“Setiap saya melihat anak yang
ingin kuliah tapi tidak mampu saya merasa kasihan. Teringat dulu, saat masih
susah,” kata salah satu teman sekelas di STAIN Jember yang bertempat tinggal di
daerah Ambulu. Dia sudah mengalami nasib susah sudah bertahun-tahun semenjak
sekolah dasar. Baru merasakan hidup layak saat duduk di sekolah menengah kejuruan
akhir (mengambil jurusan jaringan dan telekomunikasi).
Kehidupan yang berkaitan dengan
ekonomi terkadang membuat beberapa orang, bahkan kebanyakan bingung dan susah
jika dihadapkan dengan perkara itu. Teman saya membenarkan itu. Dia
menceritakan, betapa tidak enaknya hidup dengan ekonomi yang kurang. Apalagi
dengan gaya anak yang ingin sesuatu yang bermacam-macam. “Jika mendengar cerita
orang tua dulu, saat saya masih kecil sering meminta yang aneh-aneh. Beberapa
hari makan bakso, mi, dan makanan-makanan lainnya yang waktu itu masih sulit.
Untuk makan besok bapak mencarinya sekarang. Jika tidak mendapat pekerjaan, ya tidak
makan,” kata teman saya yang sekarang bekendaraan motor honda Bead.
Dalam keseharianya, ayahnya
bekerja sebagai pedagang jamu serbuk, dan ibunya sebagai ibu rumah tangga.
Pendapatan perhari dari hasil dagang tidak pasti, pun dengan ibunya yang
mendapat gaji satu bulan sekali. Pada waktu dia masih kecil, bangsa ini masih
dihadapkan dengan permasalahan krisis ekonomi. Sekitar tahun 1997-an, tepat
pada pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Pebisnis mulai
banyak yang bangkrut, lebih-lebih pengusaha kecil seperti orang tua teman saya
ini.
Rezim Soeharto sudah tumbang dan
berganti. Namun pada kepemimpina selanjutnya yang dipimpin oleh BJ Habibi masih
belum juga stabil semua permasalahan, termasuk ekonomi. Masa ke masa, dari
pemimpin satu pindah ke pemimpin selanjutnya telah membawa sedikit perubahan
perekonomian kelurga teman saya ini. “Baru saat saya sudah sekolah menengah
kejuruan mulai ada perbaikan,” ujarnya.
Setelah dia masuk kuliah di STAIN
Jember dengan beasiswa delapan semester yang di dapatnya dari pihak Jurusan.
Dia menghabiskan waktunya untuk mengajar di salah satu mushola di dekat
rumahnya. Adalah kegiatan sampingan di kampus sebagai ustadz di mushola.
Berbagai latar belakang dia temui di tempat mengajarnya. Tingakat menengah ke
bawah, menengah ke atas, mapan, bahkan ada yang menengah ke bawah bawahnya
lagi. “Ada salah satu anak yang latar belakang ekonominya sangat parah. Saya
kasihan setiap melihatnya,” ujarnya.
Dia menjelaskan, prihatin dengan
mereka yang tidak mampu, apalagi mereka ingin kuliah namun terhalang oleh dana
yang tidak ada. Menjadikannya teringat waktu susahnya dulu. “Ada teman saya
tawari kuliah dengan pendaftarannya saya tanggung. Namun dia tidak menolaknya.
Tidak tahu alasannya,” katanya dengan muka yang lusuh dan mata yang mulai
memerah.
Kami mengakhiri perbincangan di
warung dekat jembatan Mangli, tepat utara jembatan sebelah timur jalan dari
arah utara. Setelah memesan dua es degan, satu bungkus rokok Djarum Super, dan
satu makanan ringan. Saya tidak tahu berapa harga semuanya itu, karena teman
saya yang membayarinya.
(26/02/13)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar