIllenium ada yang ahli puisi, dan juga ahli berbahasa inggris sampai memenangkan beberapa lomba tingkat perguruan tinggi. Hanya dua orang pada waktu itu yang membuat saya termotivasi. Selebihnya belum tahu. Dia adalah Fais dan Afwan.
Bulan-bulan berlalu menanggalkan kalender yang ada dalam handphone Smart saya. Dalam masa yang cukup singkat itu, saya diperkenalkan dengan teman-teman pers mahasiswa unej. Sama halnya Fais dan Afwan. Mereka yang di Unej lebih pada suka baca buku lucu-lucu. Filsafat, jurnalistik, dan beberapa buku bagus lainnya. Hadir selalu menemani keseharian mereka.
Pada tanggal 21 Februari 2013 saya membaca buku “Jurnalisme Sastrawi Antologi Liputan Mendalam dan Memikat” yang di tulis oleh beberapa wartawan sangar. Diantaranya, Andreas Harsono, Alfian Hamzah, Agus Sopian, Eriyanto, Chik Rini, Coen Hosain Pontoh, Linda Christanty, dan Budi Setiyono-mirip nama anggota UPM Millenium angkatan 2009. Dalam buku itu, Budi Setiyono menulis hasil liputannya berjudul “Ngak-Ngik-Ngok” yang dimuat dalam majalah Pantau, Oktober 2001. Dalam tulisannya mengisahkan grup band Koes Bersaudara-nama awal Koes Plus- pada masa awal sampai pada nama Koes Plus ada pada tahun 1969. Ini menceritakan perangnya pada rezim Orde Lama dengan berbagai alasan budaya yang sebenarnya saya nilai sebagai sebuah politik belaka. Angkernya tulisan itu. Saya diajaknya berjalan-jalan pada masa lampau dengan begitu kejam dan kuasanya seorang pemimpin pada masa itu.
Rasa salut dan tersanjung pada grup band “Koes Plus” yang membawa lagu-lagu lucu dan enak tapi tetap mengandung makna lebih. Seperti dijelaskan dalam reportase Budi-wartawan, lirik bukan lautan hanya kolam susu. Di sana tertulis, “menggendong bayinya dan memberi minum susu saja enggak bisa kok mas Yok bilang kolam susu,” halaman 258. Yok (Koesrojo)adalah salah satu personel grup band Koes Bersaudara yang merupakan anak dari Koeswojo dari Sembilan bersaudara. Dari lirik itu bangsa ini mendapatka peringatan dari Koes Bersaudara. Juga pada lirik tongkat yang diartikan sebagai sebuah lambang begitu kaya dan makmurnya negeri kita ini. Namun, pada zaman sekarang tongkat itu dialih fungsikan sebagai tongkat estafet yang menjadi rebutan para penguasa. Hahaha, J
Rampung membaca tulisan Budi, saya semakin suka dengan lagu-lagu Koes Plus. Karena dia berjuang demi bangsa dan Negara ini. Bukan sekadar popularitas yang mereka kejar. Membuat saya iri dengan mereka. Salutnya lagi, Cuma masalah lagu mereka harus mendekam di bui. Wow,,, sungguh zaman yang sangat bebas sekarang. Tidak seperti dulu. Banyak orang kritis harus mendapat ancaman setiap harinya dari pihak pemerintah. Meski, sekarang juga masih ada praktik seperti itu. tapi, sudah tidak terlalu fulgar. Kita kan sekarang hidup di zaman demokratis. Pernah saya membaca tulisan orang kita masih belum pada masa itu, demokratis secara utuh. Hahaha.
Saya ucapkan terima kasih buat mereka yang memperjuangkan bangsa ini menjadi demokrasi. Tidak terbayang jika sekarang masih pada rezim Orde Lama atau Baru. Menakutkan,,, hahaha 


(21/02/13)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar