Selasa, 26 Februari 2013

Ekonomi: Penting



“Setiap saya melihat anak yang ingin kuliah tapi tidak mampu saya merasa kasihan. Teringat dulu, saat masih susah,” kata salah satu teman sekelas di STAIN Jember yang bertempat tinggal di daerah Ambulu. Dia sudah mengalami nasib susah sudah bertahun-tahun semenjak sekolah dasar. Baru merasakan hidup layak saat duduk di sekolah menengah kejuruan akhir (mengambil jurusan jaringan dan telekomunikasi).
Kehidupan yang berkaitan dengan ekonomi terkadang membuat beberapa orang, bahkan kebanyakan bingung dan susah jika dihadapkan dengan perkara itu. Teman saya membenarkan itu. Dia menceritakan, betapa tidak enaknya hidup dengan ekonomi yang kurang. Apalagi dengan gaya anak yang ingin sesuatu yang bermacam-macam. “Jika mendengar cerita orang tua dulu, saat saya masih kecil sering meminta yang aneh-aneh. Beberapa hari makan bakso, mi, dan makanan-makanan lainnya yang waktu itu masih sulit. Untuk makan besok bapak mencarinya sekarang. Jika tidak mendapat pekerjaan, ya tidak makan,” kata teman saya yang sekarang bekendaraan motor honda Bead.
Dalam keseharianya, ayahnya bekerja sebagai pedagang jamu serbuk, dan ibunya sebagai ibu rumah tangga. Pendapatan perhari dari hasil dagang tidak pasti, pun dengan ibunya yang mendapat gaji satu bulan sekali. Pada waktu dia masih kecil, bangsa ini masih dihadapkan dengan permasalahan krisis ekonomi. Sekitar tahun 1997-an, tepat pada pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Pebisnis mulai banyak yang bangkrut, lebih-lebih pengusaha kecil seperti orang tua teman saya ini.
Rezim Soeharto sudah tumbang dan berganti. Namun pada kepemimpina selanjutnya yang dipimpin oleh BJ Habibi masih belum juga stabil semua permasalahan, termasuk ekonomi. Masa ke masa, dari pemimpin satu pindah ke pemimpin selanjutnya telah membawa sedikit perubahan perekonomian kelurga teman saya ini. “Baru saat saya sudah sekolah menengah kejuruan mulai ada perbaikan,” ujarnya.
Setelah dia masuk kuliah di STAIN Jember dengan beasiswa delapan semester yang di dapatnya dari pihak Jurusan. Dia menghabiskan waktunya untuk mengajar di salah satu mushola di dekat rumahnya. Adalah kegiatan sampingan di kampus sebagai ustadz di mushola. Berbagai latar belakang dia temui di tempat mengajarnya. Tingakat menengah ke bawah, menengah ke atas, mapan, bahkan ada yang menengah ke bawah bawahnya lagi. “Ada salah satu anak yang latar belakang ekonominya sangat parah. Saya kasihan setiap melihatnya,” ujarnya.
Dia menjelaskan, prihatin dengan mereka yang tidak mampu, apalagi mereka ingin kuliah namun terhalang oleh dana yang tidak ada. Menjadikannya teringat waktu susahnya dulu. “Ada teman saya tawari kuliah dengan pendaftarannya saya tanggung. Namun dia tidak menolaknya. Tidak tahu alasannya,” katanya dengan muka yang lusuh dan mata yang mulai memerah.
Kami mengakhiri perbincangan di warung dekat jembatan Mangli, tepat utara jembatan sebelah timur jalan dari arah utara. Setelah memesan dua es degan, satu bungkus rokok Djarum Super, dan satu makanan ringan. Saya tidak tahu berapa harga semuanya itu, karena teman saya yang membayarinya.


(26/02/13)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar