Hawa panas jumat (22/02) masih
terasa. Saya dan dua teman, Budi dan Ulum tidak bicara sepatah kata apapun.
Kami berdiam diri sibuk dengan urusan masing-masing. Budi sibuk otak-atik
komputer, sedang Ulum sibuk membaca koran. Dan saya tidak melakukan apapun
hanya bermain Hp, karena baru datang di sekret.
Satu jam berlalu. Pukul
14.54 Ulum mengingatkan saya pada diskusi yang akan dimulai. “Sudah hamper jam
tiga. Temen-temen kok belum datang ya?” Tanya Ulum. Saya acuh pada pertanyaan
Ulum. Kemudian dia menambahkan, jika Richa salah satu calon anggota baru akan
datang. Dia mengetahui itu dari status facebooknya. Mendengar itu saya hanya
tertawa dan meninggalkan Ulum di sekret bersama Budi untuk keluar ke toilet.
Setelah selesai dari
toilet. Masih belum juga datang teman-teman. Hingga Ulum memutuskan mencari
nasi sembari menunggu teman-teman. Selang beberapa menit mereka datang. Febri,
Lia, Richa, dan beberapa teman yang menyusul di belakangnya.
Budi membuka diskusi kali
ini dengan tujuh calon anggota baru. Diantaranya: Rauf, Bunga, Lia, Febri,
Fitri, Rere, Richa. Budi melanjutkan diskusi jumat kemarin terkait “Analisis
Framing”. Dia memberikan kertas satu lembar kepada masing-masing peserta
diksusi. Itu adalah tulisan Budi yang berjudul “Mencetak Jurnalis Muda”. Pertama,
Budi menjelaskan, perbedaan antara positivis dengan konstruksionis. Dalam
penjelasan itu dia menerangkan, pandangan yang digunakan dalam framing adalah
kontruksionis. Bukan sekadar pada positivis. Karena positivis lebih mangarah
pada kebenaran yang di dapatnya sendiri, tanpa melalui sebuah konstruksi oleh
diri.
Diskusi semakin mengalir
setelah beberapa teman baru yang bertanya. Richa, misalnya. Dia bertanya
masalah subyektif seorang wartawan yang tidak obyektif. Dalam kesempatan itu,
Budi menjawab, sesungguhnya seorang wartawan memang subyektif. Namun, setelah
dia mengungkapkan kebenaran sesuai yang terjadi. Itu akan menjadi sebuah
ke-obyektifan seorang wartawan. Mereka masih bingung dengan masalah itu. Dan saya
hanya menambahi, dalam pemberitaan yang terpenting adalah “cover both side”. Maksudnya berita harus berimbang dan tidak berat
sebelah. Berat di sini lebih condong pada suatu kelompok atau golongan.
Guna memperjelas
kebingungan teman-teman. Budi menambahkan, misalnya dalam tulisannya itu. Yang
memang pada awal diskusi belum dibahas. Karena dia masih memberikan pengantar
diskusi saja, sebelum membahas isi tulisan itu. Budi menjelaskan, tulisan yang
sudah kami pegang adalah sebuah konstruksi terhadap sebuah lembaga yang bagus.
Terbukti tidak ada kata-kata yang membuat citra lembaga itu buruk. “Dan itulah
yang dinamakan framing,” katanya. Framing adalah sebuah pembingkaian terhadap
suatu peristiwa sesuai wartawannya. Dia mencontohkan, dalam tulisan itu
terdapat kutipan dari salah satu perserta yang ikut acara pelatihan jurnalistik.
Dalam kutipan itu peserta sangat antusias terhadap acara pelatihan jurnalistik.
Ini yang kemudian membentuk sudut pandang pembaca bahwa acara itu memang di
ikuti oleh peserta secara antusias.
Namun, Rere, salah satu
orang yang ikut dalam pelatihan itu menyanggah pernyataan Budi. Dia
mengungkapkan, tidak semua orang yang mengikuti acara itu antusias. Terbukti
beberapa orang tidak hadir untuk mengikuti kegiatan pelatihan itu. Menanggapi
pernyataan Rere. Budi menjawab, lagi-lagi dia mengatakan itulah yang disebut
dengan framing. Yaitu membuang sisi lain dari suatu peristiwa dan menonjolkan
satu sisi saja. Mendengar itu, Lia menyambung, “berarti dalam framing memang
membuang satu sisi dan menonjolkan satu sisi saja ya mas?”. Dan Budi
membenarkan pernyataannya itu.
Memperjelas pernyataannya
itu. Budi member gambaran pada sebuah media yang mengabarkan teroris. Pasti
yang di beritakan orang yang memakai baju gamis. Pakai kopyah, dan beberapa
atribut yang dapat menggiring pembaca pada sebuah asumsi kalau teroris adalah
orang Islam. Pada kenyataanya adalah ada beberapa teroris yang berasal dari
agama Kristen. Itulah yang kemudian menonjolkan satu sisi. Saya hanya
menambahkan kalau media itu punya nilai, unsur, dan aturan yang harus di patuhi
dalam pemberitaan. “Dan itu sudah kalian dapatkan waktu PJTD dulu,” ujar saya.
Diskusi kali ini membuat
saya kesimpulan, framing menjunjung satu sisi namun masih tetap pada kode etik
jurnalistik. Juga beberapa unsur, nilai, dan aturan dalam berita.
(23/02/13)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar